Dua Puluh Enam

745 70 0
                                    

"Lila, ada yang ingin ku kenalkan pada mu." Kata Orion untuk kesekian kalinya.

Karena sedang berbicara dengan Win, Lila pun berada dalam posisi memunggungi Orion. Lila sempat melihat gelengan kepala Win saat akan berbalik dan menghadap Orion. Tapi Lila tidak sempat memikirkan arti gelengan itu. Dia lebih memilih urgenitas untuk berbalik pada Orion dan memelototi pria itu.

Namun Lila sama sekali tidak sempat untuk memelototi Orion. Lila justru membeku di tempat saat melihat dua orang yang berada di kedua sisi Orion. Kalau saja tidak tertutup make up, pasti wajah Lila akan terlihat pucat pasi seperti sedang melihat hantu. Benar. Hantu dari masa lalunya yang selama ini dihindarinya.

Piring berisi pudding yang tinggal setengah itu pun akhirnya terjadi dari tangan Lila.

Suara pecahan piring kecil itu memang tertutupi oleh lagu 'Janji Suci' yang sedang dimainkan anggota band, sehingga tidak menarik perhatian tamu yang lain. Tapi itu sudah cukup untuk membuat Lila tersadar dari kekagetannya. Tatapan mata Lila pada pria yang memiliki warna mata yang sama dengannya pun akhirnya terputus. Lila segera bangkit dari kursinya dan berjalan kearah berlawanan dari arah datang Orion dan dua orang yang pasti akan segera mengetahui siapa Lila sebenarnya.

"Lila?"

Suara Orion justru membuat Lila mempercepat langkahnya. Tidak. Lila tidak ingin berhenti. Lila ingin berlari. Lila tidak ingin berhadapan kembali dengan masa lalunya. Dengan ayahnya.

Lila tidak tau kemana langkah kakinya membawanya. Dia hanya berusaha berjalan menjauh dan menghindari orang-orang yang terlihat bahagia dalam pesta pernikahan Win itu. Lila terus berjalan di taman indah itu hingga suara band pernikahan semakin lama semakin mengecil.

"Arla berhenti." Itu adalah suara yang sudah  tidak di dengar Lila selama dua belas tahun. "Sampai kapan kamu akan berlari dan menghindar?"

Langkah kaki Lila pun memelan hingga akhirnya berhenti di dekat kolam ikan koi yang memilki air terjun mini. Lila pun menghela nafas. Berusaha menyiapkan diri karena dia tidak tau harus kemana lagi dia pergi. Terlebih dengan sepatu berhak tujuh senti, Lila yakin cepat atau lambat pria itu akan berhasil mengejarnya. Lila yakin kali ini pria itu tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.

Lila pun akhirnya berbalik dan berhadapan dengan ayahnya. Hanya ayahnya. Tidak ada orang lain yang terlihat di tempat itu. Lila hanya melihat ayahnya yang kini sedang memandangnya dengan mata berkaca-kaca.

Meski berusaha menyangkal, Lila tau dalam sudut hatinya yang paling dalam, rasa rindu itu perlahan muncul. Rasa rindu dari seorang gadis kecil untuk ayahnya. Sampai kapanmu gadis kecil itu adalah gadis kecil ayahnya. Tapi Lila berusaha keras memakai topeng dinginnya untuk menghalau rasa rindu itu.

"Kamu tumbuh menjadi wanita yang cantik." Senyum menghiasi wajah ayahnya. Senyum tulus yang membuat ujung mata ayahnya menunjukkan keriput yang menandakan usianya.

"Mirip mama 'kan?" Tanya Lila dengan getir.

Tapi nada bicara Lila sama sekali tidak mempengaruhi ayahnya. Pria dengan rambut yang mulai ditumbuhi uban itu justru mengangguk tanpa menghilangkan senyumnya. "Tapi kamu jauh lebih cantik lagi dengan hijabmu. Ayah benar-benar bangga."

"Aku menggunakan ini bukan karena anda." Lila tidak akan pernah mau mengakuinya. Bahkan pada dirinya sendiri.

"Aku tau." Ayah Lila kembali mengangguk dengan sabar.

Kemudian keheningan kembali mengisi selama beberapa saat. Ayah Lila terdiam memandangi Lila. Seakan berusaha meneguk air pengobat kerinduannya untuk memandang anaknya yang menghilang selama 12 tahun. Sementara Lila hanya memasang wajah datar tanpa berusaha memulai pembicaraan.

Lila memang harus kembali memakai topengnya. Dengan begitu hatinya dapat dengan mudah dibekukan. Lila tidak ingin merasakan apapun saat berhadapan dengan ayahnya. Termasuk kepahitan kenanagan masa lalu yang mulai menderanya.

"Maaf." Ayah Lila lah yang pertama kali memecah keheningan. "Maafkan ayah waktu itu, Arla."

Lila tersenyum mengejek. "Untuk waktu yang mana? Dua belas tahun yang lalu atau dua puluh tahun yang lalu?"

Ayahnya kembali terdiam.

Lila ingin memancingnya agar mengakui kesalahannya. Tapi Lila justru teringat percakapannya dengan tante Linda beberapa hari yang lalu. 'Aku tidak peduli lagi kalau ayahmu tidak akan pernah memaafkanku.'. Dari pernyataan itu, Lila yakin kalau ayahnya juga memilki jawaban yang ingin diketahuinya. Karena tantenya baru akan tiba di Indonesia dua hari lagi. Maka tidak ada salahnya mencoba untuk memperoleh jawaban sekarang.

"Agung Santosa."

Nama itu berhasil membuat ayahnya membelalakan mata. Terlihat jelas kalau ayahnya tidak percaya kalau Lila akan menyebut nama itu.

"Dari mana kamu..."

"Tidak penting darimana aku tau." Potong Lila. "Aku hanya ingin tau siapa dia sebenarnya. Karena sepertinya anda juga mengenalnya."

Ayah nya kembali terdiam dan memandang Lila. Kali ini langsung ke mata Lila selama beberapa saat. Seakan sedang mencari sesuatu dari dalam hati Lila. Tapi setelahnya, pria itu justru menggeleng.

"Baiklah." Lila beranjak dari tempatnya. "Karena nampaknya anda tidak akan memberikan informasi yang saya butuhkan. Maka tidak ada yang perlu kita bicarakan."

Lila berjalan melewati ayahnya. Tapi setelah empat langkah beranjak, Lila berbalik. Lila pun mendapati ayahnya sudah berbalik dan memandanginya.

"Satu lagi." Kata Lila sambil memandang langsung ke mata cokelat yang sama persis dengan matanya. "Nama saya Lila Johnson. Bukan Arla Anindita Ganendra."

Ayah Lila tetap terdiam sehingga Lila pun berbalik.

"Tidak peduli siapapun namamu." Kata ayah Lila saat Lila mulai melangkahkan kakinya. "Kamu tetap ratu kecilku yang sangat kusayangi."

Beberapa tetes airmata mengalir dari sudut mata Lila saat mendengar panggilan kesayangan ayahnya padanya itu. Lila tidak berhasil membekukan keseluruhan hatinya. Satu sudut hatinya yang merindukan ayahnya masih terbuka. Sehingga airmatanya pun mengambil sudut itu untuk keluar.

Lila tidak melakukan apapun terhadap airmata itu. Karena jika dia berusaha menghapusnya, dirinya yakin ayahnya akan melihat gerakan itu dan akan tau apa yang sedang terjadi padanya. Tidak. Lila tidak akan membiarkan ayah nya atau siapapun melihatnya menangis. Karenanya Lila justru berjalan menuju loby alih-alih kembali ke tempat pesta pernikahan Win. 

Lila tidak membutuhkan konfrontasi lain dalam keadaan seperti ini. Lila tidak ingin seorang pun melihat airmatanya mengalir. Lila tidak ingin terlihat lemah dihadapan siapapun. Karena Lila kuat. Karena Lila tidak butuh rasa kasihan dari orang lain. Tidak. Terutama tidak dari Orion.

PANDORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang