➊➊ | Undecided

101K 6.4K 544
                                    

"Kak Kevin?" Suara dari dalam kamar Ovie membuat Kevin menghampiri si pemilik suara. Terlihat dari tempatnya berdiri, Maudy sedang bersusah payah menggotong Ovie untuk berbaring di kasur. Karena posisi awal Ovie tergeletak di lantai.

Dengan sigap Kevin membantu Maudy, tubuh Ovie ringan jadi sangat mudah bagi Kevin untuk mengangkatnya meski sendiri.

"Ovie udah kayak bi Siti aja tidurannya di lantai." Ujar Maudy entah pada siapa.

Tak ada yang Kevin dan Maudy lakukan selain menatap wajah polos Ovie. Sedangkan tak ada pergerakan sama sekali dari Ovie selain memejamkan bola mata coklatnya yang indah. Hingga hanya memperlihatkan bulu matanya yang lentik.

"Suhu tubuhnya ga terlalu panas sih. Cuman mukanya pucat banget." Ucap Maudy, ia yang kuliah mengambil jurusan kedokteran menjadi lebih peka dengan yang kondisi Ovie.

Kevin nampak gelisah, ia terpikir Zefanny. Ia takut membuat gadis itu menunggu. Apalagi ia sudah lebih dulu berjanji. Tapi ia juga takut dengan yang terjadi pada Ovie. Jika sampai Ovie kenapa-kenapa ia berjanji tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

"Kak Kevin ngapain segala kunciin Ovie? Memangnya Ovie punya salah?" Sifat kepo Maudy mulai keluar. Ini yang membuat Kevin malas berlama-lama mengobrol bersama Maudy. Maudy kalau nanya sampai ujung yang paling dalam.

"Nggak." Jawaban singkat dari Kevin sukses membuat Maudy diam seribu bahasa. Maudy hanya menghebuskan napasnya karena jawaban dari Kevin tidak memuaskan.

Suara ketukan pintu mengalihkan atensi kedua orang yang membuka mata. Bi Siti datang membawa semangkuk bubur hangat dengan tambahan sayur-sayuran.

"Makanan rumah sakit banget, ya, Bi." Canda Maudy yang mendapat sinisan dari Kevin. "Iya, nggak, maaf."

Bi Siti meletakan mangkuk itu di meja yang ada di samping Ovie.

"Neng Ovie cantik ya kalau tidur." Puji Bi Siti.

Maudy tersenyum dan mengangguk setuju. Namun respon gelengan dari Kevin membuat mereka mengernyit.

"Kenapa, Kak?"

"Ovie cantik saat ngapain aja." Ujar Kevin dengan tampang serius.

•••

Senyuman manis tidak luntur juga diwajah manis Zefanny. Kini ia sedang memilih baju yang sesuai untuk menemui papanya. Ia ingin terlihat baik di depan papanya. Supaya dapat membuktikan kalau ia dapat hidup tanpa papanya. Tapi disatu sisi ia ingin membuat ayahnya tidak khawatir akan hidupnya sekarang, meski mungkin ayahnya sudah tidak peduli lagi padanya.

Tiga setel baju sudah ia coba. Namun tidak ada yang menurutnya cocok. Entah itu karena alasan sering dipakai, atau bajunya sudah jelek.

Akhirnya setelah pegal pakai-lepas baju, Zefanny memantapkan pilihannya pada baju hitam tanpa lengan, dan celana jeans pendek.

Langkah Zefanny menuju meja rias, dan mulai merias wajahnya. Tidak butuh waktu yang lama untuknya berdandan, karena dirinya sudah cantik meski tanpa polesan. Terakhir yang Zefanny lakukan adalah menggulung rambutnya tinggi-tinggi. Hingga memamerkan leher jenjangnya.

Zefanny menatap pantulannya di cermin. Menatap dirinya membuat senyuman yang tadi terukir kini hilang tergantikan dengan wajah datar yang menurutnya menyedihkan.

"Nggak boleh, Zef. Nggak boleh..." Ujarnya pada diri sendiri. Memerintah pada dirinya untuk menahan perasaan yang makin lama makin membesar. Perasaan yang semakin dicoba lupakan justru bertambah.

Bunyi notifikasi ponsel, membuat atensi Zefanny teralihkan. Ia menatap ponsel yang tergeletak di atas meja rias. Matanya membaca nama orang yang tertera di sana; Kevin. Satu nama orang yang membuat hidupnya berubah menjadi baik.

Zefanny mengambil ponselnya, mengusap layar dan memasukkan kata sandi yang merupakan tanggal dan bulan lahirnya; 0408.

Pesan singkat dari Kevin yang sebenarnya membuat merasakan nyeri di hati.

Kevin

Tunggu. 2 jam lagi sampai

Tatapan Zefanny berubah kosong.

Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya membalas pesan Kevin dengan singkat.

Ia mencoba tersenyum. Memaksakan bibirnya untuk melengkung, meski dirasa sangat aneh. Karena tersenyum di saat hatinya sedang tidak baik.

•••

Kevin geram. Ia kesal benar-benar kesal dengan dirinya sendiri. Ada banyak hal yang membuatnya ingin meluapkan amarah. Yang pertama mengenai kondisi gadisnya, maksudnya adiknya,-Ovie. Ovie terlihat lemas tidak berdaya. Wajah manis milik Ovie terganti dengan wajah pucat. Kevin merasa gagal menjaga Ovie. Ia terlalu berlebihan menghukum Ovie.

Kini Ovie sedang disuapin makan oleh Maudy.

"Udah, kak. Aku mual." Daritadi Ovie terus merengek seperti itu. Padahal Ovie belum menghabiskan setengah mangkuk bubur tersebut.

"Sekali lagi, Vi." Dan itu adalah kalimat balasan yang Maudy ucapkan.

Alasan kedua adalah Zefanny. Ia sudah benar-benar melewati janji. 2 jam yang harusnya ia datang menjadi batal. Ia sudah telat 15 menit yang lalu. Sebenarnya ia juga sudah mengabari Zefanny jika ia akan telat datang. Namun pesan dan panggilan darinya belum juga dibalas. Dan itu yang membuat Kevin khawatir. Zefanny itu pemberani, dan perempuan nekat. Kevin takut jika perempuan yang sudah dianggap sebagai adiknya itu nekat pergi sendiri.

"Kak,"

Kevin menoleh, menatap Maudy bingung. "Apa?"

"Kok malah bengong?"

Kevin menghela napas dan tidak menjawab. Ia bangkit dari posisi duduknya diatas ranjang Ovie dan berjalan mendekati pintu. Membuka pintu tersebut, lalu berjalan keluar dan kembali menutup pintu dengan rapat.

"Kak Kevin ada masalah, ya, kak Maudy?" Tanya Ovie. Suaranya terdengar pelan, karena kondisinya masih lemah.

"Nggak tau, tuh. Ribut sama ceweknya kali."

"Kak Kevin punya pacar?" Jawab Ovie, terkejut. Ada sedikit rasa tidak ikhlas mendengar kalimat yang belum tentu benar adanya.

Maudy mengaduk-aduk bubur milik Ovie sambil mengidikan bahunya bertanda tidak tahu.

•••


Possessive Brother [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang