[INDIRA]
"Dira?" sebuah suara memanggil dari belakang saat gue berada di pantry untuk membuat teh hangat menjelang jam istirahat makan siang.
"Eh, hai, mas." sapa gue balik, tersenyum sangat lebar menyambut langkahnya yang mendekat.
Mode gue shifted otomatis kalo dia yang menghampiri. Padahal dulu aja, jangankan nyengir, ngomong pun gue belepotan kalo dia yang ngajak.
"Kok udah masuk kantor?" tanyanya. Secara tiba-tiba dia mendaratkan telapak tangannya di atas dahi gue. Hampir aja sendok gula di genggaman jatuh saking kagetnya.
"Emm... Iya.. oh makasih banget by the way, yang kemarin, maaf saya ngerepotin Mas Agus banget ya? Duh, nggak maksud gitu saya mas.. Pake nganter ke rumah pula. Harusnya saya di drop ke klinik aja udah cukup kok. But thanks, again, after all.." gue panjang lebar menjawab sementara dia hanya menatap gue diam, memasukkan satu tangannya ke saku celana.
Fuck, that cold stare again.
"Gue udah submit surat dokter lo." katanya singkat.
"I..iya, Indri bilang kemarin.."
"Artinya apa?" tanyanya, menyandarkan satu tangannya yang lain ke dinding pantry.
"Harus istirahat.." gue jawab lirih. Nggak sanggup gue ngeliat mukanya, jadi gue cuma nunduk kayak murid dimarahin guru BP.
"Terus ngapain masih masuk?" hhh.... Ini gaya ngomong dia bikin gue merasa disidang HRD sebelum dikasih SP.
"Ga enak di rumah, sepi. Malah berasa makin sakit.." kali ini gue menjawab jujur.
Gue memang nggak bisa diem di rumah, apalagi sendirian. Being sick is one thing I hate the most because it means I have to do nothing. NO CHOICE but to stay still and sleep all day, and eat, and have some meds.
Harus banget nggak ngapa-ngapain di tengah kesunyian rumah bikin gue ngerasa makin nggak enak badan. Psikis gue selalu berontak minta diajak ngelakuin sesuatu.
"Kalo masuk kantor bisa tambah sehat?" katanya, lagi-lagi menyudutkan.
"Nggak kerja yang berat-berat kok, Mas. Saya cuma utak atik laptop aja sambil duduk.."
Tanpa basa-basi dia mengeluarkan tangannya dari saku celana, mengambil sendok di genggaman gue, dan menarik tangan gue keluar dari pantry. Gue saking speechleess-nya cuma bisa nahan napas dan ngikut ke mana dia narik gue.
Kami berdua masuk ke ruang marketing, sementara beberapa mata melihat ke arah kami kebingungan melihat gue yang digandeng, salah, ditarik, setengah paksa, ke arah kubikel gue sendiri. Sesampainya di depan meja gue dia melepas genggamannya dari lengan gue.
"Beresin. Gue anter pulang." perintahnya.
"Mas, nggak us.."
"Dira, this is an order. No bargaining." matanya masih menatap gue dengan judes, seperti biasa.
Posisi kami di kantor sama, setara. Gue dan dia sama-sama team leader di divisi masing-masing. Artinya dia nggak punya hak untuk merintah-merintah gue layaknya atasan ke bawahan. Tapi nggak tau kenapa gue merasa kecil kalo udah dia yang bersuara.
Gue cuma mendengus pasrah, tanpa sepatah kata lagi keluar dari mulut. Tau-tau gue udah beres-beres laptop dan notes yang berserakan di meja. Under his strict supervision.
"Tunggu di lobby. Gue ambil mobil." ujarnya sambil berlalu menuju ke ruangannya.
Sementara beberapa anggota team gue yang sedari tadi diam-diam memperhatikan langsung berkerumun ke arah gue, saat Agustino meninggalkan ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
November Rain
ChickLit"Brian. Nama gue Brian. Lu kan denger tadi nama kita dipanggil barengan?" ujarnya ketus. Indrika memandang laki-laki yang membangunkannya dari last call pesawat yang hampir membuatnya ketinggalan penerbangannya ke Bangkok tadi. Punggungnya perlahan...