🌻35🌻

2.3K 111 4
                                    

🌻🌻🌻

"Jendra lo punya mulut kan? Apa fungsi mulut selain nyinyirin orang? Pasti lo tau, yaitu menjawab pertanyaan." Nediv sebisa mungkin bersabar meski dalam hati ia sering mengumpat.

"Jawab pertanyaan gue, ngapain lo ngajak gue ke kuburan?" Tanyanya sedikit lembut, tidak mencak-mencak seperti tadi.

Jendra masih diam tak bergeming, pandangannya fokus menatap manik coklat milik Nediv. Dengan gerakan cepat ia menggandeng tangan Nediv memasuki area pemakaman. Melewati bebepa gundukan tanah benar-benar creepy. Rasanya tangan yang berada digenggamannya saat ini terasa dingin, namun sang pemilik tak mau mengaku.

Nediv sesekali juga memejamkan mata, enggan menatap semua yang ada disekitarnya. Ia tetap mengikuti langkah cowok itu dan tidak mau protes, takut-takut mayat di sini akan bangkit jika mendengar suaranya. Entahlah, Jendra akan melakukan apa padanya. Satu hal yang terpenting, ia tak mau dikubur hidup-hidup. Masih banyak dosa dan belum sempat bertobat. Juga keinginannya pergi keliling dunia bersama para sahabatnya belum tercapai.

Apalagi menjadi anak baik, pintar, sopan, dan penurut belum sempat ia lakukan.

Langkah Jendra terhenti begitu saja, Nediv ikut berhenti dan sempat menubruk tubuhnya. Salah siapa berhenti tidak bilang-bilang?

Matanya perlahan-lahan terbuka setelah menutup sepanjang jalan. Ia melihat dua gundukan tanah yang berjajar. Tertera nama Bima Aryanto dan Nia Paramita. Siapa mereka? Itulah yang menjadi pertanyaan Nediv.

Jendra berjongkok, menyentuh tanah dan membersihkan rumput liar yang tumbuh. Nediv masih berdiri, otaknya lemot belum bisa mencerna semuanya. Tapi setelahnya ia ikut berjongkok di samping Jendra. Menatap nanar dua gundukan tanah di depannya.

"Ini siapa?" Tanyanya takut-takut.

"Orangtua gue," jawab Jendra parau.

Tersirat kesedihan yang ia tahan. Matanya memerah menahan air mata agar tidak terjatuh. Napasnya sesak, keringat dingin mulai bercucuran. Memori dalam otak yang berusaha ia kubur kembali menyapa. Ini semua salahnya. Salah Jendra. Dia penyebabnya.

"Kalau nangis, lakuin aja. Jangan malu di hadapan gue." Nediv mengelus bahu Jendra lembut memberikan sedikit ketenangan.

Jendra benar-benar menumpahkan air mata yang selama ini ia tahan. Dia terisak, inilah titik kerapuhannya. Semua orang tak pernah tahu, dibalik ketegasan dan ketegarannya. Ia sungguh rapuh.

"Ini semua salah gue, Nediv."

"Coba deh ceritain ke gue." Dia mencoba menenangkan kembali, berharap cowok berlagak kaku itu mau menceritakan sesuatu yang pernah terjadi dalam hidupnya. "Kalau lo mau."

"Dulu saat liburan, sebelum gue masuk SMA. Rencana sekeluarga mau ke rumah nenek gue di Malang, Jawa Timur. Tapi saat perjalanan, mobil yang kita tumpangi bannya bocor. Papa gue gak bisa jaga keseimbangan dan akhirnya mobil gue benturan sama pohon besar." Jendra menghela napas berat, berusaha menahan lidahnya yang kelu ini.

"Lima menit kemudian, mobilnya meledak. Gue selamat dari kejadian itu. Tapi nggak dengan kedua orangtua gue."

Ternyata seburuk itu masa lalu yang dimiliki oleh Jendra. Dibalik sifat dinginnya, terdapat kesedihan yang begitu menyakitkan. Selama ini ia tertipu dengan sikap Jendra, seperti baik-baik saja layaknya remaja yang suka bergumul bersama teman-temannya. Menghabiskan waktu untuk bermain dan terlindungi oleh kehangat keluarga. Ia berharap tidak ada lagi anak yang terpuruk akibat dari masalah keluarganya.

Tapi kenyataan berkata lain, saat ia mengetahui bahwa Jendra memiliki masa lalu itu. Hatinya terasa teriris. Ia akan meyakinkan Jendra untuk bangkit.

Troublemaker'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang