[I]. Knitting Pain

16.4K 575 357
                                    

Langitnya masih menumpahkan hujan.

Rasanya seperti stok air di atas sana tidak pernah habis untuk terus ditumpahkan ke atas permukaan tanah, mengikis kekeringan, membuat suasana menjadi gelap dan lembab.

Naeul memalingkan pandangan. Sudah pukul dua dini hari. Kendati di luar hujan menghantam permukaan atap rumah dengan begitu keras─nyaris menghancurkan apa saja yang dilaluinya tanpa ampun, Naeul masih duduk di ruang tengah dengan lampu yang dipadamkan, hanya menyisakan lampu kecil di atas nakas yang dinyalakan, kemudian sukses mengirim cahaya remang kekuningan yang hangat untuk menyebar ke seluruh penjuru ruangan.

Hujannya masih tumpah sangat banyak. Entah sudah berapa lama, tetapi rasanya hujan di luar sana mungkin tidak akan berhenti jatuh malam ini. Memalingkan wajahnya ke arah jendela, melihat selusur pohon yang mengetuk pelan permukaan jendela, Naeul tentu menyadari benar bahwa dia tidak punya pilihan lain saat itu, selain hanya tetap tinggal meski dirinya sendiri sudah enggan.

Si wanita lantas menegakkan tubuhnya di sofa, merasakan sekujur tubuh menggigil menahan dingin. Titik-titik air hujan masih menetes pelan dari ujung-ujung surai gelapnya, kondisinya tidak seburuk dua jam yang lalu, dia berani bertaruh bahwa seluruh rambutnya yang basah dan lapek benar-benar terlihat seperti seekor anjing yang baru saja diceburkan ke dalam kubangan danau.

Kerutan-kerutan pucat mengisi seluruh sudut-sudut jari, tatapannya terlihat tidak bertenaga, terselip sebuah keraguan tatkala jari-jari pasi itu terangkat dan diam sejenak di udara, menyisakan bibir yang terkatup rapat juga jantung yang bertalu lemah.

Kini, wanita itu terdiam. Sejenak memutus tatapan, memejamkan kedua netra, lalu diam-diam menelan saliva dengan sulit. Sangat sulit. Bongkahan rasa sakit masih bersarang di dalam tenggorokan, menyumbat seluruh napas, mengirim nyeri yang melukai seluruh perasaan─seperti tidak habis mengatakan bahwa dia masih sakit. Masih benar-benar sakit dan Naeul harus menerima rasa sakit itu lebih banyak dan lebih lama dari ini.

Ah, apa yang sedang kulakukan di sini? Benar-benar bodoh.

Naeul pikir dirinya jadi begitu bodoh malam ini. Dia sama sekali tidak menyukai keputusan yang diambilnya malam ini.

Sayangnya, sisi kewarasannya mendadak melebur diantara partikel atmosfer tatkala menemukan Taehyung yang tengah meraup oksigen dengan payah, mengokupasi seluruh bagian terlemah di dalam dirinya, sehingga, mau tidak mau menjadi sangat bodoh meski rasanya kekecewaan sudah berhasil membabat habis perasaannya.

Wanita itu meloloskan hela napas berat, menggerakkan bahunya dengan sulit dan perlahan membuka kedua netra. Selongsong nestapa ditumpahkan dengan berat, meski sudah melakukannya sejak beberapa jam yang lalu, rasanya hal tersebut masih belum cukup menguras habis seluruh emosi yang diam-diam merangsek naik; mencoba menghantamkan badai pada hatinya yang masih terluka.

Dia tidak mengharapkan apa-apa lagi. Kepalanya sakit. Semuanya terasa sakit. Namun, kendati demikian, rasanya realita masih belum cukup selesai mengirimkan badai. Semuanya masih sama, hancur dan berantakan. Jadi, apa yang harus ia lakukan? Apakah ada hal yang jauh lebih buruk dari ini? Naeul yang terlalu payah mengambil asumsi jelas tanpa sadar sudah sukses menyodorkan kembali hatinya untuk dihancurkan tatkala diam-diam meletakkan jari-jarinya yang dipenuhi kerutan rasa dingin ke atas kepala Taehyung yang masih tertidur lelap di atas pangkuan.

Seharusnya dia tidak perlu kembali. Rumah ini bukan lagi tempat yang sempurna untuk pulang meski hanya untuk sejenak mengambil sisa-sisa hal yang masih dapat dipakai untuk mengurangi getir yang sudah sukses tinggal di dalam relung hati terdalam.

HelleboreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang