➊➌ | Dissimulate

90.1K 5.7K 305
                                    

Ovie hanya memejamkan matanya, pura-pura tertidur. Sebenarnya dirinya sama sekali tidak mengantuk. Ia terpaksa melakukan ini, karena kakaknya terus memaksanya untuk tidur. Padahal semalaman penuh ia sudah tertidur. Meskipun sebenarnya semalam ia tidur tidak nyenyak karena menahan lapar, tapi intinya ia sudah kenyang akan tidur. Posisinya Ovie membelakangi Kevin. Dikarenakan Ovie tahu kakaknya pasti akan tahu jika ia belum tidur jika seandainya Kevin melihat wajahnya.

Raut wajah Ovie gampang ditebak. Jika ia berbohong pasti akan langsung ketahuan, begitu juga jika ia sedang sedih. Meskipun Ovie mencoba untuk menutupi dengan mengelak, tapi tatapan matanya tidak bisa berbohong.

Ovie terus memejamkan matanya sambil memeluk guling. Pikirannya melayang pada ponselnya yang masih di sita Kevin. Ia jadi takut jika Kevin membuka-buka isi ponselnya.

Bunyi pintu terbuka lalu tertutup membuat Ovie menoleh pelan, takut jika Kevin masih memantaunya. Tapi kondisi kamarnya kosong. Hamya ada dirinya, tanpa Kevin.

Ovie menghela napas lega. Setidaknya ia bisa merasakan nyaman di kamarnya. Karena tidur sambil ditatap manusia itu bikin risih. Apalagi kalau ditatap mahkluk yang tidak jelas bentuknya.

Ovie terdiam dahulu sambil menatap pintu dengan warna putih itu, menatapnya beberapa detik untuk meyakinkan jika kakaknya tidak akan kembali masuk. Namun, ia langsung berlari ke arah pintu karena dalam pikirannya kakaknya akan menguncinya lagi.

Namun, dugaannya salah. Pintunya masih bisa ia buka. Intinya, kakaknya tidak menguncinya lagi.

Ovie mengintip di cela pintu. Keadaan lantai 2 begitu sepi. Ovie menajamkan telinganya, ia dapat mendengar suara mesin cuci. Dan Ovie yakin itu adalah Bi Siti. Akhirnya Ovie mendengar suara lain, suara mobil Kevin, yang lama-lama menjauh dan hilang. Ovie tidak dapat menyembunyikan rasa leganya. Ia yang tadinya berwajah tegang kini berubah menjadi berseri-seri.

Ovie membuka pintu lebar-lebar dan berlari ke arah bawah. Jika tak ada Kevin, ia seperti merasa jika rumah ini miliknya. Berbeda jika ada kakaknya, justru Ovie akan merasa jika Kevin adalah ibu kost yang galak dan akan memarahi penghuni kost yang berisik.

Ovie membuka pintu kulkas, matanya menjelajah isi lemari pendingin tersebut. Mencari makanan manis kesukaannya. Namun nihil. Benda yang berbentuk persegi panjang itu tidak ada. Tak ada yang Ovie lakukan kini selain tiduran di sofa sambil menonton televisi. Ia memang butuh hiburan, tapi bukan acara TV yang menurutnya membosankan. Ia butuh cemilan, dan ponselnya kembali.

•••


Kevin memberhentikan mobil mewahnya tepat di depan gang kecil. Gang itu hanya kecil, sehingga mobilnya yang ukurannya 2 kali lipat dari gang itu jelas tidak akan muat untuk masuk. Masih dikatakan siang, tapi keadaan sangat sepi, hanya ada lalat-lalat yang berterbangan. Karena tepat disamping kanan gang ini adalah tempat pembuangan sampah, dan di samping kirinya adalah restoran yang dijual namun sampai saat ini belum ada yang berminat membelinya. Sehingga restoran ini tidak terurus.

Kevin memundurkan sedikit mobilnya ketika dari arah gang ada seorang bapak tua mengendarai sepeda. Lingkungan ini memang lebih banyak ditempati oleh orang-orang tua yang kebanyakan ditinggali anak mereka. Namun tak jarang tempat yang sepi begini dijadikan bandar narkoba.

Kevin memperhatikan sekelilingnya. Tak ada yang berubah sejak ia membawa Zefanny bersamanya. Masih sama, seperti ini; bau dan kotor.

Kevin keluar dari mobil. Sepatu mahalnya yang seharga ratusan ribu menginjak aspal yang sudah rusak, dan kebanyakan berlubang. Andai saja Kevin pemerintah di tempat ini, pasti sudah Kevin rubah jalanan ini menjadi tempat yang baik, setidaknya akan lebih bagus dari sekarang.

Kevin memakai kacamata hitamnya, menambahkan kesan keren dalam dirinya.

"Dek," suara nenek-nenek dari arah belakang Kevin membuatnya menoleh. Seorang nenek bongkok membawa tongkat dengan rambut yang berwarna putih semua.

Kevin tak menjawab, ia hanya menatap nenek itu dengan tajam, seolah berkata dengan berani. 'Mau apa?'

Nenek-nenek yang ditatap itu menjadi takut.

"Mobilnya tolong di jauhin, ya, dek. Mata saya silau liatnya."
Kevin menaikan kacamatanya. Menyipitkan matanya. Wanita tua yang diperhatikan jadi salah tingkah.

Selesai menatap nenek itu, Kevin tidak menuruti permintaan wanita tua itu. Ia justru masuk ke dalam gang yang berada dalam jalan kebahagiaan. Meninggalkan nenek itu yang menggeleng karena tingkah songong Kevin.

Baru berjalan beberapa langkah saja sepatu mahalnya sudah kotor karena lumpur. Kevin tidak peduli, toh ia dapat membeli sepatu lagi.

Bangunan yang tidak jelas bentuknya itu adalah rumah yang dihuni ayah Zefanny. Bangunan tiga lantai, dan tempat ayahnya Zefanny ada di lantai tiga. Jujur saja, Kevin paling malas jika harus menaiki tangga. Bukan karena ia pemalas, tapi tangganya yang membuatnya malas. Tangga yang terbuat dari kayu itu sudah agak rapuh. Membuat Kevin harus berhati-hati menaikinya, karena jika ia salah langka maka akan terjadi malapetaka.

Kevin sudah berada di lantai 2, dan ia segera menuju lantai 3. Langkahnya begitu pelan, apalagi ada seorang pria tua didepannya, membuat ia harus berjalan di belakang pria yang jalannya saja lambat. Ingin menerobos, tapi Kevin rasa tidak sopan.

Akhirnya, Kevin dapat terbebas berjalan di belakang si kakek tadi. Kini Kevin berjalan santai di lorong yang akan mengantarkannya ke tempat Zefanny berada.

Dari posisi Kevin sekarang, ia dapat melihat seorang perempuan berdiri. Siluitnya mirip Zefanny.

"Fa," Kevin berbicara sambil memegang bahu perempuan yang berdiri di depannya.

Zefanny berbalik. Meski tempat ini gelap, tapi dari aroma dan suara khas Kevin sudah mampu membuat Zefanny tau siapa orang yang sedang ada di depannya.

"Lo ngapain di sini? Bukannya Ovie sakit?" Tanya Zefanny. Jujur, ada sedikit rasa senang mengetahui Kevin mengkhawatirkannya.

"Lo juga ngapain diluar. Kenapa gak masuk?"

Zefanny menunduk. "Gue takut." Ujarnya dengan suara pelan.

"Sekarang udah ada gue. Nggak usah takut lagi." Bukan maksud Kevin untuk gombal, hanya saja kata itu terlintas begitu saja di pikirannya.
Tangan kanan Kevin menggenggam tangan Zefanny, sedangkan tangan kirinya digunakan untuk mengetuk pintu.

Jantung Zefanny berdetak tidak karuan. Entah karena ia takut bertemu papanya, atau karena tangannya yang dipegang Kevin.

Tiga ketukan tidak mendapat jawaban.

"Balik aja yuk, Vin."

Kevin menoleh dan menggeleng keras.

"Gue ta-"

"Ada gue." Potong Kevin cepat.

Suara pintu terkunci membuat Kevin dan Zefanny yang mendengar semakin yakin jika ada seseorang di dalam.

"Fa, coba panggil."

Zefanny mengeratkan tangannya pada Kevin. Ia takut. Benar-benar takut. Ia pernah disiksa, bahkan dijual ayahnya sendiri. Bagaimana bila ternyata ayahmya sudah memiliki keluarga lain dan sudah hidup bahagia. Zefanny tidak ingin menjadi perusak. Ia datang hanya ingin melihat ayahnya, itupun jika ayahnya mau melihatnya juga.

"Pah?" Suara Zefanny serasa tertahan.

"Lebih keras." Suruh Kevin.

Zefanny menarik napas. "Papa, ini Zefa, anak papa. Zefa mau liat papa, mau ketemu papa. Zefa kangen papa..."

"Pergi! Saya nggak mau liat kamu! Kamu bukan anak saya!" Kalimat yang membuat hati Zefanny hancur seketika. Ia bukan apa-apa lagi bagi ayahnya. Ayahnya sendiri tidak mau lagi mengenalnya.
Tak ada yang lebih sakit dari tidak diakui oleh keluarga sendiri.

Kevin menahan amarahnya. Sejak awal bertemu Gilang, Kevin tidak suka dengan pria yang menjadi ayah Zefanny itu.

"Zefa cuma mau liat papa, kalau papa nggak mau liat Zefa nggak apa-apa kok." Zefannya menghapus air mata yang sudah jatuh mengenai pipinya. "Zefa sayang pa-"

Suara sesuatu yang jatuh membuat Zefanny dan Kevin saling pandang. Membuat keadaan hening. Zefanny panik, dan Kevin juga sama.

"Biar gue dobrak aja pintunya."

Possessive Brother [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang