(35)

23 8 2
                                    

Ting!

Pintu lift mulai terbuka lebar. Sepanjang pintu masuk rumah sakit hingga ke lantai dimana mamanya dirawat inap pun Dave masih menggenggam tangan Nata erat.

"Lo tau gak sih? Renata gila itu wah yang gue ceritain tadi bener-bener ngelakuin semua itu. Untung dia dulu gak nerima lo." Nata tersenyum sumringah.

"Cemburu ye debay satu ini," hidung Nata pun menjadi korban colekannya.

"Ih! Ntar pesek!" ia mendengus kesal. Dave tertawa. "Iya maap, yuk nyamperin bokap dulu."

Dave menatap ada seorang bapak-bapak dengan pakaiannya yang tidak familiar masih saja menunggu dengan setia disana dengan nasi kotak di tangannya. Mungkin baru saja naik dari kantin saat mereka masih seperti pasangan baru.

"Papa?"

Pria itu menoleh. "E-Erryl. Oh." Ia berusaha bersikap seolah acuh tak acuh padanya. Rasa penyesalan terhadap istrinya yang sangat ia sayangi selama ini semakin membebani pikirannya sehingga rasanya tidak mau diajak bicara oleh siapapun kecuali dokternya itu.

"Syukurlah, papa makan yang banyak aja, Erryl mau keluar bentar, gakpapa kan, Pa?" baru saja setelah menyendokkan suapan terakhirnya, ia menoleh dan bergerak seolah isyarat 'ya sana'.

"Papa, iya deh Erryl beliin minum enak, ya?" Papanya menoleh dan mengangguk setuju.

YES!

Dave pun menggenggam tangan Nata, dan berjalan semakin mendekati ayahnya. "Pa," Dave menyuruh Nata untuk maju berpapasan dengan papanya itu. "Inget gak ini siapa?"

"Cantik, Ryl. Tapi papa gak ingat. Emang siapa, Ryl?" tanyanya keheranan. Dave terkikik. "Papa jangan kaget denger ini ya," lantas Hadi menoleh kebingungan. Nata tersenyum dan menyalami pria yang jauh lebih tua darinya di hadapannya itu. "Om, inget Talia, gak?"

Hadi seketika mulutnya ternganga lebar. Tercengang. "Talia teman dekat Erryl dulu kecil yang banyak behel sama besar itu?" Nata mengangguk. "Hehe, sekarang gak kelihatan lagi ya, Om?"

Hadi berdiri dan memeluk Nata seperti anaknya sendiri sekilas. "Wah gimana kabarnya, sudah lama lho Om lihat gak kontak sama Erryl sampai Om piker udah saling pisah kayak semacam putus gitu," jujurnya. Nata terkejut mendengar pernyataan itu, "Gak kok Om. Hehe habisnya dulu kayak bener-bener lagi ada masalah darurat gitu deh."

Bapak itu meng-o lebar. "Wah beneran? Padahal dulu sampai Erryl juga minta tolong terus Om buat cariin kamu lho, hahah!" ia tertawa mengingatnya. Nata yang bahkan tidak percaya Erryl akan bereaksi sampai segitunya pada papanya pun ikut tidak berhenti tertawa mendengarkannya.

"Hahah! Sumpah, Om? Lawak banget pasti!" ia sempat melirik Dave dengan menahan tawa.

Dave sempat menyenggol bahu papanya, "Ya elah papa mah, aib Erryl sukanya terus dijadiin gosip kota yang hot news gitu cielah papa!" mereka berdua tertawa lagi mendengarnya.

"Ngomong-ngomong setelah kamu pergi itu, nak, Erryl selalu gak nafsu makan, ngerasa sendirian terus," cerita papanya yang terus menggodanya. Nata selalu mendengarkan seolah tidak ingin ketinggalan satu informasi pun yang menurutnya sangat langka dari Pak Hadi.

Dave yang lelah mendengarkan segala aibnya pun pergi ke etalase jendela dan menatap pemandangan kota di bawah mereka. Dan ia melihat ke belakang dan segera ke ruang tunggu khusus untuk pasien daripada menunggu di dekat pintu IGD.

Dan mendapati adiknya yang terkujur selimut diatas sofa kecil yang mencukupi ukuran tubuhnya pula yang lentur untuk mengambil posisi yang nyaman dengan bagian matanya yang beberapa sedikit kering mungkin karena sedari tadi menangis terus menerus dengan matanya yang basah sehingga menjadi terlalu kering.

Dave yang melihat tisu disampingnya pun mengambilnya dan mengusap halus ke kedua kelopak matanya tanpa disadari Elvan. Tanpa sadar, ukiran senyuman kecil pun muncul. "Andai kita semua tidak diciptakan untuk memiliki rasa emosi sedih, dek. Kakak pasti akan selalu tanpa berhenti bisa jagain seluruh keluarga dengan penuh senyuman yang gak akan pernah redup, dek, ma. Andai kakak bisa."

Ia bahkan ingin mengintip ruang IGD mamanya yang disendirikan pun tidak bisa.

"Argh! Dokter ini keterlaluan bikin nunggunya. Kayaknya emang gue harus cek segala hal yang selalu mama bawa di tas. Kayaknya ada label informasi gejala penyakit apa yang dialamin." ia segera berdiri dari kursi di samping sofa kecil itu, menutup pintu, dan segera pamit kepada papanya.

"E-Erryl? Ada apa?" tanya Hadi. Ia berencana mengajak Nata juga mengunjungi rumah keluarganya itu.

"Erryl pamit dulu, ya? Mau cek barang-barang atau mungkin obat apa aja yang biasa mama bawa, siapa tau kalo Erryl bawa kesini bisa lebih cepet buat dokternya ngeanalisis penyakit mama." ujarnya berpikiran luas.

"Oh gitu, Talia kamu ajak, kan?" Hadi yang menanyakannya pun mendapatkan anggukan kecil dari anak sulungnya itu.

"Hati-hati, ya." Nata ikut mengangguk bersama Dave.

"TUHKAN PAH LUPA AJAK NATA KELUAR MAKAN BERDUAAN!" teriak Dave yang terkejut mengingatnya dengan sedikit keras di lorong rumah sakit itu.

Seorang suster wanita dengan tompel diwajahnya pun menatapnya tajam, benar-benar mengerikan. Belum sempat ia berisyarat, cowok itu sudah terlebih dahulu berdiam diri cukup lama ketakutan dan menatap papanya dari jarak sedikit jauh. "Huh papa, duluan!"

Nata terus tertawa, "Ngakak! Nekat lo dasar! Noh dihantuin lo ntar mampus!"

Dave merengut, "Ih malah dibilang tambah gituan. Jahat amat lo jadi temen."

Nata lantas menoleh langsung kearahnya. "Temen beneran aja, nih?" Dave pun menepuk jidatnya. "Oh iya, lo maunya gue resmiin ya?" smirk menjengkelkannya pun muncul.

Pipi Nata seketika berkamuflase menjadi seperti udang rebus, "Paan sih! Terus gak sahabat gitu? Ge-er an Erryl sekarang! Gak suka ah gue!" cemberutnya.

Dave tertawa dan mencubit pipinya. "Haha! Uuh iya Talia! Yuk naik motor gue, nih!"

Nata mendecih dari jauh, masih menampung rasa kekesalan di benaknya. "Iya, bawel."

Dave yang menggunakan helm dan mulai menaiki motor pun tersenyum melihat Nata yang masih berusaha memasang helmnya dengan rapi dari spion.

Talia, gue seneng lo kembali.

-♡,arinnelle

NÜTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang