Chapter 38: The Park

300 34 4
                                    

"Mbak? Mbak Indrika?? Jadi nitip jus alpukatnya?" Jefri melambai-lambaikan tangannya yang memegang kanebo di depan gue.

"Hah? Alpukat apa?"

"Lah, tadi saya ditelpon katanya suruh beli?"

"Oh.. iya-iya Jef, sorry ya. Ini duitnya." Gue menyerahkan selembar 50-ribuan ke tangannya yang menengadah.

"Agak lama nggak papa mbak?"

"Kenapa gitu?"

"Bu Imelda nitip bebek goreng yang antrinya ngalahin sembako itu, biar sekalian."

"Yaudah nggak papa."

"Mbak?" dia berbalik lagi sebelum menutup pintu ruangan.

"Apa lagi Jef?"

"Saya boleh sekalian beli jus semangka?"

"Iyeee boleh, jajan cilok dah sekalian lu kalo mau."

"Oke makasih mbak.." ujarnya nyengir dan melangkah keluar.

Gue berkali-kali kehilangan fokus saat orang lain mengajak gue bicara sejak kemarin. Bahkan gue harus kena omelan atasan karena email dari salah satu institusi yang urgent lupa bales dan itu cuma gegara gue bengong dan nge-blank.

"Indrika kenapa sih? Kepikiran banyak ya masalah kepindahan ke Aussie?" tanya Sarah yang sharing ruang kerja dengan gue.

"Iya nih, Sar, kayanya gitu ya." Gue tersenyum menanggapinya.

Kepikiran masalah pindahan. Kepikiran masalah yang mau ditinggal pindahan....

"Deket kan, Ndri. Melbourne-Jakarta berapa jam doang."

"Tapi kan nggak bisa sering-sering balik, Sar. Sayang duitnya.."

"Baru aja kelar LDR sama yang dulu ya, Ndri. Udah mau LDR lagi sama yang baru."

"Hahaha, bisa aja lu."

It's not the distance that matters. It's never the distance.

The closer I get to my moving date, the more I feel all sorts or insecurities and anxiety. I have never lived completely alone away from home. Even when Indira was in college back in the days, I still lived here in Jakarta, with all its familiarity, with all the friends I hold most dear. I didn't feel as forlorn as I predict I will be later on.

Not to mention that person. It was hard for me to find a way to tell him. I was planning to tell him right after we met my friends, but then..

All hell broke loose.

Jam 7 malam saat cahaya matahari sudah digantikan oleh lampu kendaraan dan gedung-gedung bertingkat, gue duduk di salah satu taman kota di Jakarta Pusat. Gelapnya hari nggak membuat taman ini menjadi semakin sepi. Banyak orang berolahraga dan komunitas anak muda yang berkumpul di malam hari.  Beberapa terlihat berjalan berpasangan, beberapa lainnya mengajak anak-anaknya.

Sebuah sentuhan di bahu menyadarkan gue dari pengamatan sosial yang sedang gue lakukan.
Matanya menyipit saat dia tersenyum. Dia mengulurkan sebuah es krim cone McD kesukaan gue.

He sat next to me on a bench near the fountain. Some kids cycled around and giggled. There were many other noises surrounding us but we were covered in silence for a what seemed to be ages. I quietly eat my ice cream. My hands were freezing, but it wasn't the ice cream.

He moved his hands uneasily on his thighs. I looked at those fingers again. Those always well-trimmed nails. The wind blew and his citrusy scent filled the air around us.

"So, Melbourne, huh?" he uttered his first words at last.

"Yes."

"When exactly?"

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang