41

1.3K 39 5
                                    

Setelah bertemu dengannya di kampusku, aku sering meneleponnya untuk sekedar menanyakan kabarnya dan menanyakan aktivitasnya hari itu. Hubungan aku dengannya kembali seperti dulu lagi.

"Pulang jam berapa, tadi?"

"Sore udah pulang, kok."

"Naik kereta lagi?"

"Iyaa, abis di sini enggak ada yang nganterin."

"Emang enggak ada yang mau nganterin?"

"Ada, sih. Cuma..."

"Cuma apa?"

"Cuma Bila enggak mau."

"Maunya Rama yang anter, ya?"

"Hahaha." Ia tertawa. Lembut sekali suaranya.

Hingga dua minggu berlalu, Nabila datang ke wisudaku, berkenalan dengan Ibuku, Sarah adik kesayanganku, dan Om Iwan, yang akhirnya menikahi Ibuku.

"Ini siapa namanya?" Tanya ibuku saat Nabila salim dengannya.

"Nabila, Tante."

Ibu senang melihatnya. Ia pikir, Nabila adalah pacarku. Aku hanya mengamini saat Ibu bicarakan itu. Kami lanjut foto bersama. Aku mengajak Nabila untuk ikut foto bersama dengan kelargaku. Aku harap suatu saat nanti, Nabila menjadi keluargaku.

"Abis ini, pulang ke mana?"

"Ke tempat temen yang waktu itu."

"Mau ke Jakarta bareng?"

"Emang boleh?"

"Boleh, lah. Emang siapa yang mau ngelarang."

"Enggak enak, ah."

"Gapapa, Bil. Om Iwan bawa mobil kok. Masih muat untuk nambah orang."

"Serius gapapa?"

"Gapapa, tenang aja."

Sore itu, Nabila ikut ke Jakarta denganku menaiki mobil Om Iwan. Aku semakin dekat dengan Nabila. Rasa ingin memilikinya semakin kuat. Ditambah, ia sedang tidak dekat dengan siapa-siapa termasuk Raka. Aku ingin memilikinya, ingin sekali, dengannya, menua berdua.

--

Tidak lama bagiku untuk mendapatkan pekerjaan. Kini aku bekerja di perusahaan yang bergerak dalam produksi kebutuhan sehari-hari di Indonesia. Upah yang kuterima di perusahaan ini lebih besar daripada yang kubayangkan sebelumnya. Aku mensyukuri hal itu.

Perkuliahan Nabila juga akhirnya selesai, saat wisuda aku juga mendatanginya. Aku bertemu lagi dengan Thomi. Thomi yang lebih dewasa, Thomi yang sudah berubah. Ia menyambutku dengan hangat, seolah tidak pernah ada masalah di antara kami. Orang tuanya juga menyambut baik kedatanganku.

Namun aku selalu saja menjadi aku. Laki-laki yang tidak pandai mengungkapkan perasaan. Sudah kukatakan, yang menjadi penyebab aku dan Nabila tidak kembali dekat saat SMA adalah soal komunikasi. Seharusnya aku katakan saja saat itu bahwa aku mencintainya, namun aku terlalu payah untuk bicara seperti itu.

Jangankan waktu SMA, saat ini saja aku masih tidak bisa mengatakan hal itu pada Nabila. Bisa jadi, hal itu juga yang menyebabkan aku tidak bisa memilikinya. Aku sering membayangkan wajah Nabila saat SMA dulu, saat ia seolah membenciku. Aku tidak ingin melihat ekspresi itu lagi. Tapi, aku tidak cukup berani untuk mengungkapkan perasaanku. Hingga suatu saat, Nabila menanyakan hal itu padaku.

"Rama lagi suka sama siapa?" Katanya saat kondisi gedung wisuda sudah mulai sepi. Thomi dan orang tuanya menunggu di mobil.

"Enggak tau."

"Masa enggak tau."

"Iyaa, enggak tau."

"Coba jujur sama Bila." Katanya tegas. Ia menatap mataku dalam. "Rama suka sama siapa?"

Aku hanya terdiam, sulit rasanya mengatakan bahwa aku mencintai orang yang saat ini sedang menatapku.

"Enggak tau."

"Ih. Masa enggak tau?!" Katanya kesal. Lalu ia terdiam, ia menoleh ke pintu keluar gedung, menunjukan ia kesal denganku.

"Kalo... ee- Rama sukanya sama Bila, gimana?" Tanyaku pelan dengan ragu-ragu. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Nabila langsung menoleh ke arahku. "Serius?"

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Jantungku berdegub lebih cepat lagi. "Bila mau jadi pacar Rama?"

Ia terdiam beberapa saat.

"Yaudah, kita pacaran aja." Katanya riang.

"Eh, tapi Rama enggak mau pacaran."

Wajah Nabila langsung berubah seketika. Senyum dibibirnya cepat sekali menghilang. Ia cemberut. Matanya sedikit berkaca-kaca. Sepertinya ia akan marah lagi.

"Enggak jelas banget, sih!"

"Bukannya enggak jelas."

"Enggak jelas lah! Tadi katanya suka sama Bila, terus nanya Bila mau jadi pacar Rama apa enggak. Tapi sekarang malah bilang enggak mau pacaran! Itu enggak jelas namanya!" Makinya pelan. Ia tampak sangat kesal.

"Minggu depan Rama mau ke rumah, boleh enggak? Sama ibu, sama Om Iwan. Rama mau ngelamar Bila." Kataku pelan.

Ekspresi wajahnya berubah lagi. Cemberutnya menghilang. Namun tangisnya tetap pecah. Air matanya berjatuhan, namun bibirnya tersenyum. Cantik sekali.

--

Okee, jadi ini akhir cerita dari Doa Untukmu. Maaf jika masih banyak kesalahan dalam penulisan, pembuatan karakter dan alur cerita. Saya  selalu belajar dalam menulis, sehingga bertekad untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan di tulisan saya yang selanjutnya.

Jika mau, kalian bisa membaca tulisan-tulisan saya yang lain di profil wattpad saya, ya!

Terima kasih atas dukungannya, atas vote, comment, dan sharenya. Saya memang tidak pandai menulis, namun senang sekali bercerita. Dan berkat kalian yang membaca tulisan ini, saya lebih semangat lagi untuk menulis setiap susun kata yang terkumpul menjadi cerita untukmu, pembacaku...

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang