Chapter 5: The First Journey

417 49 1
                                    

Gue masih berdiri canggung di pintu cafe yang gue tahan terbuka di tangan, sampai salah satu waitress menyapa dan mempersilahkan gue masuk.

I choose the seat next to the window. Biar gampang kalo mau buang muka. Beberapa detik setelah gue duduk, dia beranjak dari mini stage cafe dan meletakkan gitar di tempatnya, kemudian berjalan kembali ke tempat duduknya yang kira-kira berjarak 4 meja dari tempat duduk gue.

Pelayan membawakan gue daftar menu dan gue pesen banana milk with ice and bubble. I catch a glimpse of his stare from the corner of my eyes.

Awkward. This is the most awkward moment in my entire quarter century life. Gue rasanya pengen lari dan nyemplung aja ke Chao Phraya River dan berendam sama ikan-ikan lele di sana.
Gue membuka-buka tas untuk mengalihkan perhatian, mau pura-pura baca buku atau semacamnya, tapi ternyata gue cuma bawa mini sling bag yang isinya handphone, dompet, dan pouch make up.

Ah! Handphone! Goblok. Gue kan bisa aja pura-pura mainin hp daripada keliatan bego! Otak gue memang suka malfunction kalo lagi gugup. Pesanan gue diantar ke meja sesaat kemudian, dan kursi depan gue ditarik. Wait, ngapain mas pelayannya mau ikutan duduk? Gue mendongak dari layar hp hanya untuk menemukan fakta bahwa dia yang menggeser kursi dan duduk di depan gue.

Sekarang gue rasanya pengen gali lubang terowongan sampe tembus ke hotel.
Gue seruput minuman sambil salah tingkah dan ngeliat ke luar jendela.

"Apple truffle-nya enak." ujarnya sambil nyeruput iced coffee yang ternyata dia bawa ke meja gue dong. Pindah nih orang.

"Hmm? Oh.. Hi! Belum say hi ya, hehehe" mampus gue hampir nelen bubble gue bulat-bulat.

"Kan udah, kemarin?"

"Bukan hi, kemarin. Cuma makasih. Bisa ketemu di sini ya kita?"

"Sengaja ke sini? Nggak banyak yang tau cafe ini. Nyempil."

"Enggak sih, tadi lagi jalan-jalan aja di florist. Terus..." terus gue kepelet suara lu nyanyi sampe nggak sadar masuk ke sini, pengen gue jawab gitu aja trus gue lari pulang.

"Terus haus?"

"Hahaha iyaaa kepanasan banget di luar. Mas Brian pengunjung kan? Saya kira tadi emang kerja jadi mas-mas pengisi akustik di sini"

"Brian aja kali. Excuse me?" dia tiba-tiba manggil pelayan.

"Yes? How can I help you?" mas-mas yg tadi nganter pesenan gue dateng lagi.

"One apple truffle, and melon juice. Put them in her bill. Thank you."

"Hah?" gue bengong.

"Tiket lu ke Bangkok kemarin kena berapa?"

"Kenapa nanyain itu?"

"Kalo lu ketinggalan kira-kira harganya bakalan lebih mahal dong daripada apple truffle sama jus?"

"Ng.. ooooh.. hahaha maksudnya ini minta balas budi gitu? Ya elah bilang dulu kali. Iya iya gue beliin." bengcek ugha. Minta dijambak memang.

Dia masih menyebalkan. But somehow he looks different from our first meeting. I thought he would yell at me and call me stalker, or leave right away. Eh, ini malah duluan ngajak ngobrol. Hari ini dia terlihat santai dengan kaos putih polos, jeans hitam dan topi yang dia sampirkan di atas ransel daypack-nya.

"Habis ini mau kemana, Indrika?"

Duh, nama gue nggak usah di sebut lengkap terus gitu dong.

"Nggak tau, hehe. Tadi rencananya jalan aja terus sampe Emporium terus balik."

"Traveling aja?"

"Ada urusan kerjaan. Masih Senin-Selasa sih. Sisanya nggak tau mau kemana,"

Mas pelayan kembali membawakan apple truffle dan jus yang dia pesan.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang