"Astaga, darah!" Tepat saat suara itu berhasil dilesakan ke atas udara, melebur diantara partikel oksigen, kemudian jatuh di atas kesadaran seisi kafe, benda berkilat berlumuran darah itu jatuh ke atas lantai dengan menimbulkan bunyi denting yang memekakan telinga ketika menemui permukaan lantai yang keras.
Semua orang terperanjat, kemudian beranjak cepat dari tempat mereka duduk, menatap bingung sekaligus terkejut, sementara situasi seakan terasa jauh lebih mencekam saat Naeul tertawa sumbang, menatap kedua tangannya yang berlumuran darah. "Aku, berhasil, Jim. Aku berhasil membunuhnya."
Pandangan seisi ruangan mendadak diselimuti teror saat melihat genangan darah menetes ke atas lantai yang putih bersih, semakin lama mulai membentuk kubangan darah.
Jimin barangkali akan kehilangan isi pikirannya detik itu juga jika tangannya tidak cepat meraih pergelangan tangan Naeul yang kesulitan mengontrol emosi di dalam dirinya. Seandainya Jimin tidak cepat menahannya, mungkin pisau itu nyaris mengoyak leher Naeul. Kabar baiknya, meski faktanya kubangan darah juga luka yang terbuka bukan menjadi kabar benar-benar baik dalam situasi ini, hanya saja, Jimin benar-benar merasa beruntung leher Naeul hanya tergores, sisanya adalah genangan darah dari telapak tangan Jimin yang mencoba merebut pisau dengan menggenggam bagian tajam benda tersebut.
"Sshh argh! Naeul, kau baik-baik saja?" Jimin menatap panik, sementara semua pengunjung kafe mulai mengambil gambar, sisanya justru berlari keluar setelah mengatakan bahwa tindakan sepasang manusia itu terlalu dilebih-lebihkan.
Naeul tidak cepat menjawab. Tatapannya kosong, sementara tubuhnya masih diam seperti baru saja kehilangan jiwanya. Namun, ketika dia merasakan perih mulai menyerang lehernya yang terluka juga bau anyir darah yang terinjak sendal rumahannya, sontak kesadarannya kembali terisi secara penuh. Menatap Jimin yang meringis menahan sakit sembari memegangi tangannya, Naeul lantas menjerit panik. "Astaga, Jim! M-maafkan aku, sungguh-"
"Tidak apa-apa." Jimin memotong cepat. Bibirnya menyunggingkan senyum, padahal jelas terlihat bagaimana ia mengekspresikan rasa sakitnya dengan meringis berulang kali. "Kau baik-baik saja?"
Naeul hanya mengangguk. Menyadari situasi di antara mereka baru saja menjadi tontonan di sana, Jimin agaknya tengah kepayahan menahan nyeri di tangan saat menarik Naeul keluar dari dalam kafe sebelum gambar mereka terekam lebih banyak. Baiklah, mari tinggalkan kekacauan di sana.
Jejak tetasan darah dari tangannya terlihat jelas di sepanjang jalanan lenggang yang mereka lewati. Jimin hanya mencoba mensugesti isi kepala untuk terlihat jauh lebih baik. Naeul masih di dalam genggamannya, berjalan tertatih dengan sepasang sendalnya yang hampir putus saat tangannya ditarik Jimin menuju sebuah mini market.
"Tolong perban, alkohol, dan obat merahnya," ucap Jimin cepat, setelah pegawai kasir mengangguk kemudian berlari menuju rak di sudut ruangan dengan perasaan bingung setengah mati melihat sepasang manusia datang bersamaan dengan tubuh berlumuran darah membuat jantungnya seperti nyaris melompat dari rongganya. "Hei, duduk dulu."
"T-tapi, Jim-"
"Kita akan mengobati lukamu dulu, oke?"
"B-bagaimana denganmu?"
Pria itu tersenyum lembut, nyaris menyentuh matanya. "Kita dapat mengobatinya nanti, setelah aku mengobati luka di lehermu." Jimin duduk jauh lebih rendah di hadapan Naeul saat mencoba menghentikan darah yang senantiasa mengucur dari leher Naeul yang terbuka, setengah menatap cemas saat netranya berulang kali menatap ke dalam mata Naeul yang balas menatapnya penuh rasa bersalah.
Mereka hanya diam saat terlihat menggantungkan kekhawatiran di atas wajah masing-masing. Jimin hanya berulang kali melirik, kembali tersenyum, padahal kepayahan menahan nyeri di tangan. Sempat merasa kacau, saat melihat wanita itu seperti kehilangan kesadarannya, membuat Jimin semakin khawatir, apakah Naeul akan melalui semua hal ini dengan baik? Apakah dia akan menang dengan kepala terangkat atau justru kalah dan tenggelam di dalam kubangan rasa sedih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hellebore
Fanfiction[SUDAH DIBUKUKAN] [COMPLETED] Kim Taehyung selalu mengatakan pada diri sendiri bahwa dia telah melakukan semua hal dengan amat baik. Ketika senja di penghujung musim panas yang menyengat, dia berubah menjadi lelaki hipokrit, kemudian mulai berpikir...