Chapter 28: Home?

332 36 5
                                    

Rain starts falling and as it gets heavier I bite my lips even harder. I feel my hands firmly grip the edge of my shirt. My vision gets blurry as the car's front glass begins to look hazy. Nick realizes something is wrong with me as he looks at me between his focus to the street ahead of us.

"Cupcake? Are you okay?" he reaches his left hand to my right hand, which is currently still clutching the bottom part of my shirt.

I didn't utter a single word as I try so hard to hold my pain in. It already hurts so bad that Brian lied to me. A friend, huh? What, so now I can casually meet up with Nick and call him a friend, too?

"Is there anything I can do?" he asks again.

"Take me home. I just wanna be home."

Gue masih berusaha menahan isakan sambil memasukkan hape kembali ke tas. Ngopi sama temen, he said. In the picture Ucup has sent me, Aya was holding the back of his palm.

Friend, your ass.

Gue baru menyadari keberadaan kami beberapa saat kemudian saat mobil Nick melambat memasuki sebuah rumah yang ukurannya sama sekali nggak minimalis. Pagarnya terbuka otomatis, dan garasinya setengah terbuka dengan satu mobil lain yang terparkir di sana.

Rumah dua lantai bercat putih dan biru ini memiliki sebuah halaman berumput dengan ukuran tidak terlalu luas. I still remember everything clearly, meskipun terakhir gue main ke rumah ini udah setahun yang lalu.

Dia langsung memasukkan mobilnya ke dalam garasi supaya kami tidak kehujanan.

"Welcome home." ujarnya memecah keheningan di antara kami.

"MY home, Nick. Not yours." I sigh. He beams a soft smile while looking at my annoyed face.

"You're not supposed to be alone when you're feeling down."

"Indira is home. I'm not gonna be alone."

"Oops. Didn't know that. Makan malemnya delivery aja ya?"

"hhh... terserah kamu lah."

"Masih hujan, Indri."

"Kan bawa mobil? Stop making excuses." Gue jawab dengan sewot.

Dia nggak menjawab dan hanya membukakan pintu mobil agar gue bisa keluar dan masuk ke rumahnya. He's living alone in this big house, with only one assistant, doubling the job as his driver. Hanya perlu waktu setahun untuk membuat semua yang dulunya familiar ini terasa asing buat gue.

Gue duduk di sofa ruang tamunya yang luas dengan langit-langit yang tinggi ini. Berasa semakin kosong aja suasananya karena kalo orang ngobrol bisa sampe menggema. Something jolts inside me when I find a display of our picture on the table near the living room, taken from our second anniversary in Lombok.

"Anything warm to drink?" tawarnya melihat muka gue yang udah sekucel baju nggak dicuci 2 minggu.

"No, thanks." Gue Cuma terduduk lesu di sofa.

"I'll make you some tea."

Dia meletakkan teh hangat di meja dan ikut duduk di sofa samping gue yang berbentuk letter L sehingga kami bisa setengah berhadapan. 

"What's wrong? Is there anything I can do?" dia menatap gue lekat dan menggenggam tangan gue yang berada di atas lutut.

Gini, ya. Gini. Kalo ada orang sedih, itu puk-pukin aja, give them comfort sampe mereka sendiri yang mau cerita. Jangan ditanya. Karena ketika ditanya, rasanya makin nyesek dan resikonya tumpah banjir makin gede.

November RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang