"Kalau memang sudah tidak niat kerja, silahkan keluar dari tempat ini! Saya tidak menerima karyawan pemalas macam kamu!" Ujar Kevin bersamaan dengan map biru yang ia lempar ke arah perempuan di depannya menyebabkan isi dari map itu berhamburan keluar. "Tempat ini tidak membutuhkan sampah!"
Beberapan karyawan di sana yang merupakan rekan kerja perempuan yang dimarahi oleh Kevin hanya mampu menatap prihatin juga ada yang masih melanjutkan pekerjaan mereka, entah pura-pura supaya tidak terlibat dan terkena amuk Kevin atau betulan bekerja.
"Maaf, pak. Saya akan buat laporan baru." Ujar perempuan itu pelan. Ia berjongkok dan memunguti kertas-kertasnya yang berhamburan.
"Saya kasih waktu satu jam, atau kamu saya pecat!" Ucap Kevin sadis, lalu ia berjalan ke arah lift. Hingga ia sudah tidak nampak lagi.
Perempuan yang bernama Tania itu merapikan rok mininya setelah berdiri, lalu mendengus kasar. Rambutnya yang tadinya tergerai indah ia sanggul cantik. Ia berjalan ke mejanya dengan kaki yang menghentak kasar ke ubin.
Tania duduk dikursi miliknya. Kedua temannya mendekatinya.
"Cari gara-gara mulu." Ucap perempuan berumur 23 tahun pada Tania. "Udahlah, akuin aja kalau lo kalah." Lalu Aurel tertawa bersama temannya yang satu lagi, yang bernama Alin. Taruhan yang mereka bertiga mulai melibatkan Kevin. Taruhannya simple saja, tapi sulit dilakukan.
Menakhlukan dengan Kevin. Mudah saja Tania lakukan, jelas ia cantik. Tapi dengan Kevin rasanya sulit.
Jika ada yang dengar, pasti akan mengatai mereka bertiga gila. Dapat berbicara dengan Kevin saja rasanya ingin mengadakan syukuran.
Diawali dengan mereka yang paling lama bertahan dengan minum alkohol, ternyata Tanialah yang pertama menyerah hingga membuatnya terbukti kalah dan harus mendekati Kevin. Jika gagal, Tania harus membelikan make-up limited idetion yang hanya ada di Thailand pada Alin dan Aurel. Bukan masalah harga make-upnya yang setara dengan gajinya selama 2 bulan, tapi masalah harga dirinya.
"Masih belum. Lo berdua pasti akan teriak iri kalau gue berhasil."
"Dan kita berdua akan ketawa paling keras kalau gagal."
Tania berdecak. "Lagian tipe cewek dia kayak mana sih? Gue udah tampil sok polos begini masih nggak dilirik juga,"
"Polos apaan roknya mini begitu!" Ceplos Alin.
"Tan, lanjutin kerjaan lo. Waktu lo cuma satu jam atau lo nggak punya kesempatan lagi buat pepet pak Kevin"
Sementara diruangan Kevin, pria itu memijit pelipisnya. Ia jadi tidak bisa mengontrol emosinya hanya karena kejadian tadi pagi.
Semua karena Ovie. Memikirkan yang tadi pagi, membuat ia ingin menjemput Ovie saat gadis itu pulang sekolah. Tangannya terulur mengambil ponselnya, dan berniat menghubungi Zefanny untuk tidak menjemput Ovie.
Dan seketika seringai terbit di ujung bibir Kevin.
Bisakah ia mulai rencananya?
°•°•°•°•°
Kak Zefanny : hari ini yang jemput Kevin ya...
Ovie langsung berlari saat bel pulang sekolah berbunyi, langkahnya makin cepat saat membaca pesan dari Zefanny. Panggilan dari ketiga temannyapun ia acuhkan. Ia menuruni anak tangga dengan langkah dua-dua. Secepat mungkin ia harus sampai sana sebelum Ray datang menghampirinya.
Ovie berhenti di depan gerbang sekolahnya. Ia belum melihat mobil milik kakaknya, mencoba berpikir positif jika mungkin kakaknya masih berada dalam perjalanan.
Tak lama, Ovie dapat melihat mobil Kevin mendekat ke arahnya. Dengan tergesa Ovie masuk ke dalam mobil Kevin.
"Kenapa lari-larian segala." Kevin berujar saat Ovie sudah duduk anteng di sampingnya.
Ovie meletakan tasnya dipangkuannya sebelum menjawab, "kakak selalu tepat waktu, aku nggak mau buat kakak nunggu."
Kevin menjalankan mobilnya. "Untuk yang semalam, lupain aja."
Ovie mengangguk, ia tidak ingin mengingat-ingat lagi. Ia merasa bahwa kakaknya keliru. Mungkin kakaknya pikir ia adalah perempuan yang kakaknya sukai. Begitu yang ada dalam pikiran Ovie.
Tangan Ovie membuka tasnya, mencari keberadaan botol minum yang ia bawa dari rumah. Saat mendapatkan, raut wajah kecewa Ovie nampakan karena botolnya sudah kosong.
Kevin menyeringai, ini saat yang tepat.
Kevin mengambil botol yang ada di dasboar mobilnya. Botol dengan air bening. Sama seperti yang dijual diwarung atau di supermarket. Ia menyodorkan botol itu ke arah Ovie menggunakan tangan kirinya.
Ovie menerima, tak lupa mengucapkan terimakasih, tanpa tau apa yang sudah dimasuki Kevin didalamnya.
•°•°•°•°•
Rizal mengernyit melihat kedatangan Zefanny di club yang siang ini menjelma menjadi kafe biasa. Keadaannya lumayan ramai, apalagi posisinya didekat perkatoran, yang membuat banyak pengawai menjadikan tempat ini untuk mengadakan meeting, atau tempat untuk jam istirahat.
"Nggak jemput Ovie?"
Zefanny terdiam mendengar pertanyaan Rizal. Merasa tidak biasa pertanyaan itu keluar. Rizal tidak pernah peduli dengan urusan Kevin. Ia jadi penasaran apa yang terjadi selama ia tidak ada di sini.
"Kenapa? Tumben nanyain Ovie."
Pikiran Rizal berkelana jauh. Ia memanggil Windy yang sedang membawa pesanan dan menyuruh gadis itu menggantikan pekerjaanya dikasir. Setelahnya ia membawa Zefanny keluar, menuju parkiran dan memaksa Zefanny masuk ke dalam mobil.
"Kenapa, sih? Nggak usah panik, Zal. Ovie udah ada yang jemput. Gue emang iri sama dia, tapi gue nggak sejahat itu,"
Rizal menyalakan mesin mobil, dan menaikan kecepatannya saat mendengar jawaban dari Zefanny.
"Ada apa?" Tanyanya lagi, masih tidak mengerti.
"Kevin jemput Ovie?"
"Iya, gue juga udah bilang ke Ovie kalau dia dijemput Kevin."
Mendengarnya, Rizal makin tidak tenang. "Bahaya,"
°•°•°•°
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Brother [Revisi]
RomansaOvie merasa punya kakak super posesif seperti Kevin adalah sebuah kutukan. Ia selalu merasa kakak tertuanya itu membenci dan menaruh dendam padanya. Pernyataan itu ternyata tidak hanya ada dalam pikirannya, karena ketiga temannya juga berpikir hal y...