Hari senin, saat upacara bendera. Aku dipanggil oleh kepala sekolah untuk dipakaikan medali dan diberikan piala sebagai bentuk ucapan selamat dari sekolah. Namaku dipanggil menggunakan pengeras suara, sebagai juara perlombaan bulu tangkis tingkat SMA sejabodetabek.
Aku melangkah maju, dan mendengar banyak siswa yang bertepuk tangan atas apa yang aku lakukan. Aku bangga dengan diriku, aku senang. Selama sekolah di sini, aku merasa tidak dianggap. Aku hanya anak baru yang kesehariannya dikerjai oleh orang-orang yang sudah lebih dulu sekolah di sini. Tapi, hari ini berbeda. Aku maju sebagai orang yang mengharumkan nama sekolah ini. Aku maju sebagai juara.
Aku tahu, aku memang menjadi juara bukan karena kerja keras, melainkan karena kekuatan doa yang didengar oleh Tuhanku. Tapi, setidaknya, kini, namaku yang disebut-sebut sebagai orang yang mengharumkan nama sekolah. Aku melihat seluruh murid yang kini sedang berbaris memandangku. Mungkin ada yang menganggap biasa saja, tapi aku yakin, ada yang bangga dengan prestasi yang kudapat ini.
Setelah upacara bendera berakhir, banyak orang yang memberikan selamat padaku. Banyak orang yang kini jadi terlihat ramah padaku. Ini menyenangkan.
"Cieeee Rama." Kata Nabila saat aku masuk ke dalam kelas. Murid lain juga banyak yang menatapku saat berjalan menuju kursiku. Aku hanya menengok ke arah Nabila dan tertawa kecil. Ia bangkit dari duduknya, dan duduk di sampingku. "Gimana rasanya megang piala di tengah lapangan?"
"Rasanya? Hmm.. Berat. Hahaha."
"Hahaha." Nabila mengacak-acak rambutku dengan tangan kanannya. Aku memandang wajahnya. Cantik sekali. Aku enggak bisa membayangkan indah tawanya saat ia mengacak-acak rambutku. Selain itu, tangannya ada di atas kepalaku, menyentuhku. Ini menyenangkan.
"Beneran, berat. Pialanya kan gede."
"Iyaa-iyaa." Ia menurunkan tangannya. "Maksud gue, perasaannya."
"Seneng, sih. Gue kan murid baru. Rasanya seneng aja gitu bisa mengharumkan nama sekolah."
"Iya, lu murid baru, tapi hebat."
"Ah, bisa aja lu, Bil." Aku tertawa kecil.
"Hahaha."
Thomi dan teman-temannya masuk ke dalam kelas. Thomi yang mendapati aku sedang duduk berdua dengan adiknya, langsung mendekat.
"Apa-apaan, nih!?"
"Apaan, sih, Thom?" Nabila menatap Thomi, ia tampak terganggu dengan kehadiran Thomi.
"Lu ngapain duduk sama ini orang?" Balas Thomi. Aku hanya terdiam sebab tidak tahu harus berkata apa.
"Emangnya salah kalo gue duduk sama Rama?"
"Ya, salah! Lu ngapain duduk sama orang culun kayak dia? Cowok enggak guna." Bentak Thomi. Aku masih tidak berkata apa-apa karena takut salah bicara. Bagaimanapun juga, Thomi adalah kakak kandung Nabila.
"Mikir, kali, Thom. Lebih enggak guna mana sama lu? Dia juara lomba bulu tangkis, dia juga pinter di kelas. Lu aja sering nyontek dia, kan?" Nabila membelaku. "Heran gue, kok bisa-bisanya lu bilang dia enggak guna?"
"Kok lu jadi belain dia?!" Bentak Thomi.
"Lah? Gue enggak ngebela siapa-siapa. Tapi kenyataannya begitu, kan?" Nabila tetap meladeni perdebatan dengan Thomi. Padahal, Thomi adalah kakaknya. Untuk apa ia bertengkar demi membelaku?
Guruku masuk ke dalam kelas saat Thomi dan Nabila sedang berdebat. Beberapa siswa juga masuk ke dalam kelas. Thomi memutuskan untuk kembali ke kursinya.
"Awas, aja, lu!" Katanya sambil menunjukku sebelum akhirnya ia pergi ke kursinya. Tatapannya saat itu sangat tajam. Terlihat jelas sekali bahwa ia kesal denganku.
"Udah, Ram. Cuekin aja." Nabila meletakkan tangannya di bahuku. Aku menengok ke tangannya, lalu mengangguk sebelum akhirnya Nabila juga kembali ke kursinya.
Pikiranku cukup kacau saat itu. Kakak beradikitu bertengkar karenaku. Kakaknya terlihat sangat membenciku, namun adiknyasangat perhatian denganku. Aku mencintai adiknya, tapi bagaimana caranya akumendapatkan izin untuk memilikinya, sedangkan kakaknya sangat membenciku.Entahlah, aku terlalu pusing untuk memikirkan hal itu saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Doa Untukmu ✓ END
Teen FictionIni adalah kisahku, Rama. Bocah yang selalu saja dijahili di sekolah. Bocah yang mencintai gadis cantik, namun tidak mampu mendekatinya karena merasa tidak layak. Namun, setelah berkali-kali menjadi korban keisengan anak-anak di sekolah, Tuhan membe...