21

380 23 0
                                    

Aku mendapatkan piala dan medaliku. Banyak orang memfotoku saat itu. Aku berterima kasih kepada Allah yang sudah membuatku seperti ini. Jika bukan karenaNya, aku tidak mungkin bisa sebahagia ini. Icha dan Imam menemuiku.

"Selamat!" Kata Icha saat ia tiba.

"Keren lu, Bro!" Kata Imam.

"Hahaha. Makasih, ya. Repot-repot ke sini." Kataku.

"Nih, hadiah karena lu udah menang." Icha memberikanku piala mainan.

"Kalo gue enggak menang, ini enggak jadi dikasih ke gue dong?"

"Ya tetep gue kasih lu, sebagai piala juara ke dua. Hahaha." Icha tertawa. Aku juga ikut tertawa setelahnya.

Tak lama Nabila datang menghampiriku.

"Selamat, Rama!" Kata Nabila sambil menyodorkan tangannya, aku menjabat tangannya sejenak, lalu menjabat tangan Anggun yang sudah menyodorkan tangannya juga.

"Enggak sia-sia latihan sering-sering." Kata Nabila saat itu.

"Iya, nih. Alhamdulillah. Enggak sia-sia juga lu nyemangatin gue terus." Kataku. Nabila hanya tersenyum tersipu, Anggun juga tersenyum sambil menyolek tangan Nabila dengan sikutnya. Aku tidak mengerti maksud Anggun.

"Gimana sekolah enggak ada gue?" Tanyaku memecah canggung.

"Biasa aja." Jawab Anggun.

"Iyaa, enggak ada perbedaan. Lu kan di sekolah diem doang." Kata Nabila. Aku mengakuinya, aku memang diam. Diam-diam memperhatikannya. Diam-diam merindukannya. Diam-diam mencintainya. Aku memang harus diam-diam, kalau tidak, bisa jadi ia justru menjauhiku.

"Hahaha, habis, jarang orang yang mau main sama gue. Gue kan jadi sendirian terus, ya kalo gue sendirian, otomatis gue diem-diem doang."

"Iya, sih. Wajar. lu, kan anak baru." Kata Nabila.

"Yaudah, kita balik duluan, ya, Ram." Icha pamit pulang. Aku sedikit terkejut karena lupa akan kehadirannya. Nabila membuatku lupa dengan kondisi sekitar.

"Ohh. Yaudah, hati-hati. Makasih sekali lagi, udah dateng." Kataku sebelum akhirnya mereka berdua pergi.

"Oh iya, Bil. Untuk tugas seni budaya, kita kan harus ngumpulin sampah bungkus kopi dulu, baru bisa buat kerajinan tangan. Gimana kalo pulang dari sini, kita nyari sampah plastik dulu?" Kataku pada Nabila

"Nyari? Nyari di mana? Tempat sampah?"

"Ya jangan, dong. Kita datengin beberapa warteg sama warung kopi, terus bilang sampah kopinya jangan di buang, dikumpulin aja, nanti dua hari kemudian kita ambil. Gimana?"

"Oh gitu. Lu sore ini, bisa, Nggun?" Tanyanya pada Anggun.

"Gue ada kumpul sama temen SMP."

"Yahh." Keluh Nabila. "Yaudah, deh, gue aja sama Rama."

--

Aku dan Nabila ke sekolah menaiki mobil sekolah, bersama dengan guru olahragaku juga. Untungnya Nabila mau menaiki mobil ini. Awalnya, ia lebih baik naik bus, daripada naik mobil sekolah, karena malu dengan guru olahragaku, tapi setelah kurayu, untungnya ia mau.

Sesampainya di sekolah, aku langsung pamit pada guru olahragaku, dan melanjutkan perjalanan menuju warung tegal dan warung kopi yang ada di sekitar sekolah, dan sekitar rumah Nabila.

"Lu tau, kan, Bil, warteg atau warkop deket sini, ada di mana?" Kataku saat kami berjalan kaki bersama. Hari ini sungguh menyenangkan, selain memenangkan lomba, ditonton oleh Nabila, kini aku juga berkesempatan untuk jalan-jalan dengannya. Meskipun hanya berjalan kaki mencari warteg dan warkop.

"Iyaa, tau, ada banyak. Kita mau datengin berapa warteg dan warkop?"

"Sebanyak-banyaknya. Supaya persediaan sampah bungkus kopi kita banyak. Semakin banyak sampahnya, semakin enak untuk ngerjainnya."

"Yaudah, ke sana dulu." Ia menunjuk ke depan. Aku melihat warteg di depan sana.

"Assalamu'alaikum." Kataku saat masuk warteg.

"Wa'alaikumussalam." Kata Ibu-ibu yang berjualan.

"Gini, Bu, saya, Rama. Saya ada tugas dari sekolah untuk bikin keterampilan dari sampah plastik. Di sini, jual kopi hitam enggak, Bu?"

"Jual, kopi susu juga ada."

"Nah kita mau minta sampah bungkus kopi hitam di sini, Bu."

"Yahh, udah kecampur di tempat sampah."

"Bukan yang itu, Bu. Jadi, mulai hari ini, kalo ada yang beli kopi hitam, sampahnya jangan dibuang, disimpen, Bu. Nanti beberapa hari lagi, saya ke sini lagi."

"Ohh. Gitu, kirain sampah yang ada sekarang. Haha. Kan jorok kalo Ibu ambil lagi." Ibu itu tertawa, Nabila juga tertawa kecil.

"Hahaha. Enggak, Bu." Aku juga tertawa. "Yasudah, minta tolong ya, Bu. Sampahnya jangan di buang, saya pamit, mau ke warteg dan warkop lain."

"Iya-iya, nanti Ibu simpen." Katanya sebelum akhirnya aku dan Nabila berjalan pergi.

Nabila hanya diam, ia tidak bicara apapun padaIbu tadi, mungkin ia malu. Atau mungkin ia memang sengaja menyerahkannyapadaku. Tapi tak apa, yang penting ia ada menemaniku untuk meminta sampahplastik saja, aku sudah sangat senang.

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang