Gerimis turut mengantar kepergian ayah Aisyah ketempat peristirahatan terakhirnya sore ini.
Suasana di rumah duka mulai terlihat sepi. Aisyah termenung di teras rumah seorang diri. Kenangan-kenangan bersama sang ayah kembali terlintas dipikirannya. Butiran-butiran bening itu kembali mengalir di pipinya. Namun Aisyah menghapusnya dengan segera.
"Aisyah!"
Yusuf memegang pundak Aisyah. Aisyah menoleh. Ia mencoba tersenyum.
"Iya, ada apa bang?"
"Masuklah. Ada yang ingin ibu sampaikan sama kamu."
Aisyah bangkit mengikuti Yusuf menuju ruang tamu.
"Duduklah nak!"
Aisyah menuruti perintah Maryam. Aisyah duduk di samping kanan Maryam sedangkan Yusuf hanya berdiri. Mata Maryam nampak sembab karena menangis.
"Aisyah, kamu masih kenal dengan mereka kan?"
Maryam melihat sepasang suami istri yang duduk berhadapan dengan mereka.
"Tentu bu, paman Daud dan bibi Siti kan teman ayah dan ibu, mana mungkin Aisyah lupa!"
Aisyah menyunggingkan senyum melihat Daud dan Siti.
"Ada wasiat yang ayah sampaikan pada paman Daud sebelum ayah meninggal." Yusuf duduk disamping kiri Maryam.
"Wasiat? Wasiat apa?"
Aisyah melihat Yusuf, ibu, Daud dan Siti bergantian.
"Begini Aisyah, kamu kan tahu paman dan almarhum sangat dekat, sudah seperti saudara sendiri. Sebelum almarhum sakit, almarhum selalu berpesan agar saya menjaga keluargamu Maryam,"
Daud melihat Maryam menunduk. Ia masih belum bisa merelakan kepergian suaminya. Maryam mencoba tegar namun saat ada yang menyebut nama suaminya ia kembali merasa sedih.
"Awalnya saya bingung karena dia selalu mengatakan hal yang sama. Dan hingga hari ini tiba saya baru teringat akan semua pesan-pesannya ternyata Abdurrahman akan pergi untuk selamanya. Almarhum sangat menyayangimu, Maryam dan juga kalian,"
Daud melihat Aisyah dan Yusuf. Maryam kembali menangis mendengar penuturan Daud.
"Ibu, ibu harus sabar. Ayah pasti gak mau lihat ibu seperti ini,"
Aisyah menghapus air mata Maryam. Meskipun sebenarnya ia sendiri masih merasa sedih tapi ia tidak mau terlihat cengeng didepan keluarganya dan orang lain.
"Iya Maryam, yang dikatakan Aisyah benar." Timpal Siti.
"Sekarang kamu hanya tinggal dengan anak-anakmu. Belum lagi nanti Aisyah akan kembali ke pesantren. Kami berencana untuk mengajak kalian tinggal bersama kami. Kamu hanya sendiri di kota rantau ini, Maryam. Kamu juga tidak mengenal saudara-saudara almarhum. Semasa hidup almarhum pernah bercerita kemungkinan besar keluarganya sudah tiada. Ibu dan ayahnya meninggal karena kecelakaan, adik perempuannya sudah tiada dibawa arus tsunami 14 tahun yang lalu dan abangnya hingga saat ini tak ada kabar. Pada siapa kamu akan mengadu keluh kesah mu? hanya kami yang paling dekat denganmu, Maryam,"
Kata Daud panjang lebar. Maryam tak sanggup untuk membalas penuturan Daud. Meskipun perkataannya benar, ia masih belum siap.
"Di rumah ini kami banyak mengukir kenangan-kenangan indah dan menghabiskan hari bersama ayah. Rumah dan kota ini sudah menyatu dengan kami. Yusuf rasa, kami gak bisa menerima niat baik paman,"
"Iya, benar kata Yusuf. Terimakasih banyak atas niat baik kalian tapi kami tidak bisa menerima niat baik kalian" ujar Maryam sembari menyeka air matanya.
"Kalau kalian mengatakan seperti itu, kami tak akan memaksa karena itu adalah hak kalian." Kata Siti.
"Kami hanya ingin menyampaikan pesan-pesan almarhum."
Daud menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. Ibu dan Yusuf saling berpandangan. Seolah tahu apa yang akan dikatakan Daud, Maryam memegang tangan Aisyah.
"Dan ada satu hal lagi,"
Daud menatap Aisyah penuh makna. Ia mulai cemas melihat tatapan Daud. Aisyah menatap Maryam. Maryam mengangguk.
"A-apa paman?" Aisyah memberanikan diri bertanya.
"Ketika Abdurrahman masih hidup, dia selalu bercerita ingin punya menantu tamatan pesantren, seorang teungku. Kebetulan anak paman juga mondok ditempat yang sama sepertimu Aisyah. Ayahmu sangat mengenalnya dan dia berpesan agar suatu saat nanti kalian bisa bersanding di pelaminan."
Kali ini Aisyah benar-benar terkejut mendengar penuturan Daud karena semasa hidup ayah juga pernah mengatakan hal yang sama padanya namun Aisyah berpikir itu hanyalah gurauan saja. Aisyah tak pernah menganggap serius ucapan ayah.
"Nak, sekarang kamu sudah menjadi anak pesantren. Ayah berharap, pendamping hidup kamu kelak juga anak pesantren. Ayah ingin sekali punya menantu seorang teungku. Atau kalau tidak apa ayah jodohkan saja kamu dengan anaknya paman Daud, dia kan juga mondok disini."
Aisyah masih mengingat dengan jelas kata-kata ayah saat ayah mengantarnya pertama kali ke pesantren lima tahun yang lalu.
"Kami tahu tidak sepatutnya kami mengatakan hal ini disaat seperti ini tapi kami takut tidak sempat mengatakannya lagi karena insyaallah besok lusa kami akan berangkat umrah dan kami tidak bisa menundanya. Maafkan kami Maryam, kami tidak bisa lama-lama disini. Sebenarnya kami juga ingin menginap tapi...."
Siti melihat kearah Daud. Ia merasa tidak enak hati karena tak bisa menginap disana.
"Tidak apa-apa Siti. Kami bisa mengerti." kata Maryam.
"Bagaimana Aisyah?" Tanya Yusuf.
Aisyah menunduk. Ia bingung harus menjawab apa. Apakah ia benar-benar harus memberikan jawabannya sekarang? Jika ia menjawab iya lalu bagaimana dengan perasaannya sendiri? Apakah ia harus mengubur jauh-jauh perasaannya pada laki-laki yang telah mencuri hatinya selama ini? Tapi ia tidak mungkin menolak karena itu adalah permintaan sang ayah. Aisyah menjadi ragu dengan perasaannya.
"Kami hanya ingin menyampaikan pesan almarhum. Kalau kamu menolaknya juga tidak apa-apa Aisyah karena itu adalah hak kamu. Mungkin kamu juga sudah memiliki dambaan hati sendiri. Paman dan bibi juga bisa mengerti, sekarang bukan lagi zaman Siti Nurbaya di jodoh-jodohkan. Jangan takut Aisyah, katakan apa yang ada didalam hatimu, iya tidak bu?" Siti mengangguk.
"Ya allah, semoga ini adalah jawaban yang terbaik untukku." Batin Aisyah.
"Bagaimana mungkin Aisyah menolaknya. Ayah benar-benar sangat menyayangi Aisyah, pendamping hidup untuk masa depan Aisyah saja ayah sudah memilihnya. Itu adalah pilihan ayah, Aisyah yakin itu adalah pilihan terbaik. Aisyah selalu ingat kata-kata ayah kalau ayah akan memberikan semua yang terbaik untuk anak-anaknya. Iyakan bu?" ucap Aisyah dengan bibir bergetar air mata kembali membasahi pipinya.
Kini ia benar-benar harus melupakan perasaannya sendiri dan menerima calon imam pilihan sang ayah karena saat ini tak ada haknya untuk memilih melainkan ia harus menerima.
"Iya sayang," Maryam menyeka air mata Aisyah.
"Jadi bagaimana? Kamu menerimanya?" tanya Yusuf.
Aisyah mengangguk pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Imam Untuk Aisyah(COMPLETED)
RomantizmRank #1 Hilal 23Nov2019 #1 Shalehah 31Jan2020 #1 Aceh 13Apr2020 #9 Cobaan Jan2020 #3 Cintaislami 16Apr2020 Sitina Aisyah Humaira, gadis yang biasa dipanggil Aisyah ini memilih untuk melanjutkan pendidikannya ke pesantren salafi setelah lulus dari S...