"Bangun, bodoh!"
Aku terlonjak kaget. Mataku mengerjap menahan air yang membasahinya. Aku menatap ibu tiriku terkejut, apa lagi yang diperbuatnya?
"Dasar pemalas, bangun!" titahnya sambil menjambak rambutku.
"Aww!" aku meringis kecil.
Ia menyeretku keruangan. Lalu melemparkan sapu ke arahku. Dengan baju dan rambut yang basah akibat seborannya, aku menggigil kedinginan.
"Sapu semuanya, bukankah kau anak yang baik, sayang?" kata Rosie—ibu tiriku.
Aku mengangguk patuh, lalu bangkit sambil membawa sapu itu ke dalam pelukanku. Sakit hati? Sedikit, aku sudah terbiasa dengan sikap Rosie.
"Ashley! Segera masak!" teriak Rosie.
"Tap-"
"Membantah lagi? Kau mau kuadukan pada ayahmu?" Rosie mengancam.
Lagi-lagi aku menunduk, mempercepat sapuanku, guna untuk segera melanjutkan perintah Rosie yang selanjutnya. "Percepat! Ashley! Mengapa gerakanku begitu lamban seperti kerja otakmu?"
Hatiku sakit. Memang, sudah terbiasa dicaci maki olehnya, namun tetap saja rasa tersinggung selalu datang di saat-saat seperti ini.
"Ah, apa minumanku sudah habis?" tanya Rosie ketika membuka kulkas.
Aku tidak menjawab. Membiarkan ibu tiriku meracau sesukanya. Jika aku menjawab, sama saja dengan aku menyulut emosinya, apalagi ia selalu terpengaruhi oleh minuman keras.
"Sialan, apa kau yang menghabiskan minumanku hah?" Rosie menuduhku, aku melotot sempurna. Sejak kapan aku berani meminum sejenjis alkohol?
"Anak sialan! Kau 'kan yang menghabiskan botol minumanku?" selidiknya.
"Tidak! Aku bahkan tidak berani untuk menyentuh minumanmu!" kataku jujur.
"Bohong! Kemari kau!" Rosie menghimpit kedua pipiku, menciptakan rasa perih yang begitu tiada kentara diwajahku.
"L-lepas!" pintaku sedikit memberontak.
Rosie melepaskan himpitannya, namun sedetik kemudian, ia menamparku hebat. Aku tersungkur, memegang pipiku yang memerah akibatnya.
Rosie menendang tubuhku, ia lantas menjambuk rambutku kasar. "KAU YANG MENINUM SEMUA ITU, HAH?!" tanya Rosie kesetanan.
"T-tidak ..." ucapku.
"Kau tahu berapa mahalnya semua minuman itu hah?!" Rosie memperkuat jambakannya, membuatku meringis keras.
"Sumpah demi tuhan! Aku tidak pernah menyentuh apapun milikmu!" aku berusaha melepaskan jambakannya, namun Rosie malah menepis tanganku kasar.
"Seharusnya kau tahu diuntung! Aku menikahi ayahmu dan menerima kedatangan anak tak berguna! Seharusnya, dari dulu aku tinggalkan saja kau!" Rosie menendang perutku, aku meringis kesakitan.
Ia melepaskan jambakannya. Lalu menarik tanganku kuat, ia mendorongku sadis ke kamarku, dengan amarah yang masih membara, Rosie menutup pintu kencang, sambil mengunciku dari luar.
"Tidak, Rosie!" aku merengek.
"Aku mohon, jangan kunci aku!" pintaku.
"Berisik, Ashley!" jawabnya.
Aku menghapus bulir air mata yang akan jatuh. Setelah itu, menatap keadaan kamarku yang begitu sempit. Berbeda dengan kamar Rosie juga ayahku yang begitu luas juga rapih.
"Halo Gelard?"
Aku menguping pembicaraan Rosie. Gelard? Nama itu terasa familiar ditelingaku. Sekeras mungkin aku mengingatnya, namun itu sama sekali tak berguna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Damn! My Mate Is A Vampire?!
WerewolfAshley Amara. Seorang gadis yang memendam seribu luka, juga merasakan pahitnya duka. Semua berawal dari Ashley, yang kabur dari rumah. Menyebabkan dirinya secara tak sengaja terpental hingga memasuki wilayah mahluk immortal. Teka-teki dengan masa la...