Chapter 36: The Messed-Up Messes

346 37 3
                                    

"Ndri.. gue anter pulang ya?"Kei meletakkan kedua tangannya di pundak gue.

Nggak satu kata pun keluar dari bibir gue sejak dia pergi gitu aja. Gue nggak bisa nangis, gue cuma marah dan kecewa. Bukannya meminta maaf tapi dia ngatain gue apa? Egois? Siapa yang sebenernya egois di sini?

What kind of urgent matter was it that he acted so outrageous like that anyway?

Ranny dan Riz hanya menatap gue karena kami duduk berhadapan. Satu tangan Hanny meraih tangan gue dan mengusapnya pelan.

"Kita pulang naik grab aja, nggak papa. Lu sama Kei ya?" kata Ranny.

"Atau lu butuh kita bertiga nemenin lu di rumah?" tanya Riz.

"Yah, gue udah ada janji malem ini. Riz ama Kei aja yang nemenin nggak papa, Ndri?"

"Nggak usah, kalian pulang aja. Gue balik sendiri nggak papa. Thanks anyway." gue merasa semakin nggak enak karena jadi mereka bertiga yang kepikiran.

"No, I insist. Gue anter lu pulang." tegas Kei.

Setelah berpelukan bak Teletubbies yang akan berpisah karena matahari mulai tenggelam, Kei mengantar gue pulang. Di mobil pun dia nggak berani mengungkit apa yang gue perdebatkan sampai Brian meninggalkan tempat begitu saja tanpa berpamitan.

Kami berempat selalu punya cara untuk bercerita dengan sendirinya nanti, tanpa harus ada salah satu yang bertanya. Dia hanya menyalakan radio dan membiarkan musik mengisi keheningan di antara kami.

🎵 You don't mean to be a problem
You don't mean to cause me pain
You don't mean to do much but it's one and the same
I don't know where this came from
I thought we were plain sailing
This has taken me aback and it goes without saying

Yeah I'm gonna feel broken for a bit
Life's gonna be a little bit shit
Ohh, for at least the next week
We had our flaws I'll be the first to admit
And we both struggled to commit
Ohh, was it really that bleak? 🎵

I really want to shut down the radio as the song it's playing is mocking me. Instead I just count the number of cars and motorbikes outside the window to distract my feelings. Brian's words hover around my mind like broken pieces of ice. Sharp, cold, hurting.

"Indrika, mau mampir ke mana dulu nggak? Hampir sampe nih, biar sekalian." Kei membuka suara setelah hampir 40 menit kami duduk berdampingan tanpa suara.

"Langsung aja ke rumah. Sorry ya gue ngerepotin lu, Kei."

"Stop saying sorry. Are we strangers? I'm glad that I can finally be by your side when you need me."

Her words make me smile faintly.

Kami sampai di rumah dan Kei langsung pergi setelah ngedrop gue karena memang gue pengen sendiri di saat begini. Sebagian besar orang mungkin akan butuh ditemani. Bagi gue, sendiri membuat gue lebih leluasa berpikir jernih, atau sebaliknya, ngamuk dan nangis seenaknya tanpa harus gak enak hati sama orang lain.

Hari sudah gelap sejak tadi dan lampu rumah gue belum menyala sama sekali. Indira mungkin sedang pergi bersama Agustino atau entah kemana dan lupa menghidupkan lampu teras. Ingatan gue akan Brian yang membersihkan halaman gue sore itu, meyalakan lampu, dan akhirnya berbaikan setelah 2 minggu kami mendiamkan satu sama lain kembali muncul.

Setelah masuk ke rumah gue mengambil minum di dapur dan duduk di sofa ruang tamu dengan lampu yang masih belum nyala. Hanya sedikit penerangan dari teras yang masuk ke dalam rumah. Pikiran gue saat ini mendekati kosong saking banyaknya emosi yang terbuang tadi sore.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang