(20)

19 13 0
                                    

KRING!

"Mang!"

Dave terlihat tergesa-gesa memasuki toko galeri itu. Mang Arif yang baru saja menghitung hasil penjualannya pun ikut terkejut.

"Eh, Den! Bikin Mang kaget!"

"Maaf, Mang. Hehe."

"Kenapa atuh sore-sore gini kesini? Mau pesan cat?" gaya Mang Arif yang membawa tumpukkan cat dan menaruhnya di meja secara berserakan.

"O-Oh, gak Mang. Cuma mau cerita. Boleh, kan?"

"Boleh, atuh. Mari duduk."

Mereka duduk berhadapan dengan kasir Mang Arif sebagai perantaranya.

Mang Arif sebelumnya sudah membereskan seluruh uangnya dan catnya kembali ke dalam lemarinya.

"Mang? Mang ngerasa aneh gak, sih? Kalo saya udah minta Mang buat panggil Erryl jadi Dave aja?"

Mang Arif menghela napas panjang.

"Jujur, saya juga jadi sedih dengernya. Emang Den kenapa, sih? Kok namanya ganti-ganti gitu? Emang si Den, teh, berubah penampilannya jadi lebih cakep. Tapi kenapa namanya juga harus, atuh?"

Dave sedikit menunduk. Ia mengingat bahwa ia tak pernah cerita kepada Mang Arif tentang kejadian pembullyannya setiap hari saat dulu kecil.

Memang terkadang Mang Arif sendiri heran melihat tangan kaki Dave yang suka terluka, tapi hanya ia anggap sepele karena mungkin hanya terlecet bermain bola dan hal ceroboh yang anak kecil lakukan lainnya.

"Mang. Jujur, saya dulu suka kena pembullyan."

"Astaga! Pembullyan, Den? Parah betul! Kenapa gak cerita sama Mang?!"

"Hehe udah berlalu, gakpapa, Mang. Jadi pelajaran. Ya, saya dulu semenjak ditinggal Talia, saya ngerasa saya harus berubah, Mang. Supaya, biar pas Talia udah balik, dia gak malu punya pacar kayak saya. Saya gak mau Talia dibully terus kalau sama saya juga. Ya, sementara itu saya juga harus pakai nama panggilan lain saya supaya semua orang tahu kalo Erryl yang dulunya culun bisa berubah jadi kepribadian Dave yang baru dan lebih baik." jujur Dave.

Mang Arif kagum. Persahabatan mereka berjalan sangat baik dulunya meskipun setelahnya harus berpisah. Mereka lebih ingin saling menjaga harga diri orang lain daripada diri sendiri.

"Iya, Den. Saya juga pangling lihatnya. Tapi jujur, saya juga kangen lihat kalian bareng lagi. Saya juga kangen masa-masa kalian dulu saat kamu masih jadi Erryl yang Mang sayang."

Dave langsung memeluk Mang Arif erat.

"Maaf ya, Mang. Kalo akhir-akhir ini Erryl suka bikin Mang repot, kerja sendiri, Erryl lebih fokus sama hal-hal lain yang bikin Erryl lupa atau gak peduli lagi sama Mang."

"Iya gakpapa, Mang teh paham. Den kan masih remaja dan sewajarnya nikmatin masa-masa itu."

"Makasih ya, Mang."

"Sama-sama, Den. Lho? Berarti Mang sekarang boleh panggil Den Dave jadi Erryl lagi kayak dulu?"

"Boleh, Mang. Erryl juga janji akan selalu jagain Mang sampai usia tua nanti."

Mang Arif menangis. Mengingat keluarganya yang sudah tiada dan hidupnya yang hanya sendirian. Mang Arif tersentuh dan mengucapkan terimakasih padanya. Dave. Atau mungkin Erryl. Yang akan ia selalu anggap sebagai anak tak berdarah dagingnya itu.

***

Dave memasuki rumahnya yang bercat putih polos itu.

Saat ini masih pukul setengah tujuh. Dave melihat papanya itu yang tiba-tiba sudah tertidur pulas di sofa dengan TV nya yang menyala. Heran memang. Tapi mungkin karena papanya sedang banyak pikiran maka dari itu butuh banyak istirahat.

Ia tersenyum. Mematikan TV lalu mengambil selimut dari kamar papanya dan menyelimutinya. Berharap semoga keluarganya akan baik-baik saja. Ia hanya memakan nasi goreng di meja makannya dan segera naik keatas.

Sebelum bermain-main dengan sosmed dan game nya itu,ia terus saja merasa senang. Apa ini mimpi? Atau,hanya bayangan semata?

Flashback 1 jam sebelumnya-

"Udah, Mang. Gak perlu nangis, udah malem, istirahat ya, Mang."

"Iya. Makasih banyak, Erryl."

Mereka yang masih terjebak dalam suasana haru itu membuat Dave melupakan sesuatu.

Talia! Batin Dave.

"M-Mang!" panggil Dave sebelum Mang Arif menutup tokonya itu.

Mang Arif menoleh ke arahnya dan duduk kembali mendengarkannya seolah ada apa.

"T-Talia? Apa dia udah kembali ke Jakarta? Mang tau kabar dia?!"

"Talia?"

Mang Arif tertawa kecil

"Kamu patut bersyukur, Den. Dia sudah kembali kesini."

"M-MANG GAK BOONG?! BENERAN?! DEMI APA?! SUMPAH?! YAKIN?! MASA?! WOW?! DIA KAYAK APA SEKARANG?! MASIH SAMA ATAU GIMANA?! PINDAH ATAU CUMA BERKUNJUNG?!"

Dave seperti fanboy yang histeris ketika di notice oleh salah satu idolanya yang sangat terkenal itu.

"Iya. Dia kemarin kesini. Dia sekarang sudah cuakep sekali. Aduh kayak bule! Dia juga kemarin tanyain kamu. Kayaknya dia pindah. Mang ngerasa gak enak sama dia."

"Kenapa, Mang?"

"Dulu-dulu dia juga pernah kesini bareng kamu. Cuma dia diem aja dan gak pernah jujur ke Mang sebelumnya. Mang ngerasa bersalah selalu motong pembicaraan dia saat dia sebetulnya udah mau jawab pertanyaan Mang."

Mata Dave yang sedikit basah memeluk Mang Arif erat. Perempuan yang sudah bahkan dia anggap setengah jiwanya itu kembali.

"Mang Arif, dia sekarang ada dimana?"

"Kalau itu Mang kurang tau juga. Kemarin kayaknya dia juga dipanggilnya bukan Talia. Tapi nama panggilan lain mungkin Ta-A-N apalah kurang tau. Udah lama Mang dengernya. Jadi lupa."

Duh! Mang Arif ngomong kok gak jelas, sih? Heh, gak boleh protes! Dosa! Yang penting gue udah tau keadaan dia sekarang udah cukup.

Tapi tunggu? Talia pakai panggilan lain? Jadi kayak bule? Kok, aneh?
Udah. Mungkin segitu dulu aja untuk hari ini, mending gue tiduran aja. Seluas-luas nya Jakarta tetep aja pasti ada kemungkinan! Ya gue harus yakin!

Ia kemudian memutuskan untuk memainkan HP nya dan berbaring di kasurnya seorang. Dengan iseng ia membuka aplikasi dan mengechat di suatu grup di HP nya.

***

Tiriring

Chat From Boys Talk : 3 Notifications.

rrylDave
GUYS! LO GAK BAKAL PERCAYA APA YANG GUE KATAKAN!

rrylDave
Talia! Gue ada berita penting!

rrylDave
Dia udah disini! Lo mau bantuin gue cariin dia?

Aloo! Kalo menurut kalian ni cerita agak bingungin atau terlalu complicated tempatnya mohon maklumi;) salah atau kurang tolong komen biar author tau

Btw, judul author ganti tanpa nama biar readers nya seimbang hehe, thankyouu!
-♡,arinnelle

NÜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang