Jika ini adalah sebuah mimpi, maka Ovie berharap dia bisa segera bangun dari tidurnya. Ya, dia berharap kepulangan kakaknya yang entah mengapa sangat tiba-tiba itu hanyalah bagian dari mimpi buruknya. Bagian dari hal-hal yang jangan sampai menjadi kenyataan.Tapi, apa yang ada di depannya sekarang mematahkan itu semua. Genggaman tangan lelaki itu yang erat dan kuat membuat Ovie sadar bahwa ini bukanlah sekedar mimpi.
Ini nyata.
Kakaknya ada di sini. Di depannya. Menggenggam tangannya kuat seolah takut ia akan melarikan diri. Meski sejujurnya dia sangat ingin melakukan hal tersebut.
Tadi Kevin masuk ke dalam cafe dan langsung menarik tangannya tanpa mengatakan apa-apa. Bahkan tidak membiarkan dirinya berpamitan ke teman-temannya.
Lidahnya yang sedari tadi terasa kelu, ia coba membuat suara. "Kak," panggilnya dengan suara pelan.
"Kak Kevin," dia memanggil lagi. Tapi bukannya panggilan itu dijawab, genggaman di pergelangan tangannya justru semakin kuat. "Kak, sakit," dia merintih.
Mereka keluar dari cafe tersebut, menerobos hujan yang masih sangat besar. Seragam sekolah Ovie menjadi basah total, tapi Kevin tidak peduli. Dia selalu tidak pernah peduli padanya.
Kevin membuka pintu mobil untuk Ovie dan menarik gadis itu masuk ke dalam, hampir membuat kepala Ovie terantuk atap mobilnya. Tapi sekali lagi, dia tidak peduli.
Mobil melaju dengan kecepatan normal di atas kendali Kevin yang sedang menyetir. Ovie menatap ke luar jendela dan tak berani bicara, takut terkena sambaran emosi Kevin yang lebih seram daripada sambaran petir.
Ovie memeluk dirinya. Kedinginan. Lalu dia melirik Kevin yang juga memiliki nasib yang sama, setelan formal pria itu juga basah. Tapi cowok itu tidak merasa kedinginan sama sekali, mungkin karena sudah terbiasa dengan suhu musim dingin di Jerman. Berbeda dengan Ovie yang diibaratkan beruang madu namun dipaksa tinggal di kutub.
Ovie mulai menggigil dan AC di mobil itu tidak membantu sama sekali, justru semakin membuatnya tersiksa.
Gadis itu tersentak ketika teringat sesuatu.
Bagaimana kalau kakaknya lupa bahasa Indonesia karena terlalu lama tinggal di Jerman? Tapi apa hal itu mungkin terjadi?
Ovie mengernyit. Mulai berpikir. Kemudian ia mengeluarkan ponselnya dan membuka google translate. Dia akan berbicara dengan Kevin menggunakan bantuan aplikasi tersebut.
"Ich bin kalt," ucap Ovie sambil melirik Kevin di sampingnya.
Tangan kanan Kevin bergerak untuk mematikan AC mobilnya. Ovie kagum dan bangga pada dirinya sendiri, berpikir bahwa dia memang punya bakat dalam menguasai bahasa asing—
"Mir ist kalt."
Mata Ovie membola dan dengan panik mengetik di ponselnya. "Tunggu, tunggu, waittt, biar aku trans—"
"Yang benar Mir ist kalt untuk bahasa Jerman dari 'saya kedinginan'. Ich bin kalt kurang tepat karena artinya 'saya orang yang dingin'."
Ovie menjatuhkan ponselnya ke atas pahanya dan menatap Kevin dengan tatapan tidak pecaya. Dia tak bisa berkata-kata. Dia tidak tau harus bagaimana lagi menghadapi Kevin. Selain itu dia merasa menjadi orang paling tolol.
"Di kursi belakang ada selimut baru," kata Kevin lagi. "Ambil."
Ovie menghela napas. Jengkel, kesal. Tapi dia menjulurkan tangannya dan meraih selimut yang Kevin maksud. Lalu memakai selimut itu ke seluruh tubuhnya, bahkan sampai kepalanya tidak terlihat.
Di dalam selimut, Ovie memainkan ponselnya, membalas pesan yang dikirim oleh teman-temannya.
Biri Biri Squad
Laura : Ovie, lo oke?
Genta : Kalian tau Vecna yang ada di stranger things?
Genta : Persis kayak kak Kevin auranya
Ovie : Kurang oke
Ovie : Tapi gue setuju sama Genta
Ovie : Nggak lama lagi gue bakal kena kutukannya
Ovie : Tungguin aja
Genta : Ovie, jujur, ketikan lo serem banget
Dion : LOLTiba-tiba selimut itu ditarik oleh Kevin. Cowok itu memberinya tatapan sinis.
"Jangan main hp."
"Dion bilang nggak akan kesamber petir selama nggak mainin sambil di charge."
"Dion?" dia bertanya dan kembali fokus menyetir. Genggaman jemarinya di stir mobil menguat ketika mendengar nama pria lain yang Ovie sebut.
"Dia—"
"Jangan."
"Apa?"
"Duduk aja yang tenang."
Ovie menurut. Dia kembali memandang ke luar jendela. Dia enggan bertanya macam-macam pada kakaknya ini. Pertanyaan seperti sejak kapan kakaknya pulang dari Jerman, atau mengapa kakaknya datang menjemputnya tiba-tiba.
"Yang mana?" Kevin bertanya.
Ovie mengernyit bingung. "Apanya?"
"Si Dion. Left or right?"
Ovie mengerjap bingung. Tapi kemudian dia paham. "Yang duduk di depan aku," balasnya.
Tak ada suara lagi setelahnya sampai mobil itu terpakir rapih di rumah mereka. Lantas, Ovie segera berlari masuk ke dalam dan menemukan Luna sedang menunggunya di ruang tamu.
"Kalian kenapa basah-basahan begini?" Luna bertanya khawatir dan mendekati Ovie.
"Mama," Ovie memasang wajah melas, mencari pendukung sebelum perang dimulai.
Tau-tau Kevin sudah muncul di belakangnya.
"Ovie nongkrong di cafe, mama udah tau?"
"Bukan nongkrong, kami ngerjain tugas!" Ovie membela dirinya sendiri. "Mama udah tau kok... ya kan, ma?"
"Nggak. Aku udah ada di sana dari awal kalian datang. Dan yang kalian lakuin lebih banyak bercandanya daripada serius belajar."
"Masa—"
"Kalau serius belajar, kalian udah bisa pulang sebelum hujan turun."
Ovie melotot. Apa kakaknya ini juga menghitung setiap detik saat mereka mengobrol dan kapan mereka belajar dengan detail?!
Alis Kevin terangkat satu, menatapnya lurus. "Ada pembelaan, Ovie?"
Ovie terdiam, menunduk. Kemudian berbalik, hendak memasuki kamarnya yang ada di lantai dua. Sejak dulu berdebat dengan Kevin hanya akan sia-sia ia lakukan. Cowok itu selalu mengalahkannya secara telak. Dan dia akan selalu menjadi tidak berkutik dibuatnya.
Luna menatap putrinya yang sedang menaiki tangga dengan tatapan khawatir.
"Kevin, jangan terlalu keras sama Ovie."
"Mama juga jangan terlalu manjain dia, jadi sulit diatur kayak gitu."
"Nggak. Ovie anak baik."
Kevin mendengus. "Ma,"
Luna terkekeh, dia memukul lengan Kevin lembut. "Kamu mau makan sekarang?"
Sementara di dalam kamar, Ovie duduk di kursi belajarnya dengan wajah kesal. Berdiam diri sambil mencoba menurunkan kekesalannya, yang entah kenapa emosi di dalam dirinya membuat dia ingin menangis. Kembalinya Kevin membawa pengaruh buruk pada dirinya— pada hidupnya. Sejak dulu, mereka memang tidak pernah dekat. Hubungan mereka juga tidak sebaik itu. Sekarang juga rasanya tidak jauh berbeda dengan bertahun-tahun yang lalu.
Ovie mengambil handuk, namun sebelum dia masuk ke kamar mandi, dia membuka ponselnya sekali lagi.
Ada satu pesan dari Genta yang cowok itu kirimkan di grup Biri-biri.
Genta : Btw, ternyata kakak lo nggak seburuk itu
Genta : Bilangin makasih dari kita ya, Vi, hehehehe jadi nggak enak nihOvie mengetik balasan.
Ovie : Maksudnya? Makasih buat apa?
Genta : Udah bayarin bill makan kita semua
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Brother [Revisi]
RomanceOvie merasa punya kakak super posesif seperti Kevin adalah sebuah kutukan. Ia selalu merasa kakak tertuanya itu membenci dan menaruh dendam padanya. Pernyataan itu ternyata tidak hanya ada dalam pikirannya, karena ketiga temannya juga berpikir hal y...