➋➍ | Flavor

69.4K 4.3K 154
                                    

Dentuman musik yang keras sangat memekakan telinga. Terkecuali untuk manusia-manusia biadab yang ada di sana, mereka semua nampak menikmati. Asap rokok, bir, bergoyang, atau melakukan hubungan yang seharusnya dilakukan oleh orang yang sudah menikah.

Panggilan telephone dari sang mamapun Kevin tidak dengar saking kerasnya musik pop yang disetel.

"Vin." Panggil Zefanny. Ia sedari tadi menemani Kevin duduk di bangku bar. Matanya tidak berhenti ke arah meja, di atas meja terdapat ponsel Kevin yang menyala serta tertulis 'MAMA' yang besar. "Ponsel lo bunyi terus tuh." Ujar Zefanny memberi tahu.

"Biarin aja, nggak penting."

"Semuanya aja nggak penting. Bahkan kehadiran gue disini juga nggak penting, kan?"

Kevin yang sedari tadi terbengong sambil meneguk minuman anggurnya langsung terdiam, matanya melirik Zefanny. Zefannypun sama diamnya, tapi ia berani menatap mata coklat milik Kevin. Saling bertatapan, hingga akhirnya Kevin lebih memilih mengangkat panggilan dari Luna.

"Kenapa, ma?" Ucapnya agak teriak, karena mamanya pasti tidak akan mendengar suaranya yang biasa jika ditempat ini.

"Di mana, Vin?"

"Nggak denger suara musiknya? Menurut mama Kevin dimana?"

"Pulang, Vin. Mama sudah arah pulang ke rumah." Jawab Luna tanpa memperdulikan ucapan terakhir anaknya. Luna kini sudah dalam perjalanan bandara sampai ke rumah. Jaraknya lumayan jauh, sekitar satu jam menghabiskan waktu.

"Ngapain suruh Kevin pulang? Biasanya kalau Kevin pulang juga mama nggak ada di rumah. Kevin nggak pernah maksa mama ada saat Kevin dirumah." Kini Kevin berjalan ke arah kamar mandi, ia mencuci wajahnya, mencoba meredakan emosinya. Biasanya dengan mencuci muka dirinya akan merasa lebih baik.

Luna menggigit bibirnya, ia merasakan apa yang selama ini anaknya rasakan. "Bukan gitu, Kevin. Ini penting. Lagian ini juga udah malam, ngapain masih disana."

"Urusan mama yang selalu mama anggap penting!"

Tanpa mendengar jawaban dari Luna, Kevin sudah lebih dulu mematikan sambungan telephone. Memang bena selama ini Kevin selalu dimanja, ia ingin apa pasti akan diberikan. Tapi bukan iyu semua yang Kevin inginkan. Bagaimanapun juga ia butuh orangtua yang mengantar jemputnya sekolah. Selama ini Kevin selalu terlihat tegar, apalagi jika didepan adik-adiknya

"Lama banget," ujar Zefanny ketika Kevin sudah kembali duduk disampingnya. Kini mereka tidak duduk dibangku bar, tapi mereka duduk disofa panjang warna merah yang berada di pinggir ruangan. Menjauhi kebisingan.

Tangan Zefanny terulur mengelus bahu tegap Kevin, lalu ia tersenyum. Ia tahu apa yang sedang Kevin rasakan. Selama ini Zefanny selalu menjadi senderan untuk Kevin. Ia siap mendengar keluh kesah Kevin.

"Nggak apa-apa." Zefanny menarik tangan Kevin, dan membawa kepala itu ke bahunya. Kevin tidak menolak, ia membiarkan Zefanny mengusap kepalanya lembut dan memberikannya kenyaman.

•••

"Masih lama, tante?"

Luna menghela napas. Ia baru saja sampai dirumah. Satu jam sudah berlalu. Sudah jam 11, dan anaknya benar-benar tidak pulang. Sedari tadi Luna sudah menelfon Kevin berkali-kali, namun brlum juga diangkat, pesan yang ia kirin juga tidak dibaca. Pasti Ovie dan Maudy sudah tidur, dan Luna tidak ada niatan untuk membangunkan mereka. Lagipula mereka bisa bertemu Jasmine besok pagi.

Luna menggeleng menjawab pertanyaan Jasmine. "Kamu tidur aja, ya. Besok pasti Kevin pulang."

Jasmine menekuk wajahnya. Ia tidak butuh tidur. Perjalanan jauh tadi saja sudah membuatnya tidur panjang.

"Emang Kevin dimana, tante? Aku aja yang kesana." Ujarnya.

Luna menggeleng keras. Ia tidak setuju jika Jasmine menyusul Kevin ke bar. Club itu sangat bahaya untuk perempuan macam Jasmine. Jasmine itu wanita yang rumahan, bahkan unyuk sekolah saja Jasmine dirumah; homescholing.
Jadi rasa ingin tahu Jasmine pada dunia luar sangat besar.

Kini Jasmine mulsi menampakan ekspresi narah. "Tante tinggal kasih tahu aja!"

Mendengar bentakan dari Jasmine, Seno mendekat dan mengusap pucuk kepala Jasmine lembut. "Boleh aja,"

"Sen, aku nggak mau tanggung jawab kalau Jasmine kenapa-kenapa." Ujar Luna.

"Ada aku yang bakal anter." Balas Seno. Sejujurnya, ia juga tidak mau keluar dengan tujuan menhemput anaknya. Karena menurutnya itu membuang waktu, apalagi ia sangat lelah akan perjalanan yang baru saja ia selesaikan. Tapi mau bagaimana lagi, Jasmine sangat keras kepala, melebihi Kevin. Jika dilarang justru makin menjadi. Yang ia takutkan adalah Jasmine keluar sendiri tengah malam nanti.

"Aku tidur duluan," kemudian Luna berlalu pergi.

Seno menghela napas pelan. Setelah urusannya selesai, ia akan bicara empat mata pada istrinya."Ayo, Jasmine."

•••

Zefanny membantu Rizal meracik minuman, meski begitu matanya tidak lepas dari Kevin yang sedang duduk dengan 2 perempuan yang menghimpitnya. Kedua perempuan itu adalah pengunjung disini, mereka bukan pekerja. Sepertinya, pengunjung dengan pakaian terbuka itu tertarik pada Kevin. Lihat saja tingkahnya yang bikin Zefanny geram.

"Fokus dulu, Fa." Ujar Rizal mengingatkan. Lelaki dengan badan besar dan kepala botak itu mengambil gelas yang ada di tangan kanan Zefanny dan melanjutkan pekerjaan gadis itu. "Padahal lo sendiri yang suruh gue harus fokus kalau lagi kerja." Lanjutnya sambil neracik minuman dengan alkohol yang tinggi tersebut.

"Sorry,"

"Ke atas aja sana, istirahat." Ucap Rizal karena khawatir dengan Zefanny. 5 tahun yang lalu, Rizal dulunya preman di sekolahnya. Pada kelas 12, tepat sebelum ujian kelulusan dimulai ia dikeluarkan dari sekolah. Perbuatannya saat itu tidak dapat lagi di toleransi. Menghamili seorang gadis yang berumur 16 tahun, adik kelasnya sendiri. Bukan karena Rizal yang memaksa melakukan, tapi karena kehendak mereka berdua atas nama cinta.

Sama seperti Rizal, Zahra nama gadis itu juga dikeluarkan dari sekolah. Hingga saat ini, Rizal tidak tahu dimana Zahra berada. Orangtua Zahra yang merupakan keluarga terpandang melarang keras putri satu-satunya bertemu Rizal. Bar ini adalah tempat yang sering Zahra dan Rizal datangi. Banyak kenangan mereka yang tersimpan. Sehingga, setelah Rizal tidak lagi bersekolah, ia menawarkan diri untuk bekerja disini.

"Daripada khawatirin gue, lebih baik lo pikirin diri lo sendiri. Lima tahun udah berlalu dan lo masih aja nggak punya semangat hidup."

Rizal terkekeh. "Tuh," Rizal menujuk Kevin. Citra mengikuti arah telunjuk Rizal, "udah bertahun-tahun kenal, tapi nggak juga punya hubungan lebih dari teman."

"Ih!" Zefanny menghentakan kakinya tanda kesal. Ia menabok dada Rizal pelan. Meski ingin marah, tapi senyuman tidak bisa ia sembunyikan. Hal itu membuat Rizal tersenyum lebar dan makin gencar menggoda Zefanny.

•••

Possessive Brother [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang