(37)

22 7 1
                                    

Wanita dalam balutan jas putihnya itu mengambil plastik-plastik obat milik seorang ibu itu yang hanya diam terpejam di kasur pasiennya.

Yang terkadang ia usahakan untuk minum secara rutin tapi pasti selalu saja ada halangan yang membuatnya mudah lupa meminumnya.

"Istri bapak mengalami penyakit yang cukup serius. Apakah ibu Lia seringkali mengalami tekanan darah tinggi? Apa bapak terakhir mengecek berapa kandungan gula darah akhir-akhir ini?" tanya dokter.

Hadi hanya bisa merenung, menunduk, dan menggeleng pelan. Membendung tangisannya yang selana percakapan itu ia simpan.

Bu dokter hanya bisa menghembus nafas panjang. "Syukurlah tidak mencapai titik stroke yang paling parah. Namun jika tidak segera dikontrol, maka penyakitnya bisa semakin memburuk. Ibu Lia bisa saja mudah mengalami peningkatan dampak yang jauh lebih mengkhawatirkan apabila tidak terus dijaga kesehatannya. Mohon selalu diawasi istrinya, ya. Jangan sampai terlalu banyak pikiran."

Tangisannya pecah. Ia tidak sanggup lagi menahannya. Stroke? Penyakit yang perlahan melumpuhkan seluruh anggota tubuh seseorang? Pria itu langsung mengangguk keras. "Pasti, Dok. Pasti." ucapnya sembari mengusap air matanya.

"Istri bapak memiliki daya juang yang kuat. Bapak jangan khawatir, pasti beliau bisa melewatinya. Dan jaga pola makan."

"M-Makasih, Dok. Ma-k-kasih," senggukan tangisan telah melumpuhkan hatinya dalam waktu sekejap.

***

Sudah berbulan-bulan sosok kesayangan Dave hanya terbaring lemah diatas ranjang pasien. Dengan keadaan yang semakin hari hanya bisa dikatakan semakin memburuk. Dave tidak bisa berbuat lebih selain berdoa dan meminta perlindungan pada Sang Pencipta.

Berkali-kali ia berusaha memberi suapan pada mamanya yang beragam. Dari bubur, kuah sup hangat, sayuran, tapi tetap saja beliau tidak bisa bereaksi hal lain selain tersenyum, menggenggam erat tangan seseorang tanpa menggerakannya kesana kemari, menatap lembut seraya berbisik terimakasih. Entah apa yang ada di pikirannya sehingga kata yang tercetus dan terucap dalam lidahnya hanyalah 'terimakasih'.

Tetapi, apapun itu, keluarga kecil Hadi masih tetap bersyukur melihat keadaan Bu Lia yang masih berdaya juang untuk dapat melakukan pergerakan-gerakan kecil, meskipun terasa kaku. Melihat setiap kontrol-kontrol dan selang-selang yang terus melekat dalam tubuhnya selalu saja terbekas rasa pahit dalam hati setiap mereka.

Nata seringkali berkunjung membawakan buah tangan, menghibur keluarga beliau, dan baru saja kemarin lusa keluarga Nata menjenguk Ibu Lia dengan pembicaraan hangat. Tapi memang suasana terasa sedikit berbeda.

Lucas memang tampak jarang atau bahkan tidak pernah ikut menjenguk. Karena tampaknya sekolah terus menyibukkannya. Ia kemarin lusa pun berjanji bahwa Ia akan ikut menjenguk lagi Rabu sore besok.

Semenjak kala hari-hari yang penuh romansa oleh pasangan sejoli itu, SMA Nusantara bahkan masih tidak bisa mendapatkan fakta yang terkuak dari hubungan macam apa yang sebenarnya mereka jalin hingga saat ini. Namun, terkadang rasa curiga selalu menghantui Renata. Tentu saja dia tidak berhenti. Selalu menyakiti Nata dan mengancamnya tanpa jeda.

Tapi bagi gadis yang lebih muda satu tahun darinya itu, ancamannya bukanlah suatu masalah besar. Toh, sekarang justru hubungannya dan Dave semakin hari hanya semakin dekat dan kuat. Dave pun semakin peka akan segala gerak-geriknya.

Resmi? Pacaran? Embel-embel lainnya? Tidak. Mereka berpikir bahwa menjadi TTM adalah pilihan terbaik mereka.

Pacaran hanya akan memberi 'kepastian' namun belum tentu 'mempertahankan'.

Lagipula, zona persahabatan mereka jauh lebih indah dibandingkan harus selalu berdua dalam melakukan apapun,dimanapun, dan kapanpun itu. Maksudnya, tidak serumah juga.

Sekolah selalu dihadapkan dengan pemandangan betapa eratnya persahabatan Nata, Dave, Reyn, Jeremy, Chandra, ataupun Elok, dan Bambang.

Usia benar-benar tidak membatasi mereka. Asumsi mengenai 'geng' dan 'perkumpulan' lah yang muncul di otak kepala mereka ketika melihatnya. Padahal, bagi mereka mereka semua hanyalah sahabat biasa yang saling menjaga.

Yaa, mungkin. Ada sepasang resmi dan sepasang teman tapi mesra, mungkin. Hehe, lupakan. Daripada membaca narasi bacot yang super panjang ini namun sepertinya tidak juga, bulan Juni telah menyapa mereka hari ini.

"Yeh, satu tahun lagi mah kita bertiga lulus bro, ye gak," Chandra menyenggol teman di sebelahnya yang padahal hanyalah angin berlalu lalang. Chandra sedih. Sudah hari ketiga semenjak hari Sabtu kemarin ia tidak ada kabar.

"E-Eh. Lupa, hehe. Babang Dave kagak masuk."

Ia selalu mengingat karena posisi tempat duduknya di kantin yang khas. Dave yang selalu duduk di sebelah kirinya. Nyesek. Istilah tidak bakunya. Ia selalu rindu kehadirannya di tengah-tengah perbincangan yang selalu meramaikan suasana.

"Kebanyakan micin lo, Ndra." tawa Bambang renyah diikuti oleh teman-teman semejanya. Mereka ikut menyantap nasi goreng pedas khas Ibu kantin tergaul mereka, Bu Sukarsih.

Wanita dengan iringan-iringan musik berirama lagu ambyar di setiap pergerakan wajannya. Gosipnya sih tidak sengaja ia pernah tidak saja menangis ketika ia memasak nasi gorengnya akibat terlalu emosional mendalami lagunya. Sehingga sedikit lembek memang, sudahlah.

"Gue sendiri yang ngerasa gak banyak omong aja juga ngerasa sepi juga ada Dave. Beneran besok Rabu lo kesana kan? Kita ikutan aja boleh gak sama siapa? Kakak lo? Bingung lah gak pernah lihat."

Reyn menyenggol pasangannya pelan sembari tersenyum, "Tuh banyak omong."

Elok menatap malas, "Udah kenapa sih, sedih gue ngelihat lo pada setiap hari yang ada pemandangan sibuk dunia serasa milik berdua terus," cemberutnya.

"Makanya cari dong lo, gak laku!" sindir Chandra. Elok menatapnya lebih malas lagi, "Kayak lo laku aja."

Bambang, Jeremy, Reyn, dan Nata berdiri dan bertepuk tangan. Sebagai apresiasi pertama kalinya untuk kata-kata terpedasnya. Lalu mereka duduk kembali. "Gila, gak nyangka gue lo bisa se savage itu. Ngakak! Iya, besok Rabu ikut aja lo semua."

"Tuh ngomong. Kok diem aja sih, lo? Kepikiran," tanya Bambang diikuti anggukan Reyn. Nata hanya kembali memainkan rambutnya. "Ya, mau gimanapun gue juga pernah kenal deket sama Tante Lia, gue juga ngerasa gak enak."

"She'll be fine! Lo no need to worry worry etdah! Santuy living." hibur Chandra. Jeremy mengangguk, "Kita ikut doa aja. Semoga keadaannya membaik."

Dave terkadang masuk dan terkadang tidak. Tergantung keputusan papanya. Jika masuk, maka terpaksa ia juga mengantarkan adiknya pula pagi-pagi di sekolah yang berbeda.

Ujian sudah berlalu. Dua tahun lagi bagi para mantan kelas 10 dan satu tahun lagi bagi para mantan kelas 11.

Syukurlah hubungan mereka semua bertahan lama. "Eh, kayaknya kita harus nyiapin sesuatu biar keluarganya ceria lagi, nih. Mumpung besok kita bisa ngumpul semua." usul cerdas Chandra sebagai sahabat teridiot sekaligus terpeka Dave.

"Boleh!" ujar mereka serempak.

"Tumben Elle bikin banyak narasi sekarang." Sekali-sekali lah asupan. Kagak ngomong terus hehe. Keinspirasi wp sebelah yang lebih panjang bet narasinya. Iyalah udah ke prepare ckck.

Btw thankyou so much karena udah road ke 1k readers!♡ OMG

Elle loves u uwu from moon to back

So guess what? RP COMING SOON!
Next ep? I hope ahay, tx 4 all support mwaa😜

-♡,arinnelle

NÜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang