"Bangun-bangun!" Aku terlonjak kaget. Pagi-pagi Darren sudah membangunkanku dengan suara yang sangat keras.
"A-apa?" jawabku terbata-bata.
"Kau pikir di sini kau itu tamu? Di mana letak otakmu? Sangat bodoh!" Darren menusukku dengan caciannya. Aku menunduk lesu. Entahlah, aku masih belum terbiasa dengan ini semua.
Tanganku ditarik olehnya. Dengan kegeraman yang masih membara, Darren mendorongku ke arah halaman belakang. Di sana, ada beberapa penjaga yang terlihat menertawakanku. Apalagi, keadaanku yang kini benar-benar seperti gembel. Baju compang-camping, wajah kusam, dan bahkan bercak darah di pakaianku.
Mataku menatap keadaan di sini. Halaman belakang milik keluarga Jeslin cukup luas. Semuanya dipenuhi oleh rumput-rumput hijau dan beberapa pohon apel. Sementara itu, ada pagar tajam dari kayu yang terlihat kokoh. Menciutkan pikiranku untuk kabur dari sini.
Sedetik, Darren melemparkan ember padaku. Refleks, aku terkejut. Tapi, walaupun aku kaget dengan lemparan ember itu, tetap saja dengan canggung aku bisa menangkapnya. Penjaga itu kembali tertawa, memperhatikan gerak-gerikku yang ternilai bodoh.
Hatiku sesak. Beginikah rasanya di hina? Beginikah rasanya dikurung sehingga kau tidak bisa pergi kemanapun? "Mengapa kau diam? Mulutmu hilang ha? Cepat timba air itu di sumur!"
Aku mengangguk lemah. Dengan langkah lunglai, aku berjalan ke arah sumur tua itu. Aku mulai menimba air di sana, namun aku tiba-tiba ditampar rasa lapar yang mulai menjalar. Rasa sakit di punggungku tiba-tiba datang menyerang. Kepalaku seketika terasa sakit. Entah ditimbaan air yang keberapa, tiba-tiba aku jatuh begitu saja.
Ember yang kugunakan tadi masuk ke dalam sumur. Sedangkan tubuh kurus milikku kini tergeletak lemah di ata rumput. Sayup-sayup, bisa kudengar mereka mengejekku lagi.
"Lemah sekali."
"Cih, drama."
"Ahaha, lucu sekali. Pembunuh yang membutuhkan rasa iba."
Sebenarnya, apa yang mereka mau?
****
"Darren," panggil Jeslin.
Sang empunya nama langsung menoleh. Memberikan tatapan yang benar-benar sulit untuk Jeslin artikan. Gadis tomboy itu langsung mendekati Darren.
"Ashley cantik," gumamnya.
"Lalu?"
"Kau yakin?" Jeslin bertanya.
"Yakin apa?" Darren malah balik bertanya.
"Kau yakin tidak akan menaruh rasa padanya?" Sialan, Darren langsung terdiam. Ia terlihat mengusap wajahnya pelan, lalu memegang bahu Jeslin dengan tegas.
"Jika Rea masih hidup sekarang, aku jamin ia pasti lebih cantik dari pada gadis sialan itu," jawab lelaki itu. Jeslin terdiam, begitu pula dengan kakaknya ini. Hingga, suara langkah kaki berada di antara keduanya. Darren pergi.
"Martha!" Jeslin langsung berlari ke arah dapur.
"Iya, Nona?"
"Jangan berikan gadis itu makan. Aku mohon, antarkan saja ia mandi dan memakai pakaian yang kuberikan tadi."
****
Suara keroncongan memenuhi kamarku. Aku meringis, hatiku terasa dicubit. Beginikah rasanya? Beginikah rasanya menjadi tahanan yang tak diberi makan dan juga kemanusiaan?
Kini, aku tengah menangis. Meratapi nasib yang kini menerpaku begitu buruk. Aku memeluk kakiku sendiri, berusaha menguatkan tubuh rapuh yang perlahan semakin mengurus.
"S-sakit ..." rintihku.
"Aku ingin pulang," lanjutku.
"Mati." Pandanganku beralih ke arah jendela. Dari sana, aku bisa melihat Sang mentari yang kini mulai terbenam dengan damai. Rasa iri tiba-tiba mencubit diriku.
"Mati! Mati! Mati!" Aku beranjak dari tempat. Membenturkan kepalaku sendiri ke arah dinding. Dengan membabi buta, aku melakukan hal itu berulang-ulang hingga darah mulai menetes.
DUG!
DUG!
DUG!
"MENGAPA KAU BIARKAN AKU TERSIKSA DI SINI HAH?!" Tangisku pecah. Aku meraung-raung sekuat tenaga. Sedangkan kepalaku masih setia membenturkan dirinya sendiri ke arah dinding.
"APA KAU TAHU AKU JUGA INGIN BAHAGIA?! APA KAU TAHU BAHWA AKU SELAMA INI PENUH DENGAN LUKA?!" Jeritanku semakin tak terkontrol. Rambut hitam ini dengan paksa kujambak. Berusaha membunuh diriku sendiri hari ini.
Aku sudah lelah. Aku muak, sedari kecil sudah mengenal kata luka. Lalu sekarang, apakah ini takdir atau memang sebuah bohongan belaka? Rasa bahagia? Datang sesaat.
Dasar bodoh.
***
Hii :)
Sorry, pendek banget, ya? Wkak, aku udah angkat tangan ama naskah ini. Eh, enggak sih wkwks. Cuma, aku mau ngasih tau nih.REVISI DAMN! MY MATE IS A VAMPIRE CUMA SAMPE SINI!
Sisanya? Aku revisi kalo udah enggak daring lagi, ya :). Sebenernya, pengen nangis banget daerahku udah zona merah. :")
Part berikutnya akan aku publish sore ini. Maaf, di sana masih banyak banget kesalahan tanda baca, PUEBI dll. Sorry, hehe:)
Okay! Kita mulai!
KAMU SEDANG MEMBACA
Damn! My Mate Is A Vampire?!
WerewolfAshley Amara. Seorang gadis yang memendam seribu luka, juga merasakan pahitnya duka. Semua berawal dari Ashley, yang kabur dari rumah. Menyebabkan dirinya secara tak sengaja terpental hingga memasuki wilayah mahluk immortal. Teka-teki dengan masa la...