"Gimana keadaan Deena, Ma?" tanya Bagas setibanya di rumah sakit. Ia menatap wanita paruh baya yang terlihat sekali raut lelah di wajahnya.
"Tadi sempet nge-drop, tapi udah di tangani sama dokter, kok. Jadi udah mendingan."
Perlahan Bagas duduk di kursi yang tersedia di dekat ranjang pasien. Sedangkan Melvin, Satria, Galang dan Tito berdiri mengelilingi ranjang Adeena. Mereka menatap iba pada kondisi adik sahabatnya itu yang banyak terpasang alat-alat medis di tubuh dan wajahnya. Terutama Tito, ia menatap gadis yang tertidur tak sadarkan diri itu dengan tatapan penuh kerinduan.
"Kalian jagain Adeena dulu ya, Mama mau pulang ke rumah bentar ngambil baju ganti. Ntar Mama balik sama Papa," ujar Mama Bagas.
"Iya Ma,"
"Iya, tante,"
Setelahnya, wanita itu berlalu dari ruangan itu, meninggalkan enam orang yang hanya terdiam, bahkan Galang, Satria dan Tito yang biasanya cerewet pun mendadak bisu melihat kondisi Adeena yang tidak memiliki perubahan.
Bagas menggenggam tangan Adeena dan meletakkan di pipinya, "Dek, bangun. Udah hampir satu tahun kamu tidur terus, gak capek apa? Abang kangen sama Deena. Mama, Papa, sahabat-sahabat Abang rindu sama Deena,"
"Aa Galang kangen sama Deena, kangen di timpuk sama Deena, kangen jahilin Deena, bangun dong! Ayo main lagi. Ntar Aa beliin kaset-kaset oppa plastik lo itu deh," ujar Galang sembari menarik-narik pelan tangan Adeena yang tidak bergerak sama sekali.
"Bang Satria juga kangen lo panggil Bang-Sat, kangen cerewet nya Deena, kangen sakit perut gara-gara cobain masakan Deena," ujar Satria yang sontak membuat Galang melotot ke arahnya, lalu mengangguk lesu mengingat kejadian dimana ia sakit perut mencoba nasi goreng perdana yang di buat Adeena. Sangat asin dan pedas.
"Cepet sembuh Deena, kita semua kangen sama lo," ujar Melvin, ia kembali mengingat bagaimana Adeena selalu menggerutu kesal melihat sikap cueknya.
Tito diam tak berkutik, mulutnya terasa kelu. Ia tak sanggup mengeluarkan kata-kata semangat seperti sahabat-sahabatnya, ia tidak bisa menguatkan Adeena karena nyatanya ia sendiri tidak kuat dengan kenyataan yang di hadapinya.
Bagas yang melihat raut kesedihan mendalam di wajah Tito langsung mengerti. Ia tahu Tito menyimpan rasa pada adiknya. Dulu sempat beberapa kali Bagas mendapati Tito menjemput adiknya sekolah dan sering memberikan beberapa bungkus coklat dan boneka pada adiknya. Bahkan Tito lah satu-satunya orang yang tetap tersenyum dan mengatakan kalau nasi goreng buatan Adeena lumayan enak saat semua orang mengejek masakannya walaupun ia harus menahan rasa pedas dan asin yang tak karuan dan setelahnya ia langsung sakit perut setelah memakan nasi goreng yang super pedas dan asin itu. Dan Adeena lah alasan mengapa Tito menutup hati untuk cewek manapun, karena harapan Tito kepada Adeena sangat besar. Ia yakin, suatu saat Adeena akan bangun.
Bagas kemudian berlalu dari ruangan itu, diikuti Galang, Satria dan Melvin. Sekarang hanya ada sepasang manusia diruangan itu. Namun sayang, Adeena masih di bawa alam sadarnya. Tito menarik kursi dan mendaratkan bokongnya di kursi itu. Tanganya bergetar sembari menggenggam tangan Adeena yang mulai mengurus dan putih pucat.
Tito mengecup punggung tangan Adeena berkali-kali seraya mengelus punggung tangannya. "Hobi banget bikin gue khawatir ya?" Tito terkekeh pelan, walau raut wajahnya tak bisa membohongi bahwa ia sangat sedih dengan keadaan Adeena saat ini.
"Bangun dong jelek. Lo makin jelek kalau tidur mulu."
"Kalau lo bangun, gue janji bakal beliin lo coklat lagi,"
"Gue kangen masakan lo, Deena. Cepet bangun, masakin gue nasi goreng lagi!"
"Deena, gue masih disini. Nungguin lo, dengan perasaan yang sama. Gue yakin lo bakalan bangun. Jadi please jangan hancurin harapan gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
MELVINA
Teen Fiction"Hargai selagi ada, karna sesuatu akan terasa berharga setelah kehilangan."