Chapter 40: The Small Surprise

374 38 11
                                    

June, autumn is ready to leave. Gue mulai mempersiapkan diri untuk musim dingin yang mendekat. Ibu berkali-kali menelpon untuk memastikan gue nggak kekurangan baju hangat. Indira berkali-kali menyuruh gue mencatat obat apa saja yang harus distock barangkali gue flu. Bapak nggak ketinggalan mengingatkan gue nggak boleh minum es.

Ucup mengirimkan gue beberapa katalog winter outfit yang kalo dipake lebih cocok untuk mangkal di red light district daripada melindungi gue dari hawa dingin. Katanya biar gue move on dan gampang gebet cowok baru.

Bitch, you thought?!

It's been three months and I'm adapting well. Urusan kerjaan di kantor baru masih cukup berantakan tapi team kami pelan-pelan menata semuanya. Klien yang datang juga belum aneh bin ajaib jadi gue belum sepenuhnya kerepotan. Lebaran beberapa hari yang lalu adalah satu-satunya hal yang membuat gue mewek karena itu pertama kalinya gue nggak merayakan sama keluarga besar. Kami cuma saling facetime lewat WhatsApp video call.

No opor ayam buatan ibu, no kastengel buatan Dira. Untung temen kantor ngajakin ke KBRI yang lagi open house buat makan rendang.

Hari ulang tahun gue juga mendekat seiring menurunnya suhu udara di luar. Tomorrow I'll turn 26. Damn. Time flies like an arrow. Baru aja kemarenan gue ngatain Indira tua, sekarang gue yang berasa ikutan tua.

Entah karena anggapan stereotype masyarakat Indonesia di mana usia 23 tahun ke atas sudah dituntut untuk punya paket hidup lengkap (re: karir menunjang, rumah tangga sempurna, anak yang sholeh dan sholeha, dan mertua yang sebaik ibu peri), gue yang 26 tahun dan masih selow aja ini berasa terlalu uzur dibanding teman-teman sebaya yang udah pada gendong bayi.

Gue bener-bener salut sama orang semacam Indira dan teman-temannya, yang di usia kepala tiganya masih pada living life to the fullest. Nggak ada urgency untuk memenuhi what-so-called kodrat manusia untuk berkembang biak. They don't give a damn about society's prejudice. They do whatever makes them happy.

"Kita tuh punya prinsip, when it's time, it will. Tuh, kata Be Happy Project, what's meant to be yours is making its way to you. What was never yours is starting to flee from you. Nih lihat contohnya." Indira menyenggol Kak Bima di sampingnya. "Stop saying I'll be be happy when.. Be happy now." katanya, disetujui oleh anggukan kepala Kak Bima yang baru saja gagal kawin saat itu.

"Iya tapi tetep aja namanya ocehan orang sekitar kan? Masa iya mau segampang itu tutup kuping." kata gue lagi.

"You know how much shit I give about other people's opinions on my relationship life? This much." jawabnya sambil menunjukkan angka nol dengan mengatupkan jari-jarinya, meniru salah satu adegan film di Netflix.

"Gue pilih-pilih, pendapat yang perlu didenger cuma dari orang yang emang berpengaruh dalam hidup gue. I don't take shit personal from those who don't even know me personally. Bapak Ibu aja nggak masalah kok mereka ikutan mikirin gue, kayak bakal ikut patungan katering aja kalo gue nikah."lanjut Indira.

"Nyantai Ndro. Constant happiness is what we seek in life. It doesn't simply mean being with someone you love because that's not your only option. Don't depend too much on somebody else to make you happy. Self-reliance. Happiness comes from within. It's in you." sahut Kak Bima.

"True. Relying too much on someone can get you hurt. Lu nggak inget gue gimana? I had to start over when I was 26. Come to think of it, I'm happier now. I'm not saying it doesn't get lonely. But it's not empty, you know. I've got plenty of space for other things to make my life meaningful. That's what matters."

Happiness is always the key and, yes, your relationship life isn't the only thing that defines it.

Nggak lama hape gue bunyi dan orang yang perkataannya mendengung di pikiran sedari tadi namanya muncul di layar.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang