(34)

18 9 1
                                    

S-Siapa?

Ketika ia menoleh, ia tampak mengenal sosok itu.

"N-Nata? K-Kok lo-"

"D-Dave?"

"Mang Arif?" Mang Arif berlari penuh susah payah ke arah mereka. "Talia? Erryl? Ikut Mang yuk ke taman deket rumah sakit."

***

"Mang apa ada tujuan tertentu? Kok kita dipertemuin disini?" Nata benar-benar kebingungan saat ini. "Lo juga kenapa meluk gue? Orang g-gue gakpapa, kok. Lagipula Mang kenapa dia bisa tau Erryl disini? Erryl beneran bingung, Mang!"

Dave benar-benar merasa bahwa otaknya ingin meledak saja. Ia bingung apa maksud dari semuanya, terutama Nata. Adik kelasnya yang baru beberapa bulan lalu datang tiba-tiba saja mengetahui ia dimana dan itu baginya cukup mencurigakan. Wajar jika Dave begitu, belum lagi masih ada mamanya yang terbaring lemah di dalam sana. "H-Hah? Lo juga bicara apaan sih Dave! Gue gak paham!" Nata kembali menatap Mang Arif, membutuhkan penjelasan.

"Mang ikut lega sekarang kalian bisa saling bertemu lagi. Mang juga bingung selama ini kalian hubungannya gimana, tapi semoga kalian bisa balik lagi kayak dulu. Bicarain secara pelan-pelan aja. Mang temani Pak Hadi dulu, ya. Kasihan dia, Mang udah lama gak ngomong sama dia juga.." Mang Arif mulai meninggalkan tempat dan menyisakan mereka berdua duduk dalam satu bangku panjang.

"Dave? L-Lo tadi di toko Mang Arif?"

Dave menatap Nata heran, seolah ia bisa mengetahuinya. "Iya, kenapa? Kok bisa tau?"

"L-Lo bahas siapa tadi di toko?" hawa angin di sekitar mereka mulai mendingin, seolah langit menunjukkan pembicaraan mereka mulai menjadi cukup serius.

"Temen kecil gue, kenapa lo mau tau banget?" balasnya. Deg.

"Gak mungkin. Lo bercanda, kan?" raut mukanya mulai mencerah.

"Kenapa sih sumpah lo aneh, haha. Senyum tuh senyum." Dave tertawa melihatnya. "Gak lah, gue serius. Sampe kapanpun, cuma dia yang bakal gue sayang," lanjutnya.

Puk.
Nata memeluk Dave erat sangat erat. Isakan tangis mulai muncul di sela-sela matanya. "E-Eh? Nata? J-Jangan nangis, lo kenapa?"

"Erryl!" Nata kali ini menyebut namanya lebih kencang. "Lo pernah inget gak? Yang anak kecil cewek, gendut, jelek, behelan, yang pertama kali lo temuin dan masih dalam kondisi baru dibully?"

Dave mulai merasa ada yang tidak beres, namun ia masih tidak paham. Kegusarannya karena terlalu banyak memikirkan keluarganya membuatnya sedikit lola. Kenapa dia m-manggil gue gitu?

Nata tersenyum sangat lebar, seolah tak ingin berhenti. "Lo inget namanya? Talia bukan?" lagi-lagi ia tersenyum lebar seolah tiada akhirnya.

"I-Iya, kok lo bisa tau nama T-Talia? Lo-" Nata menutup mulutnya pelan. Butiran air mata kebahagiaan muncul di pelipisnya. Ia segera memeluk Erryl layaknya sebuah boneka besar.

"Aku bersyukur, Ryl. Tuhan udah pertemuin kita lagi disini."

Dave spontan melepaskan pelukannya

"Nat? Maksud Talia kita pertemuin udah apaan?" bahasanya benar benar acak-acakan. Nata berbalik, kembali ke gedung bernuansa obat-obatan itu. Ia diam-diam sambil tak sanggup menahan senyumnya.

"Ke-Ketemu.. Talia.." gumam lelaki itu masih dengan tampang polosnya.

Dave menunduk pelan, berusaha mengingat. Ingatannya mulai semakin menggila. Kejadian membonceng Nata sama seperti sepeda bersama Talia, mengingat bahwa mereka sama-sama saling menunggu seseorang yang mereka sayangi, ulang tahunnya yang benar-benar sama dengan Talia, pesanan makanan kembar yang mereka pesan saat di kafe bahkan secara kompak, dan sisa seluruh kenangan itu mereka alami secara berulang seperti pada masa mereka saat masih kecil dengan kepolosannya yang beragam.

NÜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang