Ini yang gue nggak suka. Semua orang di sekolah menganggap gue sebagai 'jalang'. Maka dari itu gue selalu mendapat goda-godaan dari beberapa cowok yang suka iseng.
Bahkan, Lia itu adalah teman satu-satunya yang gue punya dan gue percaya. Gue percaya sama dia, begitu pun sebaliknya. Tentang yang gue bukan jalang tadi.
"Kalau enggak percaya, jangan deketin gue lagi." Gue berjalan dengan langkah lebar menuju kelas, dengan diikuti Aron di belakang gue.
Lagipula, kenapa dia percaya gitu aja sama nyinyiran cabe sekolah yang gue yakini kalau itu adalah ulah Zoya and the geng.
"Gue percaya lo, Sha. Gue percaya kata-kata lo. Apapun kata orang-orang, gue lebih percaya sama lo." Dia menarik lengan gue dan otomatis membuat badan gue terhenti kemudian menghadap Aron.
"Kalau bohong, mending nggak usah temenan." Gue menghempas lengan gue dari cekalan tangan Aron.
Gue berbalik, kembali menuju kelas. Entah salah dengar atau enggak, gue mendengar Aron mendecak. "Marsha, gue suka sama lo, sayang sama lo, gue bakal bantuin lo supaya keluar dari zona nggak nyaman lo ini!!"
Tiba-tiba Aron teriak mengungkapkan perasaannya, dan itu sukses membuat kaki gue berhenti melangkah. Maksudnya apa coba?
Baru sebentar, Aron udah berdiri di samping gue aja. "Kita pacaran, status lo itu lenyap. Nggak peduli apapun apa kata orang, kita harus pacaran!" Dia bertekad mantap.
"Tapi..."
***
Sepanjang koridor sekolah, gue melamun terus memikirkan kata-kata Aron. Bahkan, diajak pulang bareng aja gue nolak, dengan alasan gue harus mikir dulu.
"Ah!" Ringis gue ketika bahu gue menabrak seseorang. "Eh, sorry ya, so-" ucapan gue terhenti ketika melihat Zoya dengan kedua karibnya-Riris dan Fifi-berdiri sambil melipat tangan di depan dada, seperti menantang.
Niat gue meminta maaf lenyap begitu aja. Tanpa perkataan apapun, gue melenggang santai melewati mereka bertiga.
"Eh pelacur!"
Kaki gue sontak berhenti. Masih dalam posisi gue yang enggak bergeming, tangan gue mengepal kuat. Menunggu kata apa yang bakal keluar dari mulut hina Zoya selanjutnya.
"Mending lo keluar dari sekolah ini. Jalang tuh nggak pantas sekolah, main sama om-om kan lumayan, banyak duit. Iya nggak, Ris, Fi?"
"That's right!!" Sahut Riris dan Fifi bersamaan.
Nggak. Gue nggak boleh ladeni mereka, karena kalau diladeni, mungkin sampai lebaran kucing pun nggak akan kelar.
Gue memutuskan melangkahkan kaki lagi. Mencoba mengabaikan ocehan-ocehan nggak berguna Zoya. Mungkin juga Om Aiden udah kelamaan nunggu di depan karena gue nggak keluar-keluar sekolah.
"Cih, pengecut banget! Gue nggak yakin kalau dia masih perawan."
Oke, yang satu ini gue udah nggak tahan.
Gue membalikkan tubuh lalu melangkah lebar-lebar ke arah Zoya. Napas gue memburu dengan keringat yang mulai memenuhi dahi gue, gue geram.
Sampai di depan Zoya, gue diam. Menatapnya bengis. "Coba ulang!" Kata gue datar.
"Iya kan? Lo udah nggak perawan? Atau jangan-jangan lo udah hamil lalu aborsi?"
PLAK!!
Dada gue bergemuruh. Mata gue memanas. Napas gue nggak teratur naik turun. Tangan kanan gue gemetar karena baru aja gue gunain buat nampar pipi mulus Zoya.
Bahkan, tangan gue terasa perih.
Zoya nangis. Memegang pipinya yang sedikit merah lalu menatap gue penuh dendam.
Gue tersenyum sarkas. "Cantik-cantik mulutnya cabe. Iwh..." gue bergidik ngeri sekaligus jijik.
Riris dan Fifi keliatan nenangin Zoya dengan ngusap lengan leader-nya itu. "Sirik tanda nggak mampu, nggak mampu nggak usah nyinyir. Bacot lo aja gede, nyali? Cuih!"
PLAK!!
Wajah gue terhempas ke samping kanan. Rambut gue pun ikut terhempas sampai menutupi separuh wajah. Perih langsung menjalar di pipi kiri.
Gue mengusap sudut bibir. Sial, gue berdarah.
_____
Gelut eh wqwq
POKOKNYA YG JADI OM HARUS DIA!!!
Ungaran, 17 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Ganteng [END]✓
ContoFirst, follow me:) Nama gue Acha. Lengkapnya Marsha Amalillea. Gue siswi kelas tiga salah satu SMA di ibukota. Di dunia ini ada tiga hal yang nggak bisa dipisahkan dari gue. Pertama Om Aiden, kedua Om Aiden, dan ketiga Om Aiden. #1 in Feel [31 Desem...