12 : Tenggelam

3.5K 286 8
                                    

"Masih tidur sepertinya." Sayup-sayup, aku mendengar satu suara. Mataku di buka lebar, pandangannya masih mengabur. Sedangkan bisa ku tebak, mata lancip milikku kini membengkak.

"Kau tenang saja. Setelah dia bangun akanku ajak ke pasar dengan Bella. Siapa tau ia bisa melupakan kejadian semalam." Itu suara Meira. Aku menggeliat di ranjang, rasanya malas sekali untuk bangun dan menjalani hari. Aku lebih baik rebahan.

Suara decitan pintu terdengar. Aku menoleh dengan gerakan yang terkesan ogah-ogahan. Itu Meira, dia sudah rapih bahkan tercium parfum wangi miliknya. Aku mendengkus kesal, di hadapanku benar mirip dengan seorang Ratu, tapi mengapa aku terkesan seperti gembel?

"Bangun Ashley. Ayo mandi," titah Meira.

Aku masih diam. Enggan menjawab ucapan Meira. Sejujurnya, aku sangat malas hari ini.  Lebih baik rebahan dan bersantai dengan kasur super empuk hahaha. "Ayo kita ke pasar."

"Malas."

"Dengan Bella."

"Malas."

"Jalan-jalan."

"Malas."

"Membeli buku kesukaanmu?" Baru saja aku akan mengucapkan 'malas' lagi namun aku malah melotot ke arah Meira. Darimana gadis itu tahu bahwa aku sangat menyukai buku?

"Ayo bangun, tidak usah mandi. Pasarnya dekat, ada bazar buku juga di sana. Bella menunggu di bawah." Aku mengangguk paham, lagipula aku malas mandi. Lebih baik tidak mandi.

Di belakang Meira, aku berjalan dengan sesekali menguap pelan. Masih mengantuk, tapi tak apalah, yang terpenting aku bisa mendapatkan koleksi buku baru. Ini kesempatan emas, jarang didapatkan dan tak boleh dilewatkan.

Kaki-kaki kami menuruni anak tangga dengan pelan, aku bisa melihat Bella dari sini. Di samping gadis itu, ada Leon yang memasang wajah datarnya. Dasar jutek, atau mungkin terlalu batu? Entahlah, Leon sangat memiliki wajah yang datar. Seperti patung.

"Ayo," ajak Meira ketika sampai. Bella berdiri dari duduknya, ia langsung menggandeng tanganku dan berjalan ke arah luar. Aku manut saja, malas juga memberontak di hari yang indah ini.

Ketika keluar dari halaman hause pack, aku disuguhkan dengan pemandangan luar biasa. Pada pedagang dengan bermacam-macam dagangannya menghiasi tempat ini. Entah hanya pikiranku atau memang benar adanya, kurasa orang lain menatap kami dengan tatapan aneh. Tatapan yaa yang terkejut bahwa kami turun ke pasar tanpa pengawalan.

Ah, lebay. Padahal, dulu aku juga tidak pernah dikawal kemana-mana. Lebih baik menjadi biasa dari pada dikawal layaknya Ratu, untung saja Meira tidak membawa pengawal. Membuatku sedikit nyaman dengan situasi ini.

Langkah kami bertiga berhenti di toko buku. Ah, toko buku itu di pinggir jalan. Bahkan, seperti toko buku sederhana yang hanya bisa menampung penjual dan buku-buku di dalamnya, kami bertiga tidak bisa masuk. Sang penjual tersenyum sumringah. "Ada yang bisa kubantu Nona?"

Bella menjawab. "Apakah ada pasokan buku baru?

Penjual itu mengangguk. Lantas, ia mengeluarkan beberapa buku yang masih terlihat baru saja datang dari pabriknya. "Ini edisi terbatas, aku cukup sulit untuk mendapatkannya."

"Aku ambil yang ini," kata Bella dan menunjuk salah satu buku. Sang penjual tersenyum senang. Tanpa menunggu lama, ia langsung membungkus buku itu dengan rapih.

"Jadi, apa yang kalian butuhkan Nona?" tanya penjual itu padaku dan Meira. Gadis di sampingku-- Meira. Tampak berpikir sebentar, lalu tanpa ragu ia langsung menunjuk buku dengan sampul unyu berwarna hijau.

Buku itu diambil, langsung dibungkus dan diberikan kepada Meira. Tatapan sang penjual beralih kepadaku, seolah-olah bertanya buku apa yang aku inginkan. Aku gugup saat itu juga, entahlah rasanya antara malu juga terkejut di satu waktu yang sama.

"Kau memiliki buku Harry Potter?" tanyaku sedikit malu-malu. Sang penjual terkekeh pelan, ia mengangguk dan langsung memberiku buku yang kuinginkan.

"Yang seperti ini?" Aku mengangguk mantap. Sambil menunggu ia membungkuskan buku milikku. Manik-manik mataku menatap keadaan sekeliling dengan senang. Begitu ramai serta damai, tidak ada yang berisik, semua di sini tampak tentram.

Hingga, berhentilah tatapanku pada satu titik. Sosok yang tengah berdiri sambil menatap was-was sekitar terasa familiiar di otakku. Sosok itu berdiri di samping toko jus yang tak jauh dari sini.

Mata indahnya hampir tertutup rambut coklat bergelombang. Sedetik, tubuhku melemas saat itu juga.

Lily?

Aku berlari mengejarnya. Sosok itupun ikut berlari menjauhiku, seakan-akan tahu bahwa aku akan mengejarnya. Dengan langkah kaki yang sedikit kurang cepat, aku dengan ambisius mengejar gadis itu. Itu adalah gadis yang kukejar semalam. Dugaanku bahwa ia sudah meninggal kenyataanya adalah salah besar. Dia masih hidup.

Kudengar, Bella dan Meira menjerit memanggil namaku. Mereka mengejar tapi larian mereka begitu lamban. Kini, jarakku dengan gadis itu hanya beberapa senti, aku mencoba menggapai rambut gadis ini namun beberapa kali gagal. Lariannya sangat cepat, membuatku terkadang terjatuh ketika mengejarnya.

"Berhenti!" teriakku disela-sela acara kejar mengejar ini.

"Aku mohon, berhenti!" dia tidak mendengar. Menoleh atau bahkan menghentikan lariannya saja tidak. Dan, tanpa kusangka, ia berlari menuju danau.

Sial.

BYURRR!!!

"TIDAK!" Sontak aku langsung ikut loncat. Bajuku basah karna air danau ini. Bisa kulihat, gadis itu berenang dengan sangat handal, aku melotot ketika ingat bahwa aku sama sekali tidak bisa berenang.

Tanganku digerakkan untuk menyusul gadis itu ke dasar danau. Tapi aku tidak bisa. Napasku tiba-tiba hilang, aku memberontak seketika, di dalam kusempatkan untuk menjerit gila, menciptaka gelembung-gelembung yang keluar dari mulutku.

Tubuhku serasa pengap. Aku menangis sejadi-jadinya. Tangan mungil itu tak henti-henti dikepak-kepakan. Guna untuk mengangkat tubuhku ke atas. Aku bodoh, aku benar-benar bodoh. Ini mengerikan, aku masih ingin hidup untuk saat ini.

Kakiku terus memberontak secara brutal, tanganku dengan sabar di arahkan ke atas, mencoba menarik aku yang hampir mati di sini. Tangisku membuncah ketika tubuh ini tak kunjung naik ke atas. Tidak, aku tidak boleh mati seperti ini.

Sekejap, napasku mulai menipis. Tangan dan kaki yang sedari tadi tak bisa diam akhirnya berhenti, pikiranku kacau, bahkan tangisku pun sudah menyatu dengan air danau. Aku tenang, namun itu adalah malapetaka.

Aku menutup mataku. Antara jiwa dan raga ini kini terasa terpisah. Napasku mulai hilang bersamaan dengan waktu yang perlahan terus melaju. Aku gagal. Aku akan mati saat ini juga.

Jiwaku terasa hilang. Tubuhku mulai terasa ringan. Sekali lagi, bukan pertolonganlah yang datang, namun malah kegelapan menjemputku dengan hangat.

Hai, kematian.

*****

Wkwkwk😂
Dah ah, aku lebih suka sesuatu yang digantung. Kayak hubungan kalian BUAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHAHA.

Mantap tuh prenjon, mang enak belum pacaran dan sayang-sayangan xixixi.

Kayak aku dong.

Belum pernah pacaran wohoo😗📍

^min, 30 Agustus.

Damn! My Mate Is A Vampire?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang