28

305 23 0
                                    

"Ram." Panggilnya saat aku sedang sibuk mengunyah makananku.

"Kenapa?" Aku menaikkan alisku.

"Maaf ya kalo Thomi sering gangguin lu." Ucapnya sedikit ragu. Aku terdiam. Bingung hendak berkata apa. "Lu kesel ya sama dia?" Nabila nanya.

Aku masih terdiam. Memikirkan jawaban apa yang tidak menyinggungnya. Aku takut salah bicara. Beberapa detik aku berpikir hingga akhirnya mantap menjawab.

"Awalnya iya, sekarang enggak terlalu, kok." Aku rasa ini jawaban yang pas. Aku tidak ingin banyak berbohong, selama ini, aku merasa terganggu dengan perlakuan Thomi. Tapi aku juga enggak mau bilang kalau aku sangat kesal dengan abangnya itu.

"Thomi emang usil."

"Dari kecil, emang begitu?" Aku nanya.

"Iyaa. Sebenernya gue udah sering negor, tapi enggak pernah ngaruh. Dia tetep aja begitu." Jawabnya. Aku hanya terdiam. "Gue sering berantem sama dia. Kalo misalnya menurut gue kelewatan, di rumah, gue omelin. Tapi justru galakan dia."

"Kalo lu sering berantem karena nasihatin dia, mending besok-besok enggak usah nasihatin dia lagi, Bil. Daripada lu yang sakit hati gara-gara dia."

"Gue udah berusaha bodo amat sama sikap dia, tapi kadang kasian sama yang dia isengin. Gue juga sayang sama abang gue, gue enggak mau dia begitu terus." Balasnya. "Gue enggak suka keributan gitu. Hidup manusia kayaknya akan baik-baik aja kalo semuanya damai, enggak ribut. Setiap Thomi berantem, setiap itu juga gue sedih dan marah sama Thomi. Kenapa sih harus berantem? Gue enggak suka. Bener-bener enggak suka. Tapi gue enggak bisa berbuat apa-apa." Lanjutnya.

Aku heran, Thomi dan Nabila mempunyai sikap yang jauh berbeda. Thomi seolah tidak berpikir panjang, kelakuannya sangat memalukan. Dan Nabila justru sosok yang peduli terhadap sesama. Ia tidak ingin banyak orang yang menjadi korban kejahilan abangnya.

Dari ucapannya, aku yakin bahwa Nabila adalah orang yang baik, ia sangat peduli dengan teman sekolahnya, ia sudah berusaha mencegah abangnya untuk tidak lagi melakukan keisengan-keisengan itu.

"Gue kadang suka berdoa, semoga Thomi berubah, enggak kayak begitu lagi." Katanya pelan. Ia mulai melanjutkan memakan makanannya. Perkataanya yang terakhir membuatku tersadar. Aku bisa membantunya. Aku memang tidak bisa menghilangkan semua hal buruk di bumi ini, karena doaku harus spesifik. Tapi, mengapa tidak terpikirkan olehku untuk langsung mendoakan agar Thomi tidak lagi berbuat jahat? Tidak lagi jahil? Dan mulai berubah jadi anak yang baik, seperti adiknya, Nabila.

Aku mengeluarkan pena dan buku yang ada di dalam tasku. Lalu menulisnya, agar tidak lu mendoakan Thomi. Demi kebaikan Thomi, demi kebaikan wanita cantik di hadapanku.

"Ngerjain apa?" Tanya Nabila. "Emang ada tugas?" Tanyanya lagi.

Aku yang sedang menulis, berhenti sejenak karenanya. "Oh, enggak. Cuma nandain aja, nanti malem mau dibaca-baca lagi." Aku terpaksa berbohong. Sebenarnya aku tidak ingin, namun, terpaksa. Aku tidak ingin ada siapapun yang tahu bahwa hampir semua doaku dapat dikabulkan oleh Tuhan. Aku tidak ingin orang-orang justru meminta doa-doa kepadaku. Aku ingin mereka sendiri yang berdoa pada Tuhan. Bukan melalui perantaraku. Aku hanya manusia biasa yang mungkin beruntung, tapi, aku yakin, doa mereka juga akan didengar Tuhan.

"Ohh, untuk belajar." Katanya. Ia lanjut memakan makanannya. Dan aku lanjut menulis apa-apa saja yang harus kudoakan nanti, saat tidak ada batas antara aku dengan Tuhanku. Allah SWT.

"Gue seneng main sama lu, Ram. Lu baik banget, pinter, dan enggak pernah berantem." Ia tersenyum. "Maafin Thomi, ya, Ram." Nabila membahasnya lagi. Aku tersenyum dan mengangguk. Dan melanjutkan kembali memakan makananku. Sepertinya aku berbohong lagi.

Setelah seharian pergi bersama Nabila, aku mengantarnya pulang. Meskipun harus menaiki Bus, dan berjalan kaki dari halte menuju rumahnya, setidaknya aku tetap bertanggung jawab untuk mengantarnya sampai di rumah.

"Maaf ya, perginya harus naik bus." Kataku saat kami duduk di kursi bus dalam perjalanan menuju rumah Nabila.

"Kok minta maaf?"

"Kalo gue punya motor, mungkin berangkat dan perginya lebih cepet. Kalo naik Bus kan macet."

"Udahlah, enggak usah bahas ini. Yang penting kan tetep bisa jalan-jalan dan tetep bisa sampai rumah dengan selamat." Nabila tersenyum. Aku ikut tersenyum.

"Dikit lagi udah sampai halte deket sekolah, yuk siap-siap." Aku berdiri, lalu menyodorkan tangannku untuk membantunya berdiri. Tak lama setelahnya, kami turun dari bus.

Kami berjalan kaki menuju rumah Nabila. Di perjalanan menuju rumah, sebenarnya aku sedikit cemas. Takut bertemu Thomi di rumahnya. Tapi aku nekat untuk tetap mengantar Nabila sampai depan rumahnya.

"Akhirnya sampai juga." Kata Nabila saat kami tiba di rumahnya.

"Iyaa, ternyata capek juga ya jalan-jalan ke mal doang." Kataku.

"Mau mampir dulu, enggak, Ram?" Nabila Nanya.

Aku melihat jam tanganku, saat itu sudah jam sembilan malam. "Enggak usah, Bil. Udah kemaleman. Gue udah harus pulang." Jawabku. Sebenarnya, aku masih ingin bersamanya. Tapi ini sudah sangat malam. Aku harus pulang.

"Yaudah, deh." Ucapnya singkat.

"Oke gue pamit, ya."

"Telepon gue ya, kalo udah sampe rumah." Katanya sebelum aku melangkahkan kakiku untuk pulang. Aku tersenyum, lalu mengangguk mengiyakan, lalu melangkah membelakangi rumahnya, membelakangi wanita cantik itu, menuju rumahku.

Aku merebahkan tubuhku di atas sofa rumahku. Waktu terasa cepat sekali berjalan. Rasanya, aku hanya pergi dengan Nabila sebentar saja, namun waktu sudah malam saja.

Aku senang sekali bisa pergi dengannya. Beruntung sekali, meski tanpa tujuan yang pasti, Nabila mau kuajak pergi ke mal hari ini.

Sudah kusadari, beberapa minggu terakhir ini, hidupku jauh lebih baik. Hidupku membaik, teman-teman di sekolah juga sepertinya tidak banyak yang diganggu lagi. Kehidupan di rumah juga membaik. Ibuku sudah tidak lagi bekerja di restoran. Ia fokus menjalankan bisnisnya. Katanya, baru buka saja, pemasukan di kafenya sudah cukup banyak.

Ibu harus lebih fokus mengurus kafe, hingga memutuskan untuk berhenti bekerja. Aku setuju dengan keputusannya. Sebab, dengan itu, Ibu memiliki lebih banyak waktu untuk istirahat, lebih banyak waktu untuk di rumah, lebih banyak waktu untuk menjaga Sarah. Kondisi keuangan kami pun mulai membaik. Uang jajanku kini sudah dinaikkan.

Aku bersyukur pada Tuhan karena telah memberikanku kekuatan seperti ini. Entah apa yang menyebabkan hal itu terjadi padaku, aku sangat-sangat bersyukur padaNya.

Rebahan di sofa memang sangat nyaman, namun aku harus menelepon Nabila untuk mengabarkan bahwa aku sudah sampai rumah.

Aku mengambil gagang telepon lalu meneleponnya.

"Halo." Kataku sesaat telepon dariku diangkat.

"Halo? Siapa, nih?" Terdengan suara seorang pria di sana.

"Saya, Rama, Nabilanya ada?" Aku nanya.

"Rama?!" Tanyanya murka. "Ngapain lu nyariin ade gue?!" Bentaknya. Aku terkejut, yang mengangkat telepon adalah Thomi. Aku bingung harus menjawab apa.

"Eh dengerin, ya! Lu ngapain nelepon ade gue jam segini, Hah?! Enggak punya otak lu?" Thomi terdengar marah. "Pokoknya gue enggak mau tau, lu enggak usah gangguin ade gue lagi. Ngerti?! Bentaknya sekali lagi sebelum akhirnya ia mematikan telepon dariku.

Aku panik saat itu, tidak tahu ingin berkata apa. Aku kesal dengan Thomi. Hari ini, aku sedang senang, sebab bermain dengan Nabila, namun di malam hari, Thomi merusak kesenanganku.

Ia memintaku untuk tidak mengganggu adiknya. 

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang