20. Di Persimpangan

663 32 0
                                    

"Setiap manusia pasti punya titik lemah dan bimbang. Tergantung bagaimana kita menyikapi nya agar semua nya selesai"

-Author-

***

Tepat pukul sepuluh malam, Ero, Celine, Syabil, Byan sampai di kota batu. Tinggal memerlukan waktu sepuluh menit lagi agar sampai ke rumah sang Eyang.

Byan yang sejak tadi menyetir, hanya fokus pada jalanan. Walaupun telinga nya menangkap isak tangis Celine, tapi dia harus tetap fokus agar sampai tujuan dengan selamat.

Kebaya coklat yang di kenakan Celine masih melekat sempurna disana. Ia bahkan tak sempat mengganti pakaian nya kerumah. Berbeda dengan Syabil yang selalu menyediakan baju ganti dalam tas nya, dan Albyan yang tadi sempat membawa baju di mobil nya.

"Udah, Cel. Jangan nangis terus" Syabil tak henti-hentinya menasehati Celine. Sahabatnya lagi-lagi dirundung duka. Memang tidak ada yang tahu bagaimana umur manusia. Baik dengan tiba-tiba atau bertahap, suatu saat nanti kita akan menghadap sang Kuasa.

Celine terus saja menangis di dekapan Syabil. Rambut panjang nya yang lurus terus Syabil usap sebagai penenang. Ero hanya mampu diam dalam kesedihan. Mata nya terus menatap luar jendela mobil.

"Ero, sudah. Jangan sedih. Sebentar lagi kita sampai" Peringat Syabil sambil menepuk bahu Ero dari belakang. Posisi nya, Syabil dan Celine di bangku penumpang, sedangkan Ero duduk menemani Byan.

Ero hanya mampu diam. Ia menegakkan badan nya, lalu meneguk air mineral yang ada. Ia semakin menguatkan hati nya kala melihat gerbang putih berbendera kuning itu hanya tinggal beberapa meter lagi. Bangunan belanda kuno yang di renovasi modern, namun tak menghilangkan rasa tradisi, kini masih berdiri kokoh disana.

"Udah sampai, Cel. Jangan nangis. Bunda kamu lebih sedih kalau liat kamu juga kaya gini" Celine membenarkan rambut nya dan mengelap air matanya. Mereka semua turun dari mobil dan segera melangkahkan kaki masuk.

Disana, semua orang masih sibuk melayat. Ada yang membaca Al-Qur'an, ada yang menyiapkan untuk pemakaman besok, ada juga yang menyiapkan beberapa makanan untuk sanak saudara yang di tinggalkan.

"Eyang" panggil Celine lirih tepat di samping jenazah sang Eyang.

Sang sopir yang biasa mengantarkan Eyang putri, membuka kain penutup wajah agar Celine dapat melihat nya dengan jelas. Tanpa isakan tangis, Celine menutup mulut nya dan menangis tertahan disana. Ia mengecup kening Eyang untuk terkahir kali. Ero pun melakukan hal yang sama.

"Bunda, mana?" tanya Celine yang tak melihat Bunda nya disini, "Mbak Naya, ada di kamar nya mbak" ucap salah satu tetangga disana.

"Mbak, sudah. Jangan di tangisi terus. Zahra tau mbak sangat terpukul. Tapi mbak, kalau mbak terus meratap seperti ini juga tidak baik" Nasihat Zahra yang sama-sama terpukul akan meninggalkannya sang Eyang.

"Kenapa luka lama itu muncul kembali, ra? Dulu, mbak sakit sekali melihat ibu kandung mbak meninggal karena gantung diri. Dan sekarang? Ibu juga pergi tanpa mbak duga. Rasanya..." Zahra segera memeluk Kanaya dengan erat. Mereka menangis bersama.

"Istighfar, Mbak" Kanaya memejamkan mata dan menangis disana. Hati nya terus menyeru nama Allah. Memohon ampun atas segala dosa ibu angkatnya dan semoga di tempatkan di surga nya Allah.

[DCRe-2] Senja KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang