Orion tidak dapat nyenyak dalam usahanya untuk tidur. Kepalanya yang terasa berat benar-benar mengganggu. Sekarang ditambah dengan suhu ruangan yang terasa semakin dingin hingga membuatnya menggigil. Orion ingin berteriak kepada siapapun yang sudah menurunkan suhu ruang tengahnya, tapi tenggorakkanya terasa kering hingga dia tidak yakin suaranya akan keluar. Jangankan untuk bersuara. Membuka mata pun terasa sangat berat.
Namun seakan ada yang mendengar suara hatinya tentang ketidaknyamanan yang dirasakannya. Orion bisa merasakan seseorang dengan lembut menyelimutinya. Bahkan orang itu meletakkan bantal di bawah kepala Orion. Tangan lembut orang itu seperti kompres alami yang terasa begitu dingin di kening Orion yang seakan bisa meledak sewaktu-waktu. Karena itulah Orion menahan tangan itu saat kelembutannya akan meninggalkan keningnya.
"Berhentilah merengek. Aku akan segera kembali dengan kompres." Suara yang sangat dikenal Orion itu membuatnya tersenyum. Meski apa yang diucapkan sama sekali bukan hal yang manis. Arla. Akhirnya dia kembali.
Orion tidak ingin Arla pergi lagi. Tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Badannya terasa seperti ditindih batu seberat sepuluh ton. Karenanya, Orion kembali merasa lega saat sesorang duduk disampingnya. Orion tau itu Arla.
Saat kompres ditempel dengan lembut di dahinya, Orion berhasil menangkap pergelangan tangannya walaupun dengan mata tertutup. Awalnya pemilik tangan itu terdiam. Namun karena Orion tidak menggenggam pergelangan tangannya dengan kekuatan penuh. Pemilik tangan itu kembali mengusap wajah Orion dengan kompres tanpa berusaha menyingkirkan tangan Orion. Dengan lembut pemilik tangan itu membuat Orion merasa nyaman dengan kompres yang diusap ke wajah dan lehernya. Karenannya Orion pun bisa merasa tenang hingga akhirnya terlelap dengan nyenyak.
"Orion... Orion..."
Entah berapa lama Orion tertidur dengan nyenyak. Namun suara merdu dan bau makanan yang begitu menggoda akhirnya berhasil mengusik kesadarannya. Dengan perlahan Orion berusaha membuka mata.
Lila? Orion berpikir kalau dia akan mendapati Arla begitu membuka matanya. Alih-alih cewek berkacatama cantik dengan hijab yang masih terpasang rapi di kepalanya. Padahal saat matanya tertutup tadi, Orion yakin mendengar suara Arla lah yang memangil-manggil namanya. Apakah tadi dia hanya berhalusinasi?
"Kamu harus makan sop ini dan minum obat sebelum kembali tidur. Itu kalau kamu ingin segera sembuh." Kata Lila yang terlihat mengerutkan kening.
Orion memandang meja di depannya. Ada semangkuk sop ayam dengan aroma menggoda, minuman berwarna keemasan yang sama dengan yang diminumnya tadi siang, berbotol-botol air mineral dan obat flu.
Seakan mengerti bahwa tenggorokan Orion terasa begitu kering seakan dia habis minum pasir, Lila membuka sebuah botol air mineral dan mengulurkannya. Meski bukan Arla, tapi Orion senang mendapati Lila ada di depannya. Meski berusaha menghindarinya dan bersikap tidak peduli. Wanita itu akhirnya justru merawatnya saat sedang sakit.
"Sop ayamnya masih banyak di dapur." Kata Lila setelah Orion meneguk minumanya. "Makanlah ini dulu dan tidurlah. Kamu bisa memenasinya lagi saat bangun."
"Terima kasih." Kata Orion.
Lila yang baru saja selesai mengumpulkan blazer dan tas nya pun memandang Orion sesaat. Kemudian wanita itu menggeleng dan berkata, "Aku hanya melakukan ini hanya karena rasa kemanusiaan. Sama seperti aku memberi makan kucing kecil yang lemah dan tidak berdaya."
Orion hanya mengangguk dan tersenyum. Paling tidak wanita itu sudah menganggapnya kucing. Meski sebenarnya Orion adalah singa yang bisa menerkamnya kapan saja. Tapi sesekali menjadi kucing kecil yang dimanja ada bagusnya.
------------------------------------------------------------------------------------
Orion kembali terbangun saat mendengar deru mesin penyedot debu. Tanpa membuka mata dia tersenyum senang. Ternyata Lila begitu mengkhawatirkannya. Wanita itu pasti kembali lagi untuk mengecek keadaannya. Meski dari luar terlihat begitu cuek dan seperti ratu es, siapa yang menyangka Lila kini bahkan membantunya membersihkan rumahnya. Mungkin ini yang akan Orion rasakan setiap hari kalau dia punya istri.
"Kalau kamu bisa tersenyum lebar begitu, berarti kamu sudah bangun."
Mata Orion langsung terbuka mendengar suara itu. Memang itu adalah suara wanita yang dikenal Orion. Tapi sayang bukan Lila. Itu adalah suara Bubun nya. Dan benar saja. Saat Orion bangkit, Orion mendapati wanita yang sudah membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu sedang memandangnya dengan senyum keibuannya yang hangat.
"Bubun? Kenapa Bubun ada disini?"
Bubun mengernyit dan beranjak ke depannya. Sambil memeriksa keningnya, wanita degan gamis cokelat muda itu berkata, "Kamu benar-benar sudah baikan 'kan?"
"Iya bun, aku sudah baikan. Bagaimana Bubun tau aku sakit?" Orion mengangguk. Setelah makan sop ayam buatan Lila dan minum obat flu, Orion bisa dibilang langsung terkapar dalam tidurnya. Dia hanya sekali terbangun untuk minum dan buang air kecil, tapi pada saat itupun Orion ingat bahwa rasa pusing sudah lama menghilang dari kepala nya.
Bubun mengangguk setelah memastikan suhu badan Orion, "Tapi apa kamu beneran tidak ingat kalau semalam kamu mengirimku pesan bahwa kamu sedang tidak enak badan?"
Kini giliran Orion yang mengernyitkan kening. Dia segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja depan sofa. Dia yakin dia tidak mengirim pesan apapun pada ibunya. Karena kepalanya yang terasa berat, Orion meletakkan ponselnya begitu saja tanpa pernah menyentuhnya kembali sampai saat ini. Tapi disanalah pesan itu. Chat yang menggunakan gaya yang sama sekali bukan Orion.
Assalamualaikum bu, aku tidak enak badan. Sekarang aku akan istirahat. Bisakah besok ibu mengecek keadaanku? Siapa tau flu ku bertambah parah.
"Bubun baru tau kalau sekarang kamu bisa masak." Bubun beranjak ke dapur. "Sop ini benar-benar enak. Bubun sama sekali tidak bisa menahan godaan aromanya saat memanasinya."
"Bukan aku yang memasaknya."
Orion tersenyum sambil meletakkan kembali ponselnya. Dari jam pesan itu dikirim, Orion bisa mengerti kenapa dia tidak ingat pernah mengirim pesan itu pada ibunya. Karena bukan dia yang mengirim pesan itu. Tapi dia bisa menduga siapa yang mengirimkan pesan itu.
"Lalu?" Bubun kembali dengan semangkuk sop yang diulurkan pada Orion.
Dengan senang hati Orion menerima Sop yang sudah dihangatkan itu. "Sop ini dibuat oleh wanita yang mengirim pesan pada Bubun dari ponselku."
Bubun mengangkat kedua alis matanya penasaran, "Apakah kita sedang membicarakan wanita yang dibicarakan Rakha waktu itu?"
"Dasar krucil itu." Orion geleng-geleng sambil menikmati sop buatan Lila yang bahkan terasa lebih enak saat nafsu makan Orion kembali.
"Kalau wanita itu bisa membuat sop seenak ini dan mampu merawatmu saat sakit, Bubun akan langsung memberikan restu begitu kamu membawanya ke rumah." Bubun terdiam sejenak sambil memandangi Orion yang sedang memakan sop nya dengan lahap. "Tapi apakah ini berarti kamu sudah mengatasi rasa bersalahmu? Karena kamu sempat menyebut namanya saat tidur tadi."
Sendok Orion berhenti di udara. Orion tau nama siapa yang dimaksud Bubun nya. Apakah kemarin saat bersama Lila dirinya juga memanggil nama gadis itu? Karena samar-samar Orion ingat dirinya merasakan kehadiran Arla saat dia demam. Apakah karena itu Lila akhirnya buru-buru pergi?
"Orion?"
"Apakah Bubun sudah memaafkan diri Bubun sendiri?"
Bubun memandang keluar apartement melalui balkon selama beberapa saat. Kemudian wanita yang kini berusia 45 tahun itu menggeleng. "Setiap melihat ayahmu memandangi fotonya, Bubun tidak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri."
Orion menggertakkan giginya. Setiap kali mengingat gadis itu, Bubunnya selalu merasa sedih karena rasa bersalah. Orion ingin menghapus kesedihan itu. Tapi Orion tau bahwa kunci untuk menghapus kesedihan itu adalah gadis yang sudah menghilang selama dua belas tahun itu. Arla. Orion harus segera membawanya pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA
RomanceSeperti hal nya kotak terlarang itu, kenangan masa lalu bisa menjadi sumber segala masalah. Sebagaimana sulitnya menemukan kotak itu, menemukan kebenaran dari kenangan masa lalu bukanlah hal yang mudah. Sama seperti isi kotak pandora, kebenaran dari...