➊➍ | Bubble Gum

86K 6.3K 277
                                    

Pintu ruang UGD terbuka, Zefanny dan Kevin dengan langkah cepat menghampiri seorang dokter yang keluar.

"Keadaan papa saya gimana, dok? Baik-baik aja, kan?" Tanya Zefanny risau.

"Mari bicara di ruangan saya." Ujar dokter itu.

Kevin dan Zefanny mengekori dokter itu dari belakang. Hingga mereka sampai diruangan sang dokte. Mereapun duduk saling berhadapan.

"Gimana, dok keadaan papa saya? Kenapa bisa sampai pingsan?"

"Begini, seharusnya setelah mendonorkan ginjal, pendonor harus rutin melakukan pemeriksaan fungsi ginjal secara rutin. Tapi sepertinya ia tidak melakukan itu. Tekanan darah juga tidak dimonitor. Dan juga harusnya aktifitas dikurangi mengingat hanya ada satu ginjal yang bekerja." Jelas dokter itu.

"Satu ginjal?" Sela Kevin.

"Ya, bapak Gilang hidup dengan satu ginjal. Bekas operasi diperutnya sebagai bukti. Kalian tidak tahu?"

Zefanny menggeleng lemas. Ia jadi makin penasaran tentang apa yang ayahnya lakukan tanpa dia.

Setelah berbincang banyak dengan sang dokter, Zefanny dan Kevin keluar ruangan.

"Nggak usah khawatir. Ayah lo kuat, doa aja." Kevin benar-benar tidak tau cara menenangkan seseorang. Jadi hanya kalimat itu yang bisa ia ucapkan guna menghibur Zefanny.

Zefanny dan Kevin masuk ke dalam kamar Gilang. Pria yang berumur 40-an hampir 50 tahun temgaj terbaring lemas dengan selang infus di tangannya.
Gilang sudah sadar, itu terlihat dari matanya yang terbuka.

"Pa," Zefanny berucap sambil menyentuh punggung tangan papanya, Gilang. Kali ini Gilang tidak menepis tangan putrinya. Gilang seolah membiarkan Zefanny berkata.

"Ginjal papa kasih ke siapa?" Tanyanya lembut. Zefanny tidak ingin menyakiti papanya.

"Jual." Ujarnya datar.

"Buat apa?" Zefanny tidak bisa menahan air matanya. Zefanny memperhatikan wajah papanya, Gilang seolah tidak ingin menjawab tapi Zefanny terus bertanya. "Untuk judi? Beli alko-"

"Buat beli kamu, Efa. Dulu papa udah jual kamu, papa mau beli kamu lagi."

Zefanny menaruh tangan Gilang di pipinya. "Sekarang Efa di sini, di sini untuk papa. Papa tinggal bilang kalau butuh Efa, pasti Efa datang."

"Jangan pergi lagi."

"Nggak akan. Efa sayang papa." Rasa rindu 2 tahun tidak bertemu berakhir tangis kebahagiaan.

Kevin masih setia berdiri di samping Zefanny, menyaksikan momen haru antara anak-ayah yang ada di hadapannya.

"Pa, ini Kevin."

Mata Gilang beralih menatap Kevin. Tatapan sinis Kevin sedikit membuat Gilang takut.

"Tolong terus jaga anak saya, ya."

"Pa-" Perkataan Zefanny terhenti saat pomsel milik Kevin berdering keras.

"Halo?"

"Kak Kevin dimana?" suara Maudy menyahut.

"Kenapa emang?"

"Sama Ovie nggak kak?"

Mendengar nama Ovie di sebut, membuat raut wajah Kevin berubah serius.

"Nggak."

"Ovie nggak ada di rumah. Sekarang aja aku baru bangun ti-"

Tanpa pamit pada Zefanny atau Gilang, Kevin sudah lebih dulu keluar ruangan dengan langkah cepat.

•••

"Nggak perlu, gue bisa bayar pakai uang sendiri kok." Tolak Ovie halus.

Ovie pergi ke indomei karena bosan, selain bosan di rumah, ia juga butuh cemilan untuk menemaninya nonton film di laptop. Sialnya, indomei yang jaraknya tidak jauh di rumahnya ini cukup ramai. Banyak ibu-ibu komplek yang sedang belanja bulanan, sehingga menyebabkan Ovie harus mengantri cukup lama. Untungnya ia tidak mati kebosanan menunggu antrian. Karena ada kebetulan yang ajaib, sahabatnya- Dion ada bersamanya. Tak banyak yang Dion beli, hanya sebungkus permen karet. Iya, pria cuek itu penyuka makanan manis.

"Biar sekalian, Vi."

"Ih, Dio nggak usahlah." Masalahnya belanjaan milik Ovie lebih banyak daripada apa yang dibeli Dion.

Dion memberikan uang sesusai harga yang harus dibayar.

Selesai membayar, mereka berdua keluar dan duduk di depan indomei yang terdapat bangku-bangku.

Ovie menghela napas. "Makasih, ya,"

Dion mengangguk. Tangannya tergerak membuka pembungkus permen karet rasa anggur, lalu memasukan isinya ke dalam mulutnya. Mulutnya mengunyah tanpa menelan. Setelah permen karet miliknya sudah tak terasa, ia membuat balon, meniupnya dan meletus. Aksi itu tidak lepas dari Ovie.

"Itu cara buatnya gimana?" Tanya Ovie.

Dion memberikan satu permen karet miliknya pada Ovie, setelahnya mereka menghabiskan waktu untuk belajar meniup balon menggunakam permen karet. Meski susah bagi Ovie, namun gadis itu terus mencoba hingga berhasil. Karena senang balonnya berhasil, itu membuatnya senang dan tertawa, namun karena tawa itu menyebabkan balonnya meletus hingga bekas-bekasnya menempel pada pipi dan bibirnya.

Melihat raut wajah kesusahan Ovie membuat Dion gemas dan jadi tertawa.

Mendengar tawa yang tak biasa membuat Ovie terdiam. Jujur, baru pertama kali ia melihat Dion tertawa lepas dengan tulus seperti ini. Laki itu lebih sering bertampang serius yang menurutnya menakutkan. Bahkan ia sudah terpikir dari awal, jika ia jalan berdua dengan Dion pasti akan berakhir canggung. Tapi nyatanya mereka bisa asik dengan cara mereka sendiri. Ternyata berdua dengan Dion tidak semembosankan yang ia kira.

"Lo ketawa?" Tanya Ovie takjub.

Dion berhenti tertawa, "nggak." jawabnya cepat.

"Bohong! Tadi gue liat lo ketawa kok."

"Bukan gue kali."

"Hah? Terus siapa? Lo punya dua kepribadian, ya?"

"Ngaco. Udah yuk, gue antar pulang." Ajak Dion. Tangan Ovie ditarik, Dion membawanya ke arah motor sport merah miliknya. Tanpa tahu kalau ada seseorang dalam mobil yang posisinya tidak jauh dari mereka sedang memperhatikan sedari tadi.

Possessive Brother [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang