(5)

56 15 0
                                    

"Kalo iya kenapa? Gue ngakuin lo ganteng bukan karena gue suka. Gue cuma menghargai ciptaan Tuhan."


***

"Weh? Nenek rabun? Lo kok bisa disini?"

"Ni senior laknat juga ngapain disini ngerusak pemandangan aja," bisik Nata pada dirinya sendiri.

"Apa?! Jadi junior udah songong banget lo!"

"Justru gue kesini karena mau beliin alat lukis lo itu, negthink amat, sih!"

"Mulai bahasanya gak sopan lo sama orang yang lebih tua!"

"Emang lo tua! Gue masih awet muda! Nyadar juga lo! Udah dari kemarin gue pingin teriakin lo!"

Ni orang kok bisa tau tempat ini, sih?
Batin Nata dan Dave dalam hati.

"Heh-heh! Ada apa ini?"

***

"Kamu kenal sama neng cantik ini, Den?"

"Gak, Mang. Gak kenal. Orang gila mungkin."

Nata menggerutu kesal.

"Enak aja! Gini-gini gue normal!"

"Sudah-sudah. Den Dave jadi be-"

"Gak jadi, Mang!" sahut Dave dan serontak mengambil plastik milik Nata kasar.

"Mang Arif, jangan diladenin cowok kayak ginian. Aslinya galak."

"Lo kok tau nama dia?"

"Gak penting! Yang penting jangan, Mang."

Mang Arif tertawa kecil.

"Neng cantik, saya sudah kenal Den Dave sejak dia kecil. Gini-gini dia suka nolongin jaga toko saya lho. Dia aslinya baik kok."

Sejak kecil? Dijagain dia? Cih. Yang ada cuma gue sama Erryl doang yang bisa. Orang-orang lain mana ada yang bisa hafal segini banyak barangnya Mang Arif.

"Mang, hati-hati. Ganteng-ganteng kayak dia mah cuma fake."

"Lo ngakuin gue ganteng?"

Jleb. Gawat gue keceplosan gara-gara dia. Cemas Nata.

"Haha. Kalo iya kenapa? Gue ngakuin lo ganteng bukan karena gue suka. Gue cuma menghargai ciptaan Tuhan," kata Nata dengan santai.

"Makasih. Gue emang ganteng, bro."

Najis ternajis sangat najis bermulti ganda najis.

"Au, ah. Mang, saya pulang dulu,ya?"

"Oh, iya neng cantik. Datang lagi, ya?"

"Pasti, Mang. Selama saya masih ada, ini salah satu tempat kesukaan saya," ujar Nata yang tulus mengingat kenangannya bersama Erryl.

"Melebih-lebihkan lo," sindir Dave

Nata memutarkan bola matanya dengan kesal. Ia menarik pintu toko itu dan keluar. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 18.30.

"Mang, Dave pulang juga, ya? Maaf, Mang. Tadi gak jadi."

"Iya Den Dave. Pelan-pelan bawa motornya. Jangan lupa pakai helm. Jangan ugal-ugalan. Inget Nyawa. Titip salam buat keluarga."

Dave mengangguk kecil dan sedikit heran.

Gue sendiri juga belum mau balik ke Sang Pencipta sekarang, bapake.

***

"Masa gak ada kendaraan, sih. Kakak sendiri juga malah sibuk lagi, gak ngasih kabar," cemas Nata.

Dave yang baru saja menaiki motornya pun menatap heran. Gadis malang itu sampai sekarang belum dijemput juga.

Gue tiba-tiba kok ngerasa iba ya, liatnya. Diitung-itung dia juga ngasih ni peralatan tepat waktu dan harganya juga mahal. Batin Dave.

"Lo mau gue anter gak?"

"Gak usah. Gue gak sudi. Entar yang ada bawa sial mulu."

"Kali ini gue jamin enggak. Lo gak inget ini udah jam berapa dan kalo lo tau ni tempat pasti lo tau kalo udah malem ni jalanan pasti sepi."

Bener juga. Gue baru inget soalnya gue juga udah lama banget tinggal di Canberra. Jadi agak lupa kalo jalanan sini emang suka sepi. Karena itu, hanya orang-orang khusus yang bisa tau ni tempat, pikir Nata secara logis.

"Iya-iya. Awas kalo lo sampai buat nyawa gue jadi nge-fly," tegas Nata.

Nata sedikit canggung. Sebelumnya ia tidak pernah boncengan bersama seseorang yang baru ia kenali.

Dave mulai menyalakan mesin motor, dan beranjak pergi.

"Rumah lo yang mana?"

"Gampang, nanti gue arahin. Gak jauh. Lurus terus aja."

Dave mengangguk paham. Ia pun justru mempercepat kecepatan mesin motor, dan Nata pun menjadi sedikit ketakutan. Sontak, Nata pun mau tidak mau harus memeluk seorang senior yang sedang bersamanya saat ini.

"Lo gila!"

"Gila-gila yang penting lo cepet nyampe."

Nata terdiam. Mendadak saat ia mulai memeluk seorang Daverryl Arfian, ia merasa nyaman. Ia merasa bahwa ia pernah mengalami pelukan yang nyaman seperti ini pada saat masa kecilnya.

Flashback-

"Erryl! Kamu naik sepedanya pelan-pelan dong! Talia takut!"

"Ngapain takut? Peluk aja dari belakang biar gak jatuh."

Talia mengangguk. Ia memeluk Erryl dengan hangat. Ia merasakan desiran angin yang lembut membuatnya merasa lebih nyaman ketika memeluk Erryl dari belakang.

"Woi? Lo ngapain! Peluk gue terus daritadi. Emang gue boneka apa," gerutu Dave.

Tapi, kenapa rasanya nyaman ya dipeluk sama Nata. Mirip kayak Talia.
Dave teringat saat masa kecilnya itu.

Kok gue keinget Erryl, sih? Gak mungkin. Gue yakin, Darryl-lah orang yang sangat kemungkinan adalah Erryl, tegas Nata.

"E-em, ish! Lo ngebut, sih! Gak liat apa gue udah kayak orang mabuk kepayang!"

Nata kesal. Tapi ya sudahlah setidaknya saat ia sudah tiba di depan rumahnya, nyawanya masih ada.

"Lo pulang dulu aja. Makasih."

"Tumben si nenek tau terimakasih."

"Masih baik gue beliin tu kanvas, bulanan gue nyaris abis gara-gara lo tau gak?"

"Iya-iya, duluan."

Dave pun bergegas pergi. Nata dengan rasa lelah masuk menuju ke rumahnya yang disambut oleh mamanya.

"Nat? Kamu pulang sama siapa, sayang? Tadi kakak kamu sudah cerita. Tapi bukannya gak ada yang bisa jemput? Papa juga tadi masih di kantor, sekarang udah tidur."

"Oh, teman aku, Ma. Mama juga gak bakal kenal sama dia."

"Kalo gitu kenalin, dong. Cowok, kan? Ganteng gak?"

"Ganteng-ganteng serigala, Ma."

Mamanya tergeleng heran.

"Jangan gitu sayang, kasihan dia. Buktinya dia baik kok mau jemput kamu kesini."

"Ya udah lah, Ma. Nata gak begitu peduli soal dia. Nata naik dulu."

Nata menaiki tangga dan beranjak ke kamarnya.

"Jangan lupa makan!" ingat Mama Nata.

***

"Nat, dia jemput lo sampai rumah?!"
tanya Reyn yang terkejut mendengarnya setelah Nata menceritakan kejadian apa yang dia alami semalam.

Nata mengangguk.
"Dan saat gue boncengan sama dia, gue ngerasa malah kalo dia kayak Erryl coba! Tapi kayaknya gak mungkin. Perasaan gue doang mungkin."

"Apa?!"

Pingin gak sih rasanya dianter cogan?😂Kira-kira kok bisa ya most-wanted yang paling nyebelin bisa boncengan sama si junior cantik yang bawel?

-♡,arinnelle

NÜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang