➋➌ | Plan

82.8K 5.7K 346
                                    


Suasana serius terjadi diruangan yang cukup luas ini. Rumah tiga lantai ini memiliki gaya hiasan yang wah dan megah serta gaya dekoratif yang mewah pada setiap ruangan. Perabotan dalam rumah ini mencakup barang antik atau pusaka bergaya kerajaan Prancis. Bunga sebagai dekorasi hampir dapat dipastikan terdapat dalam setiap ruangan yang ada dirumah klasik ini.

Diruang tamu terdapat tiga orang yang tengah berbincang serius.

"Saya harap perencanaan pernikahan dipercepat."

"Apa ini nggak kecepatan, Ly? Apalagi anakmu kan masih muda. Mereka juga perlu tahap pendekatan. Anakmu itu belum tentu cocok dengan anakku yang keras kepala, Molly." Ujar Luna tenang.

"Itu sih urusan belakangan. Urusan pendekatan bisa dilakukan setelah tunangan. Saya seratus persen yakin kalau anak saya bisa memikat hati Kevin." Ucap Molly, ibu dari Youra Jasmine.

Luna menghela napas. Matanya melirik Seno, suaminya yang tengah minum kopi langsung terbatuk saat menatap wajah melas istrinya. "Apa?" Tanyanya pelan.

"Seno, jangan nyimak doang." Kesal Luna.

Seno tersenyum kikuk. "Apapun usulan kalian berdua, saya setuju aja."

Luna makin kesal pada suaminya. Bukan kalimat itu yang ingin ia dengar. Seno sama sekali tidak membantunya. Atau Seno tidak mendengarkan usulannya tadi?

Molly kini tersenyum ke arah suaminya yang baru saja duduk. Ronald-- suami Molly baru dari kamar mengambil sesuatu.

"Gimana?" Tanyanya.

"Mereka setuju kalau bulan depan acara tunangannya."

"Apa?!" Luna terkejut. Bukan rencana tunangan yang sedari tadi mereka bicarakan. Seno mengelus bahu istrinya pelan. Ia tahu istrinya tidak setuju dengan perjodohan ini sejak awal. Karena Luna yakin, bahwa ketiga anaknya dapat memilih pasangan hidup mereka masing-masing. Tapi ini bukan hanya soal perjodohan.

"Benar 'kan? Bukannya tadi kalian udah setuju kalau tunangannya dipercepat?" Tanya Molly balik.

"Tapi, nggak harus bulan depan, kan?"

"Haduh, Luna, keluarga saya ini orang sibuk. Kalau tunangannya nggak bulan depan, bisa-bisa tahun depan tunangannya. Waktu saya nggak banyak. Tolong dihargai."

Luna menelan ludahnya. Sejak awal ia tidak suka dengan Molly. Tukang pamer dan gila hormat. Padahal bukan keluarga ningrat.

"Kalau begitu, Jasmine akan ikut saya besok." Luna melirik suaminya sekali lagi. Terlihat Seno mengernyit bingung, ia tidak paham maksud istrinya. "Saya ingin Jasmine bertemu Kevin lebih dulu. Setidaknya mereka saling tahu nama." Usulnya.

Dan tanpa berpikir Molly mengangguk. "Oke, nggak masalah, besok juga saya ada urusan kerja. Nggak ada waktu untuk ngurus anak itu. Bawa aja,"

"Ini," Ronald meletakan amplop yang berisi banyak uang di atas meja. Ia menyodorkan kepada Seno. "Ini baru 50juta, sisanya akan saya beri setelah mereka sudah menikah."
Seno mengulurkan tangannya. Mengambil amplop coklat itu.

•••

Gosip tentang hubungan Ovie dan Ray sudah mulai memudar. Melihat kedekatan mereka berdua dikantin, perpustakaan atau pulang sekolah sudah menjadi hal yang biasa. Meskipun terkadang nasih saja ada yang berbisik melihat keakraban Ovie dan Ray.

"Diem. Jangan berisik. Gue lagi balasin komentar-komentar fans gue."

"Fans?" Tanya Ray. Ia mengernyit heran menatap Genta yang katanya punya fans. Manusia macam Genta punya fans? Mana mungkin. Dua teman Ray yang bernama Bima dan Ari tertawa.

"Bocah kayak lo punya fans? HAHAHA!" Bima berkata lalu tertawa keras. Tangannya bahkan menabok-nabok Dion disampingnya yang sana sekali tidak punya salah.

"Lo apa-apaan sih!" Sentak Dion kasar. Membuat Bima yang tadinya tertawa langsung diam. Lalu meletakan tangannya di posisi semula.
"Sorry, sorry." Ucap Bima.

"Vi, ponsel lo udah dibalikin kak Kevin, kan? Kok dari semalam gue chat gak masuk?" Tanya Laura. Ia tak mungkin mengatakan kalau Ovie tidak punya paketan, masa iya Ovie nggak ada uang untuk beli quota.

"Iya, Vi. Chat gue juga nggak dibalas dari kemarin malam. Gue lihat juga lo nggak bawa hp dari kemarin." Tambah Ray.

"Rusak." Jawab Ovie singkat. 5 orang yang semeja dengan Ovie langsung menatap Ovie. Bima dan Ari yang tidak tahu apa-apa juga ikutan memperhatikan Ovie.

"Kok bisa? Lo apain, Vi?" Tanya Genta yang tadinya fokus pada ponselnya kini ikut menatap Ovie.

"Nggak diapa-apain." Jawabnya.

"Terus yang rusakin siapa? Masa jin," kini Laura yang berujar setelahnya ia menggigit kerupuk putih yang ia beli baru saja.

"Kak Kevin. Udah bener-bener rusak. Katanya juga gue nggak boleh punya hp lagi."

"Gila aja, masa iya, jaman sekarang anak remaja nggak megang hp. Bapak-bapak, ibu-ibu aja kalau ke kamar mandi bawa hp." Ceplos Genta. "Gunanya apa coba, ya, kalau gue sih takut kecebur."

"Aduin mama lo, Vi. Kakak lo itu suka seenaknya." Ucap Dion mulai kesal. Sejak awal bertemu dengan Kevin, ia sudah merasakan aura kebencian dari pria arogan tersebut. Entah karena Kevin tidak suka dengan sifatnya, atau karena Kevin tidak suka jika Ovie dekat dengannya. Jika iya keduanya, itu sangat aneh. Sifat Dion itu sopan. Jadi darimana bisa Kevin benci padanya karena hal itu? Lalu yang kedua, Kevin tidak suka Ovie dekat dengannya. Ini juga sama tidak masuk akalnya. Secara, Dion kan teman Ovie. Terlebih ada rasa khusus Dion untuk Ovie, jadi tidak mungkin Dion menyakiti Ovie.

•••


"Kak Kevin marah, ya?" Ujar Ovie. Ia terciduk sedang menghitung uang untuk membeli handphone baru. Meski uang yang terkumpul belum mampu membeli model ponsel seperti punyanya dulu. Tapi tidak masalah, berapapun harganya, apapun merk dan bentuknya bukan masalah bagi Ovie. Yang penting ponsel itu ada internet dan dapat menjadi alat komunikasi ia pada keluarga maupun teman.

"Jangan marah," ujarnya lagi.

"Kakak selalu ngasih uang kamu lebih bukan buat beli ponsel, Ovie!" Kevin ngegas, dan ini yang paling tidak Ovie sukai. Kakaknya kalau sedang marah menyeramkan.

"Itu cuma ngitung-ngitung doang kok, kak." Ovie mulai beralasan. Padahal Kevin pun sudah tahu niat awal Ovie.

"Kamu pikir kakak nggak tahu? Kalau cuma buat belajar ngitung, pakai uang kakak! Pusing-pusing deh sekalian saking banyaknya dan nggak ada habisnya."

Ovie berdecak dalam hati. Kakaknya ini mau marah atau mau pamer, sih? Sumpah demi apapun Ovie tidak suka kakaknya jadi mahkluk sombong macam begini.

"Iya, kak."

"Sini!" Kevin menarik paksa uang dari genggaman Ovie. Lalu memasukan uang itu ke dalam kantung kanan celananya. Setelahnya, ia mengambik dompet yang ada di kantung kirinya. Dompetnya tebal, ada beberapa kartu dengan masing-masing jumlahnya yang tidak banyak, iya tidak banyak. Seluruh karyawan kantor Kevinpun sudah tahu bahwa bosnya itu sedang kesusahan. Ia mengeluarkan satu kartu berwarna gold, kartu miliknya yang isinya paling banyak. "Nih. Nggak usah nolak, nggak lihat kartu kakak masih banyak?"

Ovie menerima kartu tersebut dengan berat hati. "Makasih, kak."

"Kartu ini saldonya banyak, cukup buat hidup kamu selama setahun, jadi makasih aja nggak cukup."

"Terus?"

Kevin berpikir sebentar, Oviepun setia menunggu kata yang akan Kevin ucapkan.

"Kakak lagi nggak butuh apa-apa dari kamu." Ujarnya lalu mengelus lembut, lalu mendekatkan bibirnya ke arah telinga Ovie. Perlakuan itu membuat seluruh tubuh Ovie terasa tersengat. "Kakak selalu pelit sama diri kakak sendiri, but not with you."

Possessive Brother [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang