[SPECIAL CHAPTER]
Halo, rakyat jelata! Kangen nggak sama gue dan Dira? Atau kangen sama si Kampretnya Dira dan adeknya yang bahlul?
Sorry we haven't been updating much (bukan karena authornya sibuk sendiri lel) gara-gara kami semua lagi hectic sama kegiatan masing-masing. Bagi yang kangen Brian, gue bilangin satu hal: NGGAK USAH. Dia baik-baik aja dan nggak penting.
Kidding.
He's been busy assisting Fendik's new project with overseas client and so far he's doing well. Indrika, from what I've heard, is adapting perfectly with her solo life in Melbourne and probably is going to date Koala soon to replace Brian.
Gue? I've been... well, preparing for the wedding thing which I never thought would be this complicated considering Dira's request to make it as simple as possible. Ternyata, sesederhana apapun pernikahan adalah pernikahan. Ribet.
Kami yang sebelumnya hampir dibilang nggak pernah berantem jadi sering cek cok karena hal kecil. She's usually chill, but now she gets sensitive over the smallest thing like whether we should put durian filling to our cream puff.
"Durian nih best selling." gue memberikan saran waktu kami mengunjungi EO sekaligus penyedia katering.
"Jangan ah, nggak selalu musim juga."
"Lah ya kan mereka provide berarti udah selalu ada cadangan bahan frozen-nya, ya kan mbak?" gue mengkonfirmasi kepada si manager yang menangani kami. Mbaknya mengangguk dan tersenyum.
"Durian tuh nggak semua suka, mas. Besides, consider the smell. It's ruining the mood buat yang benci sama baunya."
"Temen-temen gue pada suka soalnya, mayan kan buat ngobatin kangen sama durian, Dir."
"Ya udah beliin aja mereka sendiri, jangan depend sama dessert yang kita sediain dong! Mas nih gimana sih, kalo milih apa-apa tuh yang generally disukai banyak orang, yang dateng kan juga nggak satu dua, jangan personal preference gitu!"
Buset, ngegas banget padahal cuma perkara dessert. Gue jadi tau kalo dia ternyata bisa lebih galak daripada gue. Virgo. Over-perfectionist.
Papa dan mama gue juga sudah sempat bertemu di rumah Indira beberapa hari setelah mereka datang untuk mengantar Indrika berangkat ke Melbourne saat itu. Sebenernya mau sekalian ntar pas ngomong formal lamaran gitu, tapi bokap nyokap gue insisted untuk ketemu aja dulu selagi sempat, urusan lain dipikir belakang. Yang penting kedua keluarga udah saling bertatap muka, gitu katanya.
Ya gue sih iya-iya aja, daripada lagi-lagi gue harus ngadepin bapaknya Indira seorang diri dan dipanggang abis-abisan.
Apalagi setelah Indira keceplosan kami datang terlambat menjemput mereka di airport gara-gara ketiduran di rumah gue. Beneran ketiduran, nggak gue tidurin. Kami sedang menonton Four Weddings and A Funeral di TV ruang tengah ketika Dira tiba-tiba tumbang dari sandarannya dan tertidur di lengan sofa.
Gue menyelesaikan setengah film sendirian dan membangunkannya di akhir, menawarkannya untuk pindah ke kamar. Dengan setengah sadar dia langsung ngeloyor ke kasur dan tidur sampai pagi, sementara gue tidur di kamar sebelah. Gue bangun sebelum matahari terbit dan pindah ke sisinya.
One thing I learned: she curled her body like trenggiling when she slept. She didn't move much and stayed in her spot from the beginning until she woke up. Just like me.
Kayaknya nanti kalo udah suami istri kasur bakal jarang berantakan kecuali kalo dipake................. main gobak sodor.
Bapak udah melotot sambil berkacak pinggang dan untungnya nggak sambil melintir kumis kayak Pak Raden. Entah bagaimana beliau memutuskan untuk percaya sama pernyataan Dira dan permohonan maaf gue setelah berceramah hampir satu jam selama gue nyetir dari Halim ke rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
November Rain
ChickLit"Brian. Nama gue Brian. Lu kan denger tadi nama kita dipanggil barengan?" ujarnya ketus. Indrika memandang laki-laki yang membangunkannya dari last call pesawat yang hampir membuatnya ketinggalan penerbangannya ke Bangkok tadi. Punggungnya perlahan...