Kesal, marah, dongkol, sampe pengen bunuh diri sedang gue rasakan sekarang. Apalagi kalo bukan karena berita itu? Gue yakin itu hoax. Tapi gimana kalo beneran!?
Bahkan tadi waktu ikut belanja sama Mbak Tini gue diem aja. Kepala gue penuh dengan segala macam pikiran yang tertuju pada Om Aiden. Gue takut.
Takut kehilangan orang yang begitu berarti di hidup gue. Gue rasa Om Aiden sudah benar-benar dewasa dan mengerti mana yang cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Bahkan tadi, gue pun sempat berpikir kalau dia butuh wanita yang dewasa, bisa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, nggak suka merengek, bisa masak, dan segala sifat lain yang tentunya nggak ada dalam diri gue.
Sementara gue? Gue hanyalah anak kecil yang taunya cuma minta ini itu, kalo nggak keturutan ngambek, kalo masak bikin perut orang yang makan jadi bermasalah. Ya tentunya gue berbanding terbalik, kan?
"Sayang, udah siap belum? Sebentar lagi temen Mamah sampe." Mamah membuka pintu kamar dan melihat gue sedang duduk di depan meja rias.
"Iya, Mah sebentar. Tinggal pake liptint. Mamah turun dulu aja."
Mamah mengangguk kemudian menutup pintu. Gue lalu melanjutkan berdandan gue yang sempat terganggu sama melamun tadi. Mengecek penampilan sekali lagi kemudian bangkit dari duduk.
Sebelum benar-benar keluar kamar, gue sempat melihat ponsel di nakas. Mengecek apakah ada notifikasi dari Om Aiden atau enggak.
"Cih,"
Bener-bener nggak ada satu pun pop up atau missed call dari Om Aiden.
"Udah lupa sama gue kayaknya. Terus asyik sama Pelakor Korea itu." Gue melempar kasar ponsel ke ranjang lalu benar-benar keluar kamar.
Sebenarnya gue sedang males ikut makan malam kaya gini. Pakai dress dengan ornamen renda bikin badan gue geli dan gatel-gatel.
Gue mendudukan diri di kursi meja makan setelah sempat menyapa Mamah sebentar. Di sana sudah tertata rapi segala macam makanan yang keliatan super duper enak. Astaga, gue jadi ngiler.
"Mah, tamunya Mamah banyak ya?"
"Enggak, cuma berdua. Anak sama ibu."
"Cuma berdua makanannya sebanyak ini? Bisa buat se-RT ini." Gumam gue yang ditanggapi kekehan kecil dari Mamah.
Sekitar lima menit berlalu, pintu rumah yang emang udah dibuka diketuk seseorang. Terlihat seorang wanita paruh baya cantik dengan tas jinjing bermerek di tangan kirinya.
Mamah berdiri dan gue mengikuti. Wanita itu masuk dan berjabat tangan dengan Mamah berakhir cipika-cipiki. Setelah itu, gue melakukan hal yang sama.
"Loh, anak kamu nggak jadi ikut?"
"Jadi kok jadi. Mana sih, bandel banget dia." Wanita ituㅡyang gue ketahui namanya adalah Diandraㅡmencari-cari seseorang di luar.
Pintu di ketuk, "Permisi,"
"Nah, itu dia."
Saat mendengar suara cowok, gue langsung menoleh ke arah pintu dan benar-benar terkejut.
"Kok dia?"
***
Nggak-nggak. Ini bukan cerita jodoh-jodohan kaya beberapa novel yang gue baca. Nggak mungkin juga gue dijodohin oleh Mamah.
Selera makan gue pun hilang.
"Ternyata kalian udah saling kenal. Acha dari tadi diem aja." Tante Diandra menanyai gue yang dari tadi cuma mainan makanan.
"Eh, iya Tante. Aku kenal Gio juga baru tadi siang."
"Dari mana?"
"Aplikasi ojek online." Jawab gue kikuk.
"Gio, kamu masih jadi abang grab?"
"Kalo iya kenapa? Cari kerjaan susah, Bun."
Dari yang gue simpulkan, Gio ini orangnya bandel, ngeyel, dan nyusahin. Gio satu tahun lebih tua dari gue. Kulitnya putih, bahkan lebih putih dari gue.
"Ternyata kamu tipe pekerja keras ya, Gio?" Kali ini Mamah bersuara.
"Iya bisa dibilang gitu, Tante."
"Terus kenapa lo nggak kuliah?" Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu aja dari mulut gue.
Gio menatap gue lalu tersenyum. Dia kembali fokus ke makanan penutup mulut.
"Males mikir." Jawabnya dengan shantuy.
"Gio." Tante Diandra seperti mengingatkan Gio untuk nggak bersikap seenaknya.
"Ahaha," Mamah ketawa canggung. "Kayaknya kalian perlu lebih dekat ya? Gimana kalo kalian ngobrol di gazebo? Acha, ajak Gio gih."
Gue hanya mengangguk lalu berdiri. Berjalan menuju keluar diikuti Gio. Kami sampai di gazebo.
"Ehem.. tadi siang lo logat sunda. Manggil gue teteh-teteh, nyebut diri lo akang. Sekarang kok beda?"
"Iya, gue emang gitu orangnya. Pas nge-grab, gue akan berubah kaya tadi siang. Tapi, kalo pas lagi badmood, gue kaya gini." Entah kenapa Gio tiba-tiba cerita.
"So, sekarang lo lagi badmood?"
"Lumayan."
"Kenapa?"
"Gue disuruh kuliah dan nikah dalam waktu dekat."
Gue sempat terkejut sama apa yang baru aja Gio ucapkan.
"Dan lo tau lah, kalo orang tua makan malem gini, yang ada pasti anaknya dijodohin."
"Ya nggak mesti juga kali." Ujar gue mengelak.
"Buktinya? Emang acara ini bukan perjodohan? Gue ketemu sama Mama lo, kita makan bareng. Apa nggak perjodohan namanya?"
"Em.. lo udah sering ya diginiin sama ibu lo?"
"Iya. Dia nyuruh gue buru-buru nikah biar punya anak dan dia bisa gendong cucu."
"Ya itu emang keinginan setiap orang tua, kan? Dan pastinya ibu lo juga milih-milih soal pasangan. Nggak cuma cantik aja, pasti ibu lo milih yang pinter dan juga mapan. Gue yakin selama ini kandidatnya setara sama miss universe."
"Itu masalahnya."
Dahi gue mengkerut. Kenapa Gio bilang kalo itu masalah?
"Gue gay."
"HAH!!?"
_________________
Purworejo, 28 Juni 2019
KAGET KAN LU PADA WKWKWK
Im so sorry for this. Aku lagi bener-bener sibuk-
-sibuk ngedrakor:)
Oke, bom vote dan komen makanya ya♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Ganteng [END]✓
Short StoryFirst, follow me:) Nama gue Acha. Lengkapnya Marsha Amalillea. Gue siswi kelas tiga salah satu SMA di ibukota. Di dunia ini ada tiga hal yang nggak bisa dipisahkan dari gue. Pertama Om Aiden, kedua Om Aiden, dan ketiga Om Aiden. #1 in Feel [31 Desem...