Berjalan diantara nisan-nisan yang berjajar rapi, Lila tidak bisa melepaskan pandangan yang dari pria tengah baya yang berjalan dari arah berlawanan. Dari balik kacamata hitamnya, Nila mengamati wajah pria dengan kerut samar di sekitar matanya itu. Nila mencoba menggali ingatannya dan mencoba mencocokan wajah pria itu dengan wajah orang-orang dari masa lalunya. Tapi tidak satu nama pun yang sesuai dengan deskripsi wajah itu. Meskipun begitu, wajah pria itu terasa begitu familiar.
Hari minggu kedua setelah kedatangannya di Indonesia, Lila memutuskan untuk mengunjungi makam ibu dan kakek-neneknya. Lila sangat yakin bahwa tempat pemakaman ini akan aman dari orang-orang yang mungkin mengenalnya. Ayahnya? Lila yakin orang itu tidak akan mau bersusah payah meninggalkan keluarga bahagiannya demi mengunjungi makam ibunya. Dan bukan. Pria dengan mata hitam yang baru saja lewat di samping Lila tanpa mengenalinya itu bukan ayahnya. Meski bisa dibilang mereka seumuran.
Lila tetap tidak bisa mengingat dimana bertemu dengan wajah familiar pria itu hingga dia sampai di makam ibunya. Tapi Lila justru dikagetkan dengan seikat bunga lily putih kesukaan ibunya berada diatas nisan bertuliskan nama ibunya. Fiona Ananta. Bunga yang sama dengan yang saat ini berada di tangan Lila.
Lila pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat pemakaman umum itu untuk mencari tanda-tanda keluarga nya namun tidak menemukan seorang pun yang dikenalinya. Sore itu tempat pemakaman itu begitu sepi. Hanya ada sepasang pria dan perempuan yang memunggunginya selain dirinya di tanah luas itu. Jadi Lila tidak akan tau siapa yang menaruh lily itu.
"Assalamualaikum Mama." Lila berjongkok dan meletakkan buquet lily yang dibawanya disamping lily yang sudah ada disana. "Maaf baru kembali menjengukmu. Tapi sepertinya ada yang mengingatmu selain aku. Aku ikut senang untuk itu Ma."
Hal yang paling tidak disukai dari mengunjungi makan ibunya adalah ingatan akan kecalakaan dua puluh tahun lalu yang selalu mengusiknya. Setiap kali menatap nisan bertulis nama mamanya itu, kenangan yang selalu ingin dilupakan Lila itu kembali menghantuinya. Kenangan itu mengisi hati Lila dengan rasa sakit dan sedih yang sama dengan yang dirasakan dua puluh tahun yang lalu.
"Maaf, tapi aku harus memastikan sesuatu."
Kacamata hitam Lila ditarik dari tempatnya bertengger di hidung Lila saat permintaan maaf itu terdengar. Lila mendengak untuk melihat pemilik suara yang terdengar familiar itu. Tapi sayang selain karena mata minusnya, posisi pria itu yang menghalangi sinar matahari pun membuat Lila tidak dapat melihat jelas wajahnya. Hanya bayangan tubuhnya yang tinggi menjulang yang terlihat.
Karena kaget dan kesal dengan tingkah tidak sopan pria itu, Lila pun langsung berdiri dan bersiap mengomelinya, "Apa yang anda la...."
"Sudah kuduga aku memang mengenalmu." Potong pria yang kini berhadap-hadapan dengan Lila.
Dari jarak hanya tiga langkah di depannya dan cahaya matahari yang kini menyinari wajahnya, Lila pun dapat melihat wajah pencuri kacamatanya itu dengan jelas. Lila mengenali pria yang kini sedang tersenyum sambil mengulurkan kacamatanya kembali.
"Hai Arla." Win. Pria itu tersenyum dengan penuh keyakinan.
Lila membeku karena panggilan itu. Ini pertama kalinya sejak dua belas tahun ini, namanya dipanggil. Bahkan tante Linda sudah berhasil memenuhi permintaan Lila untuk tidak memanggilnya Arla sejak saat itu.
"Maaf anda salah orang." Lila menyambar kacamatanya dan cepat-cepat memakainya. Lila pun mengalihkan wajahnya agar Win tidak memandanginya lagi.
"Kamu memang banyak berubah. Tapi aku tidak akan pernah salah mengenalimu." Win berkata tanpa mengalihkan pandangannya meski kini dia hanya memandang kerudung abu-abu yang sedang dipakai Lila. "Kita sama-sama tau, akulah yang mengantarmu kesini dua belas tahun yang lalu."
Win benar. Dia lah yang mengantar Arla kesini setelah pertengkaran dengan ayahnya. Saat itu Arla benar-benar beruntung karena bertemu Win yang sedang menuju rumah Orion saat berusaha kabur. Tanpa banyak bertanya, Win pun langsung setuju untuk membantu Arla meninggalkan rumah itu. Win pun mengantar kemana pun Arla inginkan dengan motornya. Tempat pemakaman ini adalah salah satunya.
Lila memutuskan untuk tidak menanggapi Win dan beranjak dari tempat nya untuk pergi. Biarkanlah pria itu berhasil menebaknya. Tapi Lila tidak akan mengakuinya.
"Kamu akan pergi begitu saja?" Win berkata saat Lila mulai beranjak. "Apakah tidak masalah jika Orion mengetahui kebenaran ini?"
Baru beberapa langkah Lila berjalan, tapi nama itu berhasil membuatnya berhenti. Tidak. Lila tidak ingin Orion tau siapa dia sebenarnya. Bukan hanya karena rasa benci pria itu yang akan kembali setiap melihatnya. Tapi juga karena ayahnya akan tau jika Orion tau. Lila tidak menginginkan hal itu. Lila tidak ingin kembali berhubungan dengan ayahnya. Lila tidak ingin kenangan masa lalu dan keluarga bahagiannya itu kembali menyakitinya. Tidak. Lila ingin melalui tiga bulan ini dengan tenang dan kembali ke London tanpa bertemu ayahnya.
"Apa yang kamu inginkan?" Lila pun berbalik dan memandang Win dari balik kacamata hitamnya.
"Sayang, apa masih lama?" Belum sempat Win menjawab, wanita dengan baju hitam dan payung hitam yang sedang berdiri di jalan setapak, memotong pembicaraan mereka. "Aku tunggu di mobil ya?"
Win pun mengangguk. "Aku akan segera menyusul."
Wanita dengan rambut merah yang tertutup syal hitam itu pun mulai berjalan meninggalkan tempat pemakaman itu. Lila baru menyadari bahwa Win dan wanita itulah pasangan yang tadi memunggunginya. Kalau saja Lila mengetahui kalau win juga ada disana, Lila pasti sudah kabur duluan.
Tapi sayang semuanya sudah terlambat. Win berhasil mengenalinya. Lila pun tidak bisa mengelak karena dia memang tertangkap basah dengan semua bukti yang jelas. Entah apa yang kini diinginkan pria itu.
"Aku ingin kita bicara." Kata Win setelah wanita itu beranjak pergi.
"Apa? Katakan apa yang ingin kamu ketahui?"
Win tersenyum sambil menggeleng. Kemudian pria itu mengulurkan ponselnya. "Tidak sekarang. Dia sedang menungguku. Untuk sementara beri aku nomormu yang bisa kuhubungi."
"Tidak akan ada kesempatan lain. Sekarang atau tidak sama sekali." Lila beranjak.
"Baiklah. Aku hanya tinggal meminta nomormu dari Orion. Dia pasti akan penasaran karena itu. Jadi dengan terpaksa aku akan menceritakan semuanya pada Orion."
Lila pun kembali berhenti dan berusaha menahan rasa kesalnya. Mungkin Win terlalu lama bersahabat dengan Orion, sehingga keahlian Orion membuat Lila kesal pun menular pada Win. Itulah yang sedang dilakukan sahabat Orion itu, membuat Lila kesal.
Win pun tersenyum saat Lila mengetikan nomornya pada layar ponselnya. "Kamu tau kalau aku adalah pria yang menepati janji. Meksi aku harus membohongi sahabatku."
"Terima kasih atas bantuanmu waktu itu." Kata Lila dengan kesal sambil mengembalikan ponsel Win. "Tapi akan lebih baik kalau kamu tetap pura-pura tidak tau apapun."
Win kali ini menggeleng. "Maaf. Tapi kali ini aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja."

KAMU SEDANG MEMBACA
PANDORA
RomanceSeperti hal nya kotak terlarang itu, kenangan masa lalu bisa menjadi sumber segala masalah. Sebagaimana sulitnya menemukan kotak itu, menemukan kebenaran dari kenangan masa lalu bukanlah hal yang mudah. Sama seperti isi kotak pandora, kebenaran dari...