Chapter 29: The Known Unknown

345 41 2
                                    

[BRIAN]

[around 2 hours before the war]

Jam pulang kerja yang disambut semua orang dengan suka cita sudah berlalu, sementara sampai detik ini gue masih bingung, tetep bakal proceed atau nggak. Tangan gue berkali-kali meraih hape yang terletak di meja.

Apa sebaiknya gue terus terang aja ke Indrika? Meskipun resikonya gue akan memperkeruh suasana?

No. I gotta stop ruining her days. Besok dia bakal sibuk berat, gue nggak mau ini bikin dia berantakan. I know the right thing to do is to just cancel everything.

But there's a vague voice inside that tells me to just do it. One last time, Bri. She just wanted to talk. Siapa tau dia cuma mau ngasih undangan nikahan?

One new message.

Diraaa 19.20
Whatever you're about to do, stop.

Damn, this girl is indeed a psychic. But then another message comes, telling me that she's already on her way to our meet up point.

Fuck it, Bri. Just go and tell her you have a new life already. Then you two can go back to your old lives in peace.

Cafe tempat kami bertemu letaknya nggak jauh dari kantor gue, cuma 20 menit berkendara dan gue sampai di sana. Nggak terlalu banyak orang di dalamnya, dan gue nggak melihat sosoknya di manapun, pertanda dia masih dalam perjalanan. I text her that I'm already inside, along with the table number so she can easily find me.

"Udah lama nunggu?" tepuknya dari belakang, lalu mengambil tempat duduk di depan gue.

"Nggak kok, baru 10 menitan." gue memandang menu di dinding untuk memesan sesuatu. "Mau apa, Ya?"

"Masa masih nggak hapal kesukaan Aya?" dia tersenyum simpul.

"Masih suka caramel frappuccino?"

"Nggak ada yang berubah, Bri." ucapnya sambil menopang dagunya dengan dua tangan yang disatukan. "Kamu masih ice americano pake gula 1 pump?"

"Udah jarang. Geser ke cafe latte sekarang. Ngurangin caffeine intake." gue bersiap berdiri menuju meja kasir untuk order sekalian membayar.

"Kan sama-sama espresso juga?"

"But it's milder."

"Mild doesn't suit you, Bri."

"Well, I guess things have changed for some people."

Gue kembali ke meja beberapa menit kemudian dengan dua minuman di tangan dan menggeser satu untuk Aya.

"So.. how's life? Kak Dira udah enakan?" tanyanya segera setelah gue duduk.

"Manageable. Dira udah mendingan. Lagi bed rest aja."

"Udah nemu temen baru belom? Jangan-jangan masih nempelin Kak Dira kemana-mana?"

"Udah lah. Emang gue ansos? Yang lain kan juga ada. Bima, Jevan."

"Tapi yang tiap hari ketemu dan selalu kamu repotin tetep Kak Dira kan? Kamu tuh yang bikin dia susah dideketin cowok."

"Lah? Kok bisa? Kan gue cuma berusaha selektif aja sama yang deketin dia?"

"Justru itu. Nggak inget dulu Kak Juno gimana? Sampe terus-terusan curiga kalian ada apa-apa. Kamunya nyela di antara mereka mulu."

"In the end I proved that he's not worth it, right?"

"Iya sih.."

"Kamu sendiri gimana, Ya?"

"Gini-gini aja. Same old same old. Papa mama gimana di Toronto? Sehat?"

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang