Today is my second and last day at work, and most people said almost the same things in the morning:
"Oh My God, Indrika, Were you drunk last night?"
Or
"Haven't you been sleeping for a whole week?"
Or
"What's wrong with your eyes? Did you get into a fight?"
Iye, berantem gue. Berantem dengan batin.
Andaikan ini bukan acara resmi di institusi formal, gue mungkin udah pake sunglasses. Sekalian bawa tongkat aja biar dikira tukang pijit. Ms. Goh, salah satu representative institusi sampai membelikan gue tonic drink karena dia merasa gue udah pantas jadi zombie di Night of The Living Dead.
"Trust me, Indrika. You need this to stay alive. Your soul is like, long gone." she told me.
Gue cuma bisa haha hehe menerima kebaikan para kolega ini. Pagi hari tadi Nick masih berusaha nelpon gue meskipun nggak gue angkat.
Chat dari dedemit semalem? Jangan tanya. Gue buka aja enggak. Tapi gue ratapin. Nggak ding. I'm trying to push everybody away and nothing can ever change my mind this time round. Ever.
Setelah semua pekerjaan gue selesai hari itu gue balik ke hotel dan mulai mencari penerbangan untuk pulang seenggaknya lusa. Walaupun urusan antara gue sama Nick masih menggantung dan nggak tau mau dibawa kemana, berada di sini nggak akan menyelesaikan masalah sama sekali.
Besides, someone said "Jadian butuh berdua tapi putus cuma perlu satu orang aja." So, entah apapun status gue saat ini di mata Nick, itu bukan masalah karena gue yang memilih untuk pergi. Entah berapa lama. Entah bener atau enggak ujungnya kami akan kembali seperti yang dia bilang.
The next day I received a long voice note which said:
"Aku tau kamu butuh waktu. But I believe things shouldn't end like this. You made a mistake, but I also did the same thing, which was probably worse. I haven't even figured out what you did with him to be exact. All you did that night was crying. Please, can we meet again at least once before you decide to do whatever it is you're planning to do? Call me back, or take my call? I love you."
But I've made up my mind. Gue nggak akan ketemu siapapun sampai pikiran gue jernih lagi.
Hari itu gue bener-bener pergunakan buat full istirahat makan-tidur untuk menempuh apa yang hilang di hari-hari kemarin. Sebisa mungkin gue menjauhi hape untuk menghindari kebodohan yang bisa aja terjadi. Jumat, 2 hari lagi, harusnya menjadi anniversary ke tiga kami.
Tapi semua kekecewaan gue terhadap diri sendiri, ketidak-masuk akalan Nick yang masih ngotot mempertahankan semuanya, kenyataan bahwa Fania akan terus ada di sekitarnya, dan kehadiran seseorang yang sama sekali nggak gue duga-duga itu, bikin gue mengingat hari Jumat jadi hambar.
Gue pengen menghilang yang jauh. Ke Antarctica. Bersarang sama penguin. Atau ke Arctic. Berenang sama beruang kutub. Terus dimakan.
Malemnya gue siap-siap packing karena berencana mau pulang besok sore ke Jakarta. Tiket udah gue booking dan gue akan check out besok pagi. Sisanya mungkin gue bakalan abisin di bandara sambil tiduran. Gue udah mulai kalem kalem bae dan jam tidur gue mulai kembali normal meskipun belum ngebo banget.
Nggak seperti biasanya, jam 7 pagi gue bangun dan udah ngerasa seger banget. Jakarta, here I come. My things are packed and I'm ready to go home. Saat gue turun sekalian sarapan dan check out jam masih menunjukkan pukul 9 lebih. Mas-mas receptionist yang udah hafal sama gue yang menyapa hari itu
"Good morning, miss! Oh, you're checking out. How's your stay?"
"It was nice, yea." gue jawab sekedarnya untuk beramah tamah.
KAMU SEDANG MEMBACA
November Rain
ChickLit"Brian. Nama gue Brian. Lu kan denger tadi nama kita dipanggil barengan?" ujarnya ketus. Indrika memandang laki-laki yang membangunkannya dari last call pesawat yang hampir membuatnya ketinggalan penerbangannya ke Bangkok tadi. Punggungnya perlahan...