Gue melenguh, merentangkan kedua tangan ke atas setengah sadar. Melihat jam di dinding, pukul 11 malam. Gue menoleh ke samping.
"Om?" Panggil gue dengan suara serak. Astaga, gue haus banget.
Gue bangun dari tidur lalu berjalan keluar kamar. "Om? Om di mana?" Panggil gue lagi dengan menggaruk leher yang emang gatel.
Gue ke dapur, mengambil sebotol aqua dari kulkas dan meneguknya setengah habis. Setelah itu, berkeliling rumah mencari Om Aiden.
"Harus banget besok siang ya?"
Samar, gue mendengar suaranya dari arah belakang rumah. Gue berjalan ke sana. Rupanya dia sedang menerima telepon sambil duduk di gazebo dekat kolam. Bahkan, dia udah ganti pake piyama yang sebelumnya pake kemeja kantornya.
"Ya saya tahu Singapore nggak jauh, tapi timing-nya itu harus banget besok siang?"
Wait, Singapore?
Gue memutuskan mendengarkan dulu perbincangan Om Aiden dengan klien atau entah siapa lah di sana.
"Nggak bisa di atur ulang schedule-nya?"
Dia terlihat menunggu jawaban orang di seberang sana.
"Hm ya sudah. Kalau ada perubahan, cepat hubungi saya."
Dia menjauhkan ponsel dari telinganya lalu memutuskan sambungan.
Gue cepat-cepat lari ke arahnya dan memeluk dia dari belakang. "Om mau pergi ya?"
Dia kaget dan langsung mengusap lengan putih gue. "Iya, cuma dua hari. Dan ini Singapore, nggak jauh kok."
"Aku ikut ya?"
"Hei hei," Dia melepas kaitan tangan gue di badannya kemudian menyuruh gue duduk di hadapannya. "Kalo kamu ikut, sekolah kamu gimana? Om bukan liburan, Sayang. Om kerja. Om harus meresmikan satu cabang baru di salah satu kota di sana."
Gue lesu. "Terus aku di rumah sama siapa?"
"Nanti kamu selama dua hari, tinggal sama Mamah ya. Besok Om anterin."
Gue mendesah kecewa. Ya hubungan gue dengan Mamahnya Om Aiden emang nggak jelek. Cuman, gue agak nggak enak aja.
"Nanti Mamah Rury repot ada anak manja kaya aku."
"Mana mungkin lah, Sayang. Kaya nggak tau Mamah aja kamu, tuh." Katanya berusaha meyakinkan sambil mengelus pipi berujung menyelipkan rambut ke belakang telinga.
"Iya, deh."
Mamah Rury sebenarnya nggak jahat. Baik banget malahan. Dia nerima gue dengan baik saat kali pertama gue ditemukan Om Aiden di jalan. Mamah Rury langsung merawat gue sepenuh hati, menganggap bahwa gue seperti anak kandungnya sendiri.
Bahkan, beliau udah tahu soal perasaan gue ke Om Aiden yang bukan sebatas antara keponakan dan om. Rasa gue lebih dari itu. Mamah Rury berusaha meyakinkan kalau hubungan kami pasti ada jalan keluarnya.
"By the way, kok bangun?"
"Nggak tau nih, tiba-tiba haus dan nggak ngantuk lagi."
Dia mengangguk-angguk tanda paham. "Coba cek dahi Om, deh."
Oh iya! Gue sampe lupa kalo dia lagi demam. Maka, gue menempelkan tangan gue ke dahinya.
Mata gue membulat seketika. "Om udah sembuh!?" Tanya gue antusias.
Dia cuma ngangguk dan senyum lebar. Astaga! Senengnya Om Ganteng gue yang satu ini udah sembuh dari demam. Gue bertepuk tangan dan memeluknya erat.
"Jadi, berhubung Om udah sembuh dan kamu nggak ngantuk lagi, ayo kita lakuin itu."
Gue membelalak. Lakuin itu?
"L-lakuin apa??"
________________
Purworejo, 21 April 2019
HAYO MEREKA MAU APA MALEM-MALEM? HUAHUHAUHAUHAHUHA!
INI OM AIDEN KETIKA.... (isi ya)
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Ganteng [END]✓
ContoFirst, follow me:) Nama gue Acha. Lengkapnya Marsha Amalillea. Gue siswi kelas tiga salah satu SMA di ibukota. Di dunia ini ada tiga hal yang nggak bisa dipisahkan dari gue. Pertama Om Aiden, kedua Om Aiden, dan ketiga Om Aiden. #1 in Feel [31 Desem...