Chapter 45: The Red Scarf

398 35 11
                                    

[BRIAN]

Gue mendekati interkom untuk berbicara kepada orang yang membunyikan bel di luar. Layar yang menyala menunjukkan sebuah wajah. Hidungnya yang besar mendekat ke kamera. Dia tersenyum sumringah.

"Sia-- who's there?" gue meralat kata-kata, menyadari gue sedang tidak berada di Indonesia.

Ekspresinya berubah dan senyumnya mengendur.

"Bener tempat tinggal Indrika... kan?" tanyanya ragu.

"Ada perlu?"

"Iya. Bisa saya masuk?"

Menekan tombol dengan hati yang sedikit berat, gue mengizinkannya masuk.

Sebelum dia sampai di depan pintu flat, gue buru-buru memberitahu Indrika dan mengambilkannya baju.

There's no way he'll see her in her towel only. I'm the one who can.

Selang beberapa menit dia sampai di depan pintu. Kami sama-sama berusaha tersenyum meskipun canggung. Wajahnya mengingatkann gue sama karakter kartun Bob The Builder, bulat dengan ukuran hidung yang noticable.

"Silakan masuk, dengan..?" gue mengulurkan tangan yang langsung ia balas dengan jabat yang erat.

"Ezra." jawabnya singkat.

I knew it was him. Just a birthday dinner, she said?

Gue mempersilakannya duduk di sofa depan TV. Dari gelagatnya gue bisa membaca ini pertama kali dia berkunjung. Saat gue duduk di dekatnya dia memperhatikan gue dari atas ke bawah. Dengan baju yang gue kenakan dan penampilan gue yang jelas terlihat baru bangun dan belum mandi, seharusnya dia bisa menyimpulkan gue siapa dan apa yang gue lakuin di sana.

"Indrikanya?" tanyanya setelah selesai mengamati.

"Masih mandi. Bisa saya bantu ada perlu apa?"

"Oh nggak. Saya tunggu dia aja. Perlunya sama dia." jawabnya sambil tersenyum.

I don't like that smile. I know what that means. He's declaring a war.

"Teman kantornya?" gue sengaja nanya, pura-pura nggak tau.

"Oh enggak. Mantan klien lebih tepatnya."

"Ada urusan kerjaan yang masih belum selesai? Setau saya dia cuti semingguan ini."

"Kan saya bilang mantan klien. Ya urusan kerjaan sudah selesai. Ini urusan di luar itu kok, makanya saya ke sini." ujarnya lagi dengan nada lebih ketus.

Gue berusaha mengontrol emosi agar tetap terlihat kalem, meskipun adrenaline gue terpicu. Udah mulai sembarangan ini orang.

"Tinggal di mana?" tanyanya.

"Saya di Jakarta, ini lagi liburan akhir tahun aja."

"Oh.. Nginep di sini?"

"Iya. Pacar saya tinggal di sini masa saya nginep di hotel." gue sengaja tersenyum menjawabnya.

Suara pintu kamar mandi yang terbuka membuat kami menengok ke arahnya bersamaan. Indrika sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia nggak kalah kaget dan bengong sejenak, menghentikan langkahnya.

"Mas Ezra?" Indrika mengeluarkan suara.

"Hai! sorry nggak ngabarin, saya...."

"Keringin dulu rambutnya, baru duduk sini." gue menyela.

Dia mengangguk canggung dan masuk ke kamar. Suara bising hairdryer memecah keheningan. Indrika keluar beberapa saat kemudian. Dia berjalan ke arah dapur dan membuka lemari.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang