Chapter 46: The Vow

412 35 2
                                    

Jakarta, 7 Desember 2019

[INDIRA]

This is my first time seeing him in a tux, nonstop smiling, holding my hand like tomorrow the world's gonna end. Matanya tinggal segaris dan ujungnya berkerut-kerut.

Gue mengenalkan dia kepada teman-teman dekat gue yang datang dari luar kota. Selain itu dia sudah mengenal sisanya. Sementara selain teman kantor dan Kampret yang sudah gue ketahui, dia hanya mengundang dua sahabatnya yang datang dari Jerman dan Belanda. Julian dan Novandra.

Hari ini semesta mendukung. Langit cerah dan biru sehingga plan B untuk memindahkan pesta ini ke dalam hall resort yang kami sewa nggak perlu dilakukan. Plan A runs perfectly fine. Jumlah undangan yang tidak sampai seratus orang membuat acara ini berjalan seperti yang gue inginkan sejak dulu. Intimate.

Semua tamu undangan mengenakan dress code serba putih, menyesuaikan dekorasi taman resort yang sudah dihias sedemikian rupa. Gue bukan penggila white wedding atau apa, tapi menurut gue memang warna putih membuat suasana terlihat simple, bersih, dan elegan di waktu yang sama.

Kami juga tidak menyewa kursi pengantin layaknya pernikahan pada umumnya. We invite all the people we hold most dear. We have to mingle. Kami mendatangi mereka dan duduk di kursi-kursi kursi-kursi yang mengelilingi meja bundar di seluruh taman.

"Untung di Bogor. Masih adem anginnya." bisik mas saat kami duduk kembali di meja khusus keluarga. Tangannya masih menggenggam tangan gue sambil sesekali memainkan cincin yang tersemat di sana.

"Kalo di Jakarta kasian make up nya campur debu, mas. Outdoor begini."

"Oh? Ada yang baru dateng, Dir." Mas Agus memperhatikan dua orang yang baru saja masuk ke taman.

"Omooo.. Tante, Om!" gue excited melambaikan tangan. Mereka menyambut lambaian tangan gue dengan senyuman yang lebar.

Brian berdiri dari kursinya di meja sebelah kami. Indrika yang duduk di meja yang sama dengan gue, di sebelah bapak dan ibu, langsung salah tingkah.

Mereka berdua menghampiri dan memeluk gue, menyalami Mas Agustino, kemudian menyapa kedua orang tua kami.

"Selamat ya sayaaang.. Ini Mas Agus yang sering direpoti Kampret ya?" kata Tante Ernita, membuat mas terlihat kaget.

"Iya.. tante.." jawabnya ragu. Gue berusaha menahan tawa mendengarnya memanggil anaknya sendiri Kampret.

Brian mendekat dan mencubit lengan baju mamanya. "Mama, ah. Masa di depan banyak orang Ian dipanggil kampret?" dengusnya.

"Oh.. ini mama papanya Mas Brian?" Ibu yang mendengar langsung turut menyumbang suara.

"Iya, bu.. maaf baru sempat ketemu ya. Sudah berapa tahun padahal, ngerepotin Dira terus." Tante menjawab dengan senyum sumringah.

"Lhoo malah Mas Brian yang direpotin ini kemarin-kemarin. Silahkan ibu, bapak, monggo dinikmati."

Gue mengantar Tante Ernita dan Om Hardi ke mejanya, Brian mengikuti.

"Tante, Om, silahkan menikmati hidangan ya. Seadanya aja, Dira ngadainnya cuma yang simple, hehe.."

"Simple apa di resort begini? Kalo simple di halaman rumah, Dira! Kamu itu!" candanya. Gue cuma tertawa.

"Mana, yang mau dikenalin? Katanya ketemu di wedding?" Om angkat bicara.

Gue menahan napas karena terkejut. Brian menatap gue mencari persetujuan. Gue cuma bisa membalas dengan mengedikkan bahu. Di saat itu Mas Agus menghampiri dan membaca suasana.

"Om, tante, belum dapat souvenir ya? Sebentar biar diambilkan Indrika." Mas menggandeng tangan gue dan mengurek-urek jarinya ke telapak tangan gue sebagai kode.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang