Chapter 22

11.3K 1.6K 672
                                    

Rupanya, setelah presensi itu tidak ada─nyaris menghilang bersama setiap kenangan yang dihantamkan ke atas kepala secara keras─barulah semuanya terasa begitu kosong. Seperti ada sesuatu yang menggerogoti kemudian menciptakan lubang besar di dalam hatinya semuanya terasa benar-benar hampa. Hanya menyisakan sudut-sudut sepi dan gelap.

Taehyung tidak menyangka bahwa dampaknya akan sebesar ini. Ia tidak menyangka bahwa setelah Naeul benar-benar telah mengilang dari pandangannya, seperti sebuah bayangan yang tertiup angin, atau mungkin seperti fakta yang digulung oleh badai, ia nyaris menjadi setengah frustrasi.

Udara di Seoul mendadak turun hingga sepuluh derajat. Gumpalan awan pekat mulai bergerak pelan di atas langit yang muram, semua sisi jalanan mendadak menjadi lenggang, hanya tersisa beberapa pejalan kaki yang bergerak cepat untuk kembali. Tetapi Taehyung masih terkurung di dalam sini, di dalam ruangan berukuran sedang bersama aroma karbol yang menyengat. Semuanya nampak sama─putih─dan membosankan. Ia hanya mengisi rasa jenuh dengan menatap keluar jendela, melihat sesuatu di luar sana sebagai sebuah tontonan, kemudian menyadari bahwa ada sedikit debu yang tertinggal di antara celah jendela.

"Kau semakin kurus sejak terakhir kali datang." Pria itu menyesap kopi dengan pelan dan cukup hati-hati agar tidak menodai Snelli putih miliknya kemudian mendapat pertanyaan retoris dari rekan sekerja tentang; mengapa seorang dokter yang tahu efek samping kafein di dalam kopi masih mengkonsumsinya di hari kerja? Tentu saja untuk membuatnya terjaga setelah menangani sejumlah resistan dengan berbagai keluhan. Memangnya apa lagi? Dia kemudian meletakkan cangkir kopi ke atas meja dengan hati-hati, membuat Taehyung melihat jejak noda kopi yang tertinggal pada pinggiran gelas, kepulan uap yang kemudian berdifusi diantara udara, semuanya terasa lucu ketika menyadari bahwa ia justru menjadi lebih peka terhadap hal-hal kecil ketimbang hal besar yang saat ini nyaris menghilang dari genggaman tangannya.

Seokjin melanjutkan dengan cepat saat melihat pria itu mulai tenggelam di antara imajinatif konyolnya, "Apa istrimu berhenti memasak kemudian melarikan diri dari rumah hingga membuatmu tidak makan selama berhari-hari?"

Taehyung terkekeh-kekeh pelan, membuat Seokjin mendadak menegakkan punggung, merasa sedikit waspada. "Tebakan yang jitu. Apa aku perlu menyebutmu sebagai seorang cenayang? Coba tebak, apa yang akan terjadi pada hidupku setelah ini?"

Astaga, dia mulai lagi.

"Jangan pernah mengatakan bahwa aku tidak pernah mencoba untuk menghentikanmu, Kim."

Taehyung kembali tergelak setengah frustrasi. Ada cekung di bawah matanya, juga wajah yang menggantung lelah saat menatap Seokjin serius. "Dulu, kupikir kau hanya seorang penebak beruntung yang selalu mengada-ada, tetapi aku rasa kau benar-benar menjadi seorang penebak yang baik sekarang."

"Ini pekerjaanku. Menemui resistan seperti dirimu sebanyak ribuan kali membuatku menjadi sangat peka dalam menebak."

"Lalu, coba bantu aku menebak dimana istriku sekarang?"

Dasar pribadi yang bodoh.

"Taehyung?"

Pria itu terkesiap. Kedua netranya mendadak menatap ke arah Seokjin, namun hal yang dilihatnya menjadi lebih dari serius. "Kau yakin meminum dengan benar obat yang kuberikan padamu?"

"Tentu saja. Memangnya apalagi?"

Seokjin tertawa pelan, setengah merasa geli saat melihat perubahan aneh pada wajah Taehyung kemudian mendadak menjadi berkali lipat serius. Tidak ada lagi netra bersahabat yang sejak tadi menggantung di atas wajahnya. Kini dia hanya menatap Taehyung dengan tatapan dingin, seakan-akan paham betul bahwa Taehyung yang duduk di hadapannya sedang berpura-pura dengan cara yang kelewat baik.

HelleboreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang