Senyum merekah di wajah manis Arla meski kepalanya geleng-geleng saat melihat tantenya mondar-mandir di kamar wanita berusia pertengahan dua puluh tahunan itu. Apa yang sedang dilakukan wanita cantik dengan rambut berombak itu membuat seluruh kamar yang sebelumnya terlihat rapi menjadi berantakan. Tante Linda sebenarnya orang yang rapi, dan kadang sedikit perfeksionis. Tapi karena sibuk mencemaskan keponakan satu-satunya (Arla sendiri), tantenya itu sampai lupa mempersiapkan pakaian yang akan dibawanya ke London. Padahal keberangkatnya besok pagi. Tapi sampai sore ini, tantenya belum selesai memasukkan semua pakaian yang akan dibawaanya ke dalam koper.
"Arla sayang, kamu beneran nggak apa-apa 'kan aku tinggal?" Tanya Tante Linda sambil memasukkan dua jaket tebalnya ke kopernya.
Arla menutup kantong sepatu terakhir yang akan dibawa tantenya. "Tante, tau nggak sudah berapa kali tante menanyakan hal itu?"
Tante Linda menghela nafas sambil mencoba menutup resleting kopernya yang terlihat kelebihan muatan itu. "Tante tau. Mungkin sudah puluhan kali, bahkan ratusan. Tapi aku tetep khawatir."
Arla tersenyum kecil saat melihat tantenya itu akhirnya bisa menutup koper merah itu. "Aku juga sudah puluhan kali bilang, kalau aku akan baik-baik saja. Dia akan merawatku dengan baik."
Tante Linda memandang Arla dengan mata cokelat seperti mata mama Arla yang selalu dirindukannya. "Aku tau, ayahmu akan merawatmu dengan baik. Dia memang menyayangimu. Tapi yang aku khawatirkan adalah perasaanmu."
Kali ini Arla mencoba menghidari tatapan mata tantenya dengan memandang sekeliling kamar bercat hijau pucat itu. Setelah Arla memusatkan pandangannya pada lukisan pantai dengan matahari terbenamnya yang tergantung di dinding kamar itu, Arla pun menjawab. "Aku nggak akan merasakan apapun."
Tante Linda mendesah lalu duduk di tempat tidur dan menarik Arla untuk ikut duduk. "Arla dengar. Kalau memang hal itu berat buatmu. Tante bisa..."
"Jangan sekali-kali tante bilang kalau tante nggak jadi pergi." Potong Arla dengan cepat. "Pokoknya besok tante akan pergi ke London apapun yang terjadi. Tante sudah berusaha untuk dapat beasiswa itu, jadi jangan pernah berpikir untuk melepasnya demi aku."
Tante Linda tersenyum mendengar ketegasan keponakannya itu. Dengan lembut Tante Linda membelai rambut kecokelatan Arla. "Baiklah. Besok aku akan tetap pergi ke London. Tapi berjanjilah satu hal padaku."
Karena tidak dapat menebak apa yang mungkin diminta tantenya, Arla pun hanya bisa mengangkat bahunya dengan pasrah. "Yah... apapun itu asalkan tanteku yang cerewet ini mau pergi."
"Berjanjilah untuk mencoba memaafkan ayahmu."
Tubuh Arla langsung kaku dan tegang. Bagaimana bisa tantenya itu memintanya memaafkan ayahnya? Padahal tantenya itu tau perbuatan ayah Arla yang tidak akan pernah bisa dimaafkan Arla. Kesalahan ayahnya yang pada akhirnya menyebabkan mama Arla meninggal dunia. Bagaimana mungkin tantenya bisa memintanya memaafkan ayahnya yang kini hidup bahagia dengan keluarga barunya?
"Arla?" Tante linda mengguncang bahu Arla yang terdiam.
Arla menggeleng-geleng lemah. Wajahnya tampak tegang dan pucat. Sorot matanya menujukkan perasaan terluka dan kebencian. Andai tidak benar-benar shock mendengar permintaan tantenya, Arla pasti akan berteriak-teriak dengan penuh amarah untuk menolaknya.
"Arla, dengerin tante," Tante Linda kembali mengguncang lengannya. "Aku sama sekali nggak memintamu untuk langsung memaafkannya. Aku tau kalau itu nggak mungkin. Tapi aku ingin kamu belajar kembali menerimanya sebagai ayahmu. Bagaimanapun dia itu ayah kandungmu."
Arla tersenyum mengejek. "Tante salah. Dia bukan ayahku. Ayahku, ayah kandungku sudah mati saat aku melihatnya dengan wanita itu."
"Arla, dengerin tante..."
KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA
RomantizmSeperti hal nya kotak terlarang itu, kenangan masa lalu bisa menjadi sumber segala masalah. Sebagaimana sulitnya menemukan kotak itu, menemukan kebenaran dari kenangan masa lalu bukanlah hal yang mudah. Sama seperti isi kotak pandora, kebenaran dari...