❹❶ | Kesempatan

64.8K 4.1K 993
                                    


           Kevin menatap langit kamarnya dengan pandangan yang kosong. Ia mengingat dengan jelas apa yang diucapkan olehnya semalam pada Ovie. Setiap mengingatnya, rasanya ia merasakan rasa penyesalan yang bertubi-tubi. Kalau saja ia tidak mabuk, mungkin ide gilanya tidak akan tersampaikan. Namun sudah menjadi kebiasaan jika mabuk, ia seringkali berkata jujur, kelewat jujur. Suka sekali mengakui apa yang terus menghantui dalam pikirannya.

Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu di tengah kacau perasaannya. "Kevin, kenapa tidak keluar?"

Kevin langsung beranjak begitu mendengar suara Siska. Ia membukakan pintu untuk neneknya. Sebelum wanita tua itu pergi.

Begitu pintu dibuka, Siska terkejut melihat Kevin yang aneh. "Kenapa?"

"Masuklah, aku ingin bicara." Siska mengernyit heran begitu lengannya ditarik masuk ke dalam oleh Kevin. Dan mau tidak mau ia harus masuk ke dalam kamar cucuknya. Sebelum berpikir dalam hati apakah ia harus mengirim psikiater ke rumah?

"Ada apa?"

"Tadi malam..." Siska menunggu dengan sabar. Melihat napas cucunya yang kembang-kempis seperti seseorang yang baru saja ikut lomba lari maraton, dan ia berpikir jika Kevin baru saja lari pagi seperti biasa. Tapi, mengingat kondisi kacau dan pakaian yang dikenakan adalah setelan sederhana untuk pergi ke kantor, sepertinya itu tidak mungkin.

"Maaf, tapi nenek ingin memberitahu sesuatu padamu." Kevin mengangguk. Mengizinkam neneknya yang bicara lebih dulu.

"Kamu seperti orang kurang waras sekarang."

"Nek, ini bukan waktunya bercanda!" Kevin mendesah kesal.

"Nenek tidak sedang bercanda, tau! Nenek ingin kamu mendapat obat dari mereka supaya berhenti panik seperti sekarang."

"Bukan itu yang penting." Sela Kevin membuat Siska berhenti memikirkan jam untuk memanggil psikiater yang ia kenal. "Tadi malam aku melakukan hal gila."

"Hal gila?" Siska mulai penasaran. "Segila apa?"

Kevin menghela napas. "Tadi malam aku menawari Ovie untuk membuat bayi." Siska memelotot. "Mungkin itu jalan yang ampuh untuk mengatasi semua masalah yang terjadi."

"Oh, ya Tuhan, itu ide bagus!"

"Nenek!" Kevin pikir ia akan mendapat pukulan dari Siska. Tapi itu tidak memungkinkam dengan ekspresi ceria yang Siska tunjukan.

"Apakah nenek harus memesankan hotel untuk kalian? Ah, mungkin ide bagus untuk membawanya pergi berlibur."

•°•°•°•°•

          Ovie menyalin catatan Bahasa Indonesia milik Laura, sedangkan Laura asik memainkan ponsel miliknya. Jika saja waktu itu Ray tidak membawanya ke UKS, ia tidak harus mencatat susulan seperti ini. Ovie menghentikan jarinya saat melihat senyuman misterius Laura yang terarah padanya.

"Apa?"

Laura tersenyum semakin lebar. "Nggak mau cerita sesuatu yang lo sembunyiin, nih?"

Kernyitan Ovie makin dalam. Masih tidak paham, daripada lanjut dalam obrolan tidak jelas yang dimulai Laura, ia melanjutkan acara menulisnya. Ia tidak ingin diganggu, ia ingin sesegera mungkin menyelesaikan catatan bahasa Indonesianya sebelum jam istirahat berakhir.

"Gue udah rela nggak ke kantin buat nemenin lo di sini. Jangan cuekin gue." Kesal Laura. Di kelas hanya ada ia, Ovie dan perempuan-perempuan yang asik bergosip. Sedangkan, Dion dan Genta pergi ke kantin.

Possessive Brother [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang