33

289 20 0
                                    

Minggu ini, aku menghadapi ujian kenaikkan kelas. Di jam istirahat, aku makan siang bersama Icha, Imam dan Dita.

"Tadi, soal-soal biologi, susah banget, ya? Pusing gue jawabnya." Ucap Imam.

"Masa, sih? Enggak ah." Balas Icha. Wajar jika Icha berkata seperti itu. Ia memang sangat cerdas. Kerjaannya saja membaca buku setiap hari. Mana mungkin ia kesulitan mengerjakan soal-soal ujian?

"Emang, lu semalem belajar yang mana, Mam?" Aku nanya.

Ia hanya nyengir sambil menggeleng.

"Ya, pantesan aja pusing." Sahut Icha.

Aku lanjut menyantap makananku. Namun, saat sedang asyik menyantap makanaku, tiba-tiba saja kepalaku ditimpuk penghapus oleh salah satu orang dari arah sudut kantin. Tempat Raka, Thomi, dan teman-temannya berkumpul.

Mereka tertawa. Aku memandangi arah sana. Menebak-nebak siapa yang melempar penghapus. Namun sama sekali tidak menemukan jawaban.

"Udah, enggak usah diladenin, Ram." Bisik Icha.

Aku mengikuti saran Icha, dan lanjut makan. Namun mereka berulah lagi. Satu lagi penghapus mendarat di kepalaku. Dan mereka tertawa. Aku kesal, namun tiba-tiba teringat bahwa ini adalah waktu yang tepat untukku berdoa.

Kupejamkan mata, lalu berdoa, semoga aku selalu diberikan kesabaran, semoga orang-orang di sudut sana tidak menggangguku lagi. Semoga hubunganku dengan Nabila membaik, dan bisa dekat seperti sebelumnya. Semoga-

Belum selesai aku berdoa, satu timpukkan lagi tepat mengenai kepalaku. Aku yang benar-benar merasa tidak nyaman, secepat mungkin aku meninggalkan kantin dan kembali ke kelas.

Ini benar-benar menyebalkan. Doaku akhir-akhir ini belum dikabulkan. Biasanya tidak seperti ini. Memikirkan soal doa itu sedikit mengganggu konsentrasiku mengerjakan soal. Aku tidak bisa membiarkan pikiran ini menggangguku.

Aku ingat, awal mula aku bisa segera mendapatkan apa yang kudoakan adalah saat di mushola sore itu. Aku ingat betul, marbut mushola yang mengatakan bahwa doa orang yang terzolimi itu tidak ada penghalangnya.

Setelah menyelesaikan ujian, aku segera ke mushola itu untuk mencari marbut masjid. Aku segera masuk dan mencarinya. Dari tempat wudhu, bagian dalam mushola, dan sekitar mushola. Namun aku tidak menemukannya.

Aku menanyakan warga yang tinggal di dekat mushola itu, namun jawabannya justru mengejutkanku.

"Mushola di sini mah, enggak ada marbutnya. Yang ngurusin mushola ya warga-warga di sekitar sini aja." Kata salah seorang warga yang tinggal di dekat mushola.

Aku tidak percaya dengan apa yang telah aku lewati selama satu semester ini. Marbut mushola itu tidak ada. Lantas pada siapa kini aku harus bertanya.

Aku kembali ke mushola. Mengambil wudhu dan menjalankan sholat ashar.

Tak lama, marbut mushola itu datang, ia memasuki tempat wudhu. Aku yang melihatnya dari dalam mushola segera mengejarnya ke tempat wudhu.

"Kamu zolim, kamu zolim." Ia seperti bicara seorang diri. Aku mendekatinya.

"Pak." Aku memanggilnya.

Ia menengokku. Matanya tajam menatapku. Ia terlihat sangat serius. "Kamu zolim." Katanya tegas.

"Ma- maksudnya, Pak?"

"Doa apa yang terakhir kamu panjatkan? Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu tidak mendoakan yang baik-baik? Doamu dikabulkan, tapi kenapa kamu tidak bersyukur? Tidak membalas kebaikan Allah dengan mendoakan yang baik-baik pada orang-orang di sekitarmu? Dan apa akibat dari doamu? Kamu menzolimi orang lain!"

Aku terdiam sebentar mendengarnya. Lalu bertanya lagi. "Gimana caranya supaya doa saya bisa langsung dikabulkan lagi?"

"Kamu zolim." Tegasnya sekali lagi. Lalu pergi dari ruang wudhu.

Aku mengejarnya, namun ia tidak terlihat lagi. Aku mencarinya ke dalam mushola, ke halaman mushola, dan sekitar mushola. Namun orang itu sudah tidak ada lagi.

Ini menyakitkan. Aku benar-benar sedih. Dan sungguh menyesali apa yang aku perbuat. Ini karena emosiku, tidak seharusnya aku mendoakan yang buruk. Tidak seharusnya aku menzolimi Thomi saat itu. Aku benar-benar menyesal.

--

Akhirnya aku duduk di kelas dua belas. Kali ini aku tidak satu kelas dengan Nabila, Raka, dan Thomi. Dan sampai saat ini, aku belum juga berdamai dengan Nabila. Wajahnya selalu saja kesal saat aku bertemu dengannya di sekolah. Sesekali ia melirikku, namun secepat mungkin ia palingkan lagi wajah itu. Aku benar-benar merindukannya. Namun, sepertinya, ia sudah tak ingin lagi dekat denganku.

Sepanjang kelas dua belas, aku lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temanku. Icha, Imam, dan Dita. Semenjak memasuki kelas dua belas, Icha lebih rajin ke perpustakaan. Aku sering menemaninya. Aku juga sesekali membaca-baca buku pelajaran untuk mendalami apa yang sudah dipelajari.

Kelas dua belas memang waktunya untuk belajar lebih giat. Sebab jika tidak, akan sulit mendapatkan perguruan tinggi negeri yang diharapkan.

Namun, setelah hubunganku dengan Nabila tidak berjalan baik, rasanya, seolah kehidupan di sekolah menengah atas begitu hambar. Meskipun waktu sudah berjalan cukup lama, perasaanku tidak juga menghilang. Hidupku sepi tanpanya, namun ia masih saja seperti membenciku.

Kamu tahu, kan, bagaimana rasanya pernah dekat, namun karena ada sedikit masalah, kamu jadi hanya saling memandang dari kejauhan? Itulah yang kurasakan selama ini. Karena kesalahanku di waktu lalu, aku harus menerima kenyataan bahwa Nabila enggan memandangku saat bertemu.

Aku sudah memutuskan untuk diam saja. Rasanya, malu sekali jika aku masih mencoba mendekatinya. Malu sekali jika aku harus meneleponnya dan meminta maaf. Entah. Aku rasa, sebagai laki-laki yang seolah sudah ditolak mentah-mentah karena sikapku yang kurang baik. Kembali memperbaiki hubungan dengan orang yang sudah membenciku, adalah kesalahan yang besar.

Rasanya, aku ingin membiarkan ia membenciku. Walaupun kenyataannya ingin sekali aku bicara dengannya lagi. Memandang senyumnya dalam jarak beberapa senti meter. Tidak ada perasaan senang seperti itu lagi selama ini. Aku merindukannya.

Beberapa minggu di kelas dua belas, aku masih saja diam-diam melirik Nabila dari kejauhan. Kadang, saat ia sedang pelajaran olahraga. Aku sengaja izin ke toilet kepada guruku, hanya untuk melihatnya dari lorong sekolah. Saat Nabila berolahraga di lapangan, rasanya aku ingin sekali bergabung dengan kelasnya. Berolahraga bersama lagi, kalau bisa, bahkan bermain bulu tangkis dengannya lagi.

Aku ingat, pertama kali aku bisa dekat dengannya adalah di jam pelajaran olahraga saat bermain bulu tangkis. Itu berkat doa yang kupanjatkan waktu itu. Allah mengabulkan doaku untuk memiliki kemampuan bermain bulu tangkis. Ia juga yang membuatku bisa mengalahkan Thomi. Tanpa bermaksud untuk mempermalukannya, yang jelas, di dalam doaku, aku berharap bisa bermain bulu tangkis agar tidak mempermalukan diriku sendiri.

Aku ingat, Nabila bermain setelahku, dan mengajakku bermain setelah ia selesai bermain dengan teman-temannya. Saat itu aku mengenalnya, saat itu juga aku dekat dengannya.

Aku berjalan menuju toilet sekolah, dengan wajahku yang terus memandang ke arah lapangan. Kebetulan kelasku di kelas dua belas berada di lantai dua. Sehingga dengan sangat mudah aku bisa mencari keberadaan Nabila.

Aku sengaja berjalan pelan, agar bisa berlama-lama memandangnya. Bahkan kadang aku berhenti, pura-pura melakukan sesuatu di depan kelas agar bisa terus memandangnya.

Tiba-tiba, Nabila menoleh ke arahku. Ia menatapku dari kejauhan. Aku memandangnya yang sedang memandangku. Jantungku berdegub lebih kencang lagi. Rasanya ingin sekali aku melambaikan tanganku dan tersenyum padanya. Namun nyaliku tidak sebesar itu. Aku hanya terdiam dan lanjut berjalan menuju toilet sekolah.

--

Hubungan Rama dengan Nabila malah semakin rumit, ya?

Oh iya, setelah baca cerita ini, jangan lupa di vote dan share ya! Terima kasih.

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang