➋➋ | Mine

95.3K 6.1K 570
                                    

Ovie serius melipat baju-baju miliknya dengan rapih. Meskipun ia sudah mempunyai bi Siti yang bekerja dirumahnya sebagai pembantu, tapi kedua orangtuanya tetap ingin anaknya menjadi anak yang mandiri bukannya malah terus-terusan mengandalkan oranglain.

Getaran dari ponselnya yang berada di samping Ovie membuat Ovie berhenti dan mulai terfokus pada sesuatu yang membuat ponsel mahal itu bergetar. Terdapat satu pesan yang sebenarnya tidak begitu penting isinya. Hanya menanyai kabarnya. Bukan tentang tugas. Tapi, tetap saja Ovie membalasnya. Senyuman kecil mulai terbentuk dibibir pink alami milik Ovie. Semakin lama chattan tersebut mulai membahas ke arah yang lebih privasi. Dan Ovie tetap merasa nyaman.

Ponsel ditangannya dipaksa tarik oleh Kevin. Jelas saja Ovie terkejut. Lalu ia berpikir sejak kapan kakaknya ada di sini, dan bertanya dalam hati apakah kakaknya melihatnya tertawa sendiri bagai orang gila?

"Kak kevin, balikin ponselnya." Pinta Ovie. Kevin melihat ponsel dengan layar yang masih menyala ditangannya. Aplikasi line dengan nama 'kak Ray' yang berada paling atas itulah yang pertama kali Kevin lihat. Pesan terakhir yang belum sempat terbuka oleh Ovie adalah, 'oke. Good night.'

Kevin dengan pakaian kerjanya mulai panas. Hanya dengan membaca chattan-chattan Ovie dengan pria lain saja ia sudab merasa gerah dan tidak tahan.

"Kak," Ovie mulai bangkit dari duduknya. "Siniin, kak."

"Nggak. Nggak ada ponsel lagi di hidup kamu. Paham?"

Ovie tercengang. Ia merasa tidak terima, tapi tak ada lagi yang bisa ia lakukan.

"Kak, maaf. Ovie janji nggak akan sering-sering main hp lagi," Ovie kembali berucap. "

Kevin menggeleng. Dan di depan mata Ovie, detik itu juga Kevin membanting ponsel dengan merk iphone, hingga menimbulkan bunyi 'prang' yang kencang. Akibatnya, bukan hanya layarnya yang pecah, tapi ponsel itu sudah hancur. Kevin memang berniat mengancurkan ponsel yang dibelikan oleh Luna.

"Kak Kevin!" Pekik Ovie.

Kevin keluar dari kamar Ovie tanpa beban. Meninggalkan Ovie yang masih bersedih akan nasib ponselnya.

•••

Ovie berjalan di koridor sekolah dengan lesu. Akhir-akhir ini ia merasa buruk. Kehidupannya hancur. Tak ada yang berpihak padanya. Di saat ia sudah menemukan kebahagiaan, pasti ada saja orang yang menghancurkan kebahagiaan itu.

"Vi, Vi!" Suara Laura dari arah belakang, "tungguin dong. Capek nih ngejar lo. Nanti di kelas bagi air minum, ya. Gue lupa bawa." Napas Laura terengah-engah. Tangannya merangkul pundak Ovie. Namun, Ovie tersenyum tipis. Ia ingin menyembunyikan kesedihannya. Tapi, Laura sebagai sahabat tahu kalau Ovie sedang dalam keadaan tidak baik.

"Vi? Lo kenapa? Sakit?"

"Nggak, Ra. Lepasin."
Ovie menjauhkan tangan Laura dari pipinya. Namun, Laura semakin menjadi untuk menekan pipinya.

"Bohong! Lo kenapa sih, Vi? Lo nggak bisa sembunyiin apapun dari gue." Ujar Laura tegas.

"Lepasin dulu..." Pinta Ovie, ia agak susah untuk bicara karena tangan Laura masih setia di pipinya.
Setelah Laura menjauhkan tangannya. Oviepun kembali bicara. Tapi sebelumnya, mereka melanjutkan perjalanan menuju kekelas yang tadi sempat tertunda.

"Nggak ada apa-apa, Ra. Gue baik-baik aja. Cuman, kurang tidur aja."

Laura menghela napas. Ia masih belum yakin dengan jawaban yang terlontar dari mulut Ovie. Tapi, iapun tidak mungkin memaksa Ovie untuk terus berbicara.

"Ok. Gue percaya. Kalau lo mau tidur, nanti gue temenin di UKS, ya? Lumayan, Vi, bisa bolos."

"Ish!"

Laura tertawa, mereka berdua memasuki kelas yang sudah lumayan ramai. Sudah ada Genta dan Dion yang duduk di belakang meja mereka.

"Gue udah anggap lo lebih dari teman. Kalau ada masalah, pasti gue cerita ke lo. Kalau lo ada apa-apa jangan sungkan buat cerita ke gue, ya, Vi? Walau otak gue dangkal, walaupun gue juga nggak bisa cari penyelesaian masalah lo, tapi, gue nggak akan ninggalin lo. Gue udah anggap lo sebagai saudara gue sendiri.Atau cuma gue yang berpikir kayak gitu, ya?" Ujar Laura setelah mereka duduk.

Ovie tersenyum pada Laura. Ovie tidak tahu kalau sebesar ini rasa sayang Laura kepadanya. Ia harap persahabatan rasa saudara ini tidak akan putus.

"Gue juga anggap lo saudara, Ra. Untuk saat ini gue emang ada masalah, tapi, its ok. Gue bisa selesai sendiri."

"Bener? Gue bantuin doa, ya?"

"Buset, pagi-pagi udah melesbi aja." Potong Genta, ia duduk di belakang sambil menulis sesuatu di bukunya. Mengerjakan PR di sekolah.

"Apaan sih, Enta! Yang ada lo tuh yang pagi-pagi udah ngehomo sama Dion!"
Genta melihat ke arah Laura, lalu matanya melirik ke arah Dion yang sedang menatapnya serius.

"Eh, anjir! Jauh-jauh sana lo homo!"
Dion mengernyit. Ia merasa tidak suka dikatakan homo. Dirinya ini normal!

•••

Kevin pulang tepat pukul 1 pagi. Ia ketiduran dikantor karena mengerjakan pekerjaan yang seolah tidak akan ada habisnya. Saat ia menandatangini surat ini, pasti setelahnya akan ada lagi yang harus ia tandatangani, belum lagi beberapa undangan dari perusahaan besar yang membuat ia harus memikirkan waktu kerja yang harus ia tunda agar dapat menghadiri pesta besar seperti ulang tahun perusahaan, atau bukanya cabang baru.

Kevin memang direktur perusahaan besar. Ia menggaji banyak karyawan. Dari yang bekerja di gudang, sebagai pembersih, CS, akuntan atau sekretaris. Keuagannya sedang kritis. Tapi pekerjaan semakin menumpuk. Jika Kevin menugaskan mereka untuk lembur, itu artinya Kevin harus memberikan mereka uang lembur yang tidak sedikit. Jadi lebih baik ia menggunakan tenaganya sendiri.

Bisa saja ia melanjutkan pekerjaannya dirumah, di ruangan kerja miliknya. Tapi, ia benci rumah. Rumahnya yang besar merupakan neraka bagi Kevin. Ditempat ini pernah terjadi kejadian buruk yang semakin coba ia lupakan justru semakin teringat diotak cerdasnya.

Kevin menghela napas. Ia mematikan keran, lalu mengambil handuk yang tergantung di pintu kamarnya. Ia baru saja mencuci wajahnya. Kini ia merasa lebih baik.

Ia keluar dari kamar, menuju lantai atas. Tepatnya kamar Ovie. Seperti biasa, kamar itu selalu terkunci. Kevin tersenyum tipis. Ia tahu kebiasaan adiknya yang selalu menggunakan celana hitam pendek setiap tidur. Itulah sebabnya kamar ini terkunci. Karena takut jika ada orang lain yang seenaknya masuk.

Terkecuali Kevin yang memang mempunyai kunci kamar Ovie. Ia sudah menduplikat kunci ini sejak lama. Waktu kecil, sifat Kevin sangat usil. Ia pernah mengerjai Ovie dengan melempar telur saat Ovie tengah tidur. Saat itu Ovie berusia 3 tahun, dan ia berusia 12 tahun. Kebiasaan mengunci Ovie di kamarpun terbawa sampai sekarang. Kevin tidak akan merasa bersalah saat mengunci Ovie dikamar karena ia sudah sering melakukan itu dulu.

Kesengsaraan Ovie adalah kepuasan untuk Kevin.

"Mine,"

Tangan Kevin terulur membelai rambut lurus Ovie yang lembut. Ia juga mengecup bibir Ovie lembut. Setelahnya ia ikut berbaring disamping Ovie, lalu membawa gadis itu kedalam pelukannya tanpa membangunkan sang gadis. Tak lama setelahnya, Kevin ikut tertidur.

Possessive Brother [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang