36

294 19 0
                                    

Hubunganku dengan Nabila membaik. Namun tidak seperti biasanya. Kamu tahu, kan? Sesuatu yang pernah tergores, akan sulit kembali ke bentuk semula. Apalagi sesuatu yang sudah pecah? Tidak akan bisa menyati kembali seperti sebelum benda itu pecah.

Kini, ada sesuatu yang mengganggu kedekatan aku dan Nabila sehingga aku tidak bisa terlalu dekat dengannya. Setelah saling memaafkan, aku tidak pernah membahas mengenai kedekatannya dengan Raka.

Aku rasa, aku sama sekali tidak memiliki hak untuk menanyakan soal itu. Itu urusannya dengan Raka, sama sekali bukan urusanku. Meski terkadang aku penasaran, sebenarnya, ada apa antara dia dan Raka, mengapa aku sering melihatnya berdua, dan mengapa aku sering melihatnya pergi berdua dengan sepeda motornya.

Namun rasa penasaranku tidak kuladeni. Aku tidak ingin membahas hal-hal yang menurutku bisa membuat konflik baru antara aku dan Nabila. Karena dalam pikiranku, sudah cukup dengan mencintainya dan berteman baik dengannya.

Aku sering bertemu Nabila di gerbang sekolah di pagi hari, dan kadang bertemu dengannya di depan kelasnya di jam istirahat. Namun waktu-waktu seperti itu hanya kami lewati dengan berbincang-bincang sebentar. Tidak terlalu lama dan tidak pernah sampai ada pembicaraan yang mendalam.

Aku juga tidak berani mengajaknya untuk pergi ke suatu tempat berdua, sebab aku menyadari bahwa Nabila dekat dengan Raka. Aku tidak mau mengajaknya pergi dan membuat aku memiliki urusan lagi dengan laki-laki menyebalkan itu.

Takutnya, suatu waktu aku emosi lagi, dan kembali bertengkar dengannya. Dan itu artinya aku bisa mengecewakan Nabila lagi. Aku bisa menjadi laki-laki yang dinilai buruk olehnya karena arogan dan gemar bertengkar yang akhirnya menyakiti perasannya lagi.

Nabila mungkin menganggapku sebagai kakaknya karena sikapku yang begitu peduli dengannya. Namun, tetap saja, aku yakin ia memiliki perasaan yang sama denganku, saling manyayangi. Tapi untuk soal rasa ingin memiliki? Aku masih bertanya-tanya.

Hingga suatu waktu, saat mendekati ujian nasional (UN) di jam istirahat aku bertemu dengannya. Nabila memintaku untuk belajar bersama di rumahnya bersama dengan Anggun. Ia memintaku untuk mengajari contoh soal-soal matematika.

"Ada Thomi, enggak?" Tanyaku saat Nabila mengajakku ke rumahnya.

"Enggak ada, dia pergi sama temen-temennya."

"Kalo tiba-tiba ada Thomi gimana?"

"Dia udah minta maaf sama gue, kayanya dia enggak bakal ngulangin lagi."

"Yakin?"

"Semoga aja, Ram. Tapi kalo emang Thomi ngapa-ngapain lu lagi, lu tenang aja. Kan ada gue."

"Iyaa, Bil. Yaudah, nanti pulang sekolah ketemuan di mana?" Aku nanya lagi.

"Di depan ruang BK aja, ya? Deket gerbang."

"Okee." Kataku sebelum akhirnya meninggalkannya untuk pergi ke kantin.

Rasanya, senang sekali akhirnya aku bisa memiliki waktu bersamanya lagi, walaupun tidak berdua, karena ada Anggun yang ikut belajar bersamaku dan Nabila, tapi, setidaknya aku bisa dekat lagi dengan Nabila.

Walau ada sedikit rasa takut, sebab kekhawatiranku mengenai ada atau tidaknya Thomi di rumahnya, nanti, tetapi aku mencoba untuk percaya pada apa yang Nabila katakan tadi, Thomi tidak akan ada di rumah. Aku mencoba menenangkan diriku dengan mengingat apa yang Nabila katakan dan senyumku melebar karena kembali menyadari bahwa aku akan memiliki waktu bersamanya sore nanti.

Setelah bel tanda pulang sekolah berbunyi, semua barang-barangku kurapikan dan kumasukkan ke dalam tas. Setelahnya, aku segera berjalan menuju ruang BK. Di sana, Nabila dan Anggun sudah menungguku.

Doa Untukmu ✓ ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang