Jakarta, December 2018
It's almost weekend in mid December dan gue masih belum kelar tektokan masalah pasang baliho international expo di Senayan untuk awal tahun depan.
Sepulang dari Bangkok hampir 3 minggu yang lalu, gue ngabisin sisa cuti gue dengan bergelimpangan di kasur nonton series marathon dan pesen go-food sampe akhirnya saat sisa cuti gue masih 2 hari gue udah masuk kerja.
Semua temen kantor ngasih gue standing ovation atas kerajinan gue yang digadang-gadang bakal jadi most productive employee of the year. Gue berharap kesibukan berfaedah ini lah yang akan mengalihkan gue dari pikiran tentang apa yang terjadi bulan lalu di negeri seberang.
Gue cerita sama Indira apa yang terjadi antara gue dan Nick, but somehow I still couldn't bring up the Brian thingy talk. Gue cuma bilang kalo gue ngerasa jenuh dan kehadiran Fania di sana membuat gue semakin nggak yakin ada yang perlu dipertahankan. And as psychic as usual Indira bilang:
"There's something a little off about your story. I think some parts are missing."
Yes, I'm a bad liar, and she's freaking good at reading my mind. But eventually she let it pass. Dia juga lagi sibuk-sibuknya ngurusin project akhir tahun sekaligus lagi honeymoon period karena sahabatnya yang lama hilang akhirnya kembali dan kerja sekantor.
Seringkali kami cuma ketemu pagi hari karena dia hampir selalu pulang tengah malam. Kalo pas masa sibuk begini, gue harus ngalah nggak dimasakin dan selalu makan take out meal.
I left Brian a day after our last conversation in my bedroom, well, technically Alex's, in good terms. He bought me the ticket and took me to the airport, then kissed me goodbye. He asked if we could still keep in touch and I said I wasn't sure.
Gue bilang kalo dia nggak bisa berharap gue bakal bales chatnya sering-sering, dan gue minta waktu untuk bener-bener menemukan jawaban atas "where do I want to end up".
It's impossible to get back to Nick, I'm not going down that road again, but it doesn't mean that I can immediately declare that Brian is the new one for me. I wanna see if I'm really worth his fight too.
Kami masih saling chat sampai 3 hari setelah kedatangan gue di Jakarta, dan setelahnya cuma 1-2 chat sehari. Kadang dia cuma ngirim gambar meme yang gue cuma bales pake emot. And that's about it.
Don't get me wrong, I do miss him, as fuck. Tapi justru karena itulah gue ngasih boundaries karena gue masih insecure. You might think this is utter bullshit. But that's how you'll turn out to be when life has given you too much disappointment. You begin to trust yourself less, and you do even more to other people.
Hari itu hujan deras dan angin kencang sampai di beberapa titik ibukota beberapa bangunan rusak atapnya diterjang badai. Gue yang takut petir dan angin akhirnya pulang telat demi nunggu sampai hujan benar-benar tinggal gerimis. Di rumah, Indira rupanya udah nyampe duluan nggak seperti hari-hari sebelumnya.
"Masak sop gue, sini mumpung anget."
"Tumben mak pulang cepet?"
"Iya semalem gue nggak tidur ngerjain laporan sama wording design promo, tadi ijin pulang cepet jelas dikasih lah. Udah kelar."
"Gila sih nggak ngerti gue gimana caranya orang bisa nggak tidur gara-gara kerjaan."
"Gue kan bukan elu, kebo!"
"Tuh apaan? Abis shopping?" gue menunjuk tas plastik merk salah satu brand street wear yang ada di atas meja makan.
"Lah, lupa naruh kamar. Ada buy 2 get 1, trus gue manipulasi lah si kampret, biar dia beli satu, hahahah."
KAMU SEDANG MEMBACA
November Rain
ChickLit"Brian. Nama gue Brian. Lu kan denger tadi nama kita dipanggil barengan?" ujarnya ketus. Indrika memandang laki-laki yang membangunkannya dari last call pesawat yang hampir membuatnya ketinggalan penerbangannya ke Bangkok tadi. Punggungnya perlahan...