Chapter 31: The Key Holder

462 47 12
                                    

Missing someone sucks big time. Apalagi kalau lagi sama-sama nggak mau ngaku dan terlalu tinggi menjunjung gengsi.

Udah, Ndri, ngaku aja duluan. Ngaku salah apa susahnya sih?

But hey, I tried, he didn't listen. Siapa juga yang malah pergi duluan?

Dua sisi batin gue berdebat sedangkan badan gue cuma tergolek telentang di kasur sembari menatap langit-langit yang ada cicaknya.

Sudah lebih dari tiga minggu sejak terakhir perang itu pecah di antara kami. Dan sudah selama itu pula gue merasa dianak-tirikan karena Indira makin lengket aja sama gebetan barunya yang kayak es batu itu, di saat keadaan gue sendiri lagi carut-marut.

Mau cerita juga nggak berani, karena udah diultimatum di awal. We should clean up our own mess.

One text was all it takes to make me give up. Setelah dia pulang dari rumah gue waktu itu, gue sempat mengirimkan sebuah pesan yang menanyakan apakah dia sudah sampai di rumah. Dia hanya membaca dan nggak membalas sama-sekali sampai tujuh masehi kemudian.

Ya udah. Gue menyerah semudah itu saking takutnya kalo terlalu ngejerin nanti dikira pengemis.

Balik lagi: GENGSI.

And the sound of the rain makes it even worse. The unstoppable countless tiny droplets have been falling all day, strengthening the chills in the air, bringing back the memories of the wet leaves and grass scents and the warm back hug we used to have in the verandah.

Ada nyiksa, nggak ada nyiksa.

Sianying!

Suara pintu terbuka dari lantai bawah menyadarkan gue dari pikiran yang kalut dan gue langsung menyambar gagang pintu untuk segera turun.

"Maaaakk mana martabaknyaaa.." gue teriak menagih titipan ke Indira yang baru saja pulang malam mingguan.

"Oh, halo, mas." Dia dibuntuti Agustino yang ikut masuk ke rumah, masih berdiri di depan pintu yang terbuka. Kirain nganter di luar doang.

Makin sering masuk-masuk aja nih orang. Hm.. Bangsul. Tidak hormat kaum (nyaris) jomblo.

"Nih." Indira mengangkat sebuah kantong plastik berisi sekotak martabak Holland.

Gue langsung menuruni tangga untuk menyambarnya. Indira berjalan ke arah kamarnya sementara Agustino masih berdiri di tempatnya semula.

Gue tersenyum untuk menyapanya kembali dan saat itu gue menangkap noda tipis berwarna kemerahan di rahang kanannya. Tipis banget, cuma dasarnya mata gue aja biang gosip.

"Mas.." panggil gue setengah berbisik sambil melambai kecil ke arahnya agar dia mendekat.

Dia mengangkat alisnya dengan ekspresi bertanya 'apa?'  dan berjalan ke arah gue lalu mencondongkan kepalanya ke samping saat gue meletakkan tangan di samping bibir, pertanda ingin membisikkan sesuatu.

Ghibah starter pack nomer satu.

"Pipi kirinya yang bawah, ada pink-pink nya. Digigit nyamuk?"

Menanggapi bisikan gue dia cuma menggosok-gosok pipinya tanpa ekspresi. Padahal gue berharap dia bakal kaget atau malu dan semacamnya.

"Dir." panggilnya ke arah kakak gue yang sedang membuka pintu kamar yang terkunci.

"Ya?" Indira berbalik menoleh.

"Besok pake lipstick yang smudge-proof ya?" ujarnya sambil masih menggosok pipi dengan jempolnya saja.

Tawa gue meledak seketika itu sedangkan Indira langsung berjongkok menutup mukanya dengan kedua tangan di atas lutut.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang